- 04

1.1K 165 18
                                    

Mereka memergoki aku memata-matai. Aku berusaha berdiri, aku menegakkan lututku, dan mulai mengangkat bobot tubuhku. Namun aku jatuh kepleset lagi.

Dari bawah sini, kulihat Ice mendekat. Tatapannya sedikit mengintimidasi. Ia seperti menghujatku hanya dengan memandang. Padahal di pertemuan pertama kami, Ice tak begitu menghiraukan aku meskipun aku telah sangat kurang ajar mengejek gubuk mereka dan mengaku-aku sebagai ratu Pulau Rintis.

"Makhota itu." Desis Ice. "Kamu seorang ningrat."

Taufan menyusul Ice di belakang, ia lalu bertekuk lutut, mengidentifikasi aku lebih dekat.

Taufan mengulurkan tangan, menawarkan bantuan.

Kali ini, aku terlalu marah. Aku tak menjawab mereka. Sekali lagi, aku mencoba bangkit dan berdiri tanpa Taufan. Aku lalu menepuk-nepuk bagian sayap kiri jubah musim dinginku. Lalu aku menatap Ice lekat-lekat. Orang ini mistis, dan memiliki jawaban atas keraguanku; penguasa elemen itu, ada. Namun berwujud sosok para pendosa yang tidak termaafkan.

Aku tidak mengira, si penyair benar. Mereka ada. Mereka bukan makhluk mistik dari dongengnya Scheherazade. Akan tetapi, legenda itu dikemas dengan alur yang teatrikal dan menghebohkan—salah satu baitnya mengatakan bahwasanya penguasa elemen bahkan bertahta di kerajaan Pulau Rintis.

Taufan dan Ice saling bertatapan. Kedua pemuda biru itu lekas memfokuskan diri untuk memindaiku lagi.

"Aku ratu. Aku tak akan menyentuh tangan berdosa itu." Aku menyunting senyum angkuh. "Pendosa tak tahu diri. Berani-beraninya kamu bermimpi untuk berkontak dengan ratu. Lebih baik aku mencelupkan tanah di adonan daging busuk bercampur parasit dan belatung ketimbang menerima bantuanmu."

Taufan menghela napas. "Benar. Kami terkutuk."

"Apa dosamu? Kenapa kamu sampai dikutuk?" Aku tergelak tawa. Aku maju dan berjalan mengelilingi mereka, menyalurkan intimidasi dan gestur-gestur ejekan. "Apakah kamu berupaya mengkhianati raja? Atau lebih kotor dan menjijikan daripada itu? Seperti contohnya, kamu melibatkan tenung jahat?"

Ice dan Taufan diam. Ice lebih pintar menutup-nutupi emosinya. Setelah mendengarkan sedemikian banyaknya picuan dariku, Ice menghasilkan gejolak emosi yang terakumulasi pada kepalan tangannya. Sedangkan Taufan cenderung lebih mengekspresikan ketersindirannya; wajahnya kusut, ia tak senang tapi juga tidak bisa menyanggah, Taufan menggigit lidah. Taufan tersinggung berat, dan Ice membendung marah. Sejujurnya aku semakin ingin memprovokasi keduanya. Setidaknya, Ice menunjukkan gejala akan mengamuk. Ia bisa saja tertarik menggorok leherku disini, namun kurasa aku masih bisa melawan. Aku ingin tahu seberapa mudah mereka terpancing. Pendosa itu rata-rata gampang tersulut setimennya. Aku penasaran sesabar apa mereka.

Aku mengedarkan pandang pada istana es ini, "Konstruksi sihir hitammu boleh juga, Ice. Memang sangat magis. Majestic. Aku wajib memujinya."

"Apa yang orang terhormat seperti kamu inginkan dari kami?" Ice menatapku tak suka, ia menyembunyikan kebencian di bawah lidahnya. Ia memutuskan untuk bertanya kenapa aku menyusup kemari di tengah badai salju begini. "Atau, apa kamu berkunjung ... karena ingin melihat istana es ini?"

Ice tidak marah. Belum. Tapi aku tidak memperkirakan balasan itu darinya. Kupikir ia tidak akan mengalihkan haluan topik dan melupakan cemoohan-cemoohan dan tuduhan-tuduhanku barusan.

"Aku datang untuk menagih kristal milik Supra." Aku mengutarakan. "Sekaligus aku ingin lihat caramu berakrobat dengan es dari sihir hitam nan jahat itu. Sayang sekali, ya. Legenda malah mengisahkan kamu sebagai pendahulu yang koheren terhadap pahlawan. Padahal nyatanya ... begini."

Aku tertawa sebentar, "Kalian laksana pungguk yang merindukan bulan."

-

"Aku bilang pada mereka, mereka pendosa yang menjijikan." Aku mengatakannya sambil menahan cegukan. Aku baru saja memakan gnocchi yang menggiurkan dengan saus krim gorgonzola. Aku makan terlalu banyak tanpa meminum lebih dari setengah mug.

Boboiboy x Reader | The Untold Tale of SnowhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang