P r o l o g

10 4 0
                                    

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Selamat membaca. Semoga betah:*

"Sudah aku bilang. Luna milikku dan jangan coba-coba merebutnya dariku." Ujar pria berjas itu dengan kebencian yang sangat kentara dalam ucapannya.

"Kau tahu? Manusia sampah sepertimu tidak pantas bersanding dengan Luna. Rakyat jelata sepertimu tidak pantas berada didekat kami, para bangsawan." Pria yang diumpati itu mengepalkan tangannya erat. Matanya berkilat marah namun untuk kali ini, ia tidak berdaya. Walaupun ia benci ketika ia harus tidak berdaya seperti ini. Tetapi, jika ia bertindak gegabah, ia akan mati dengan banyak peluru yang menembus seluruh tubuhnya. Belum lagi, tenaganya yang hampir habis karena dihajar habis-habisan setelah dijebak pria bangsawan itu. Dangelo Castelio.

"Benjamin, kuharap kau mengerti di mana tempatmu seharusnya." Dangelo pergi dengan pengawal yang turut menyertainya. Tentu saja, bangsawan sepertinya tidak mungkin pergi seorang diri, bukan?

Sedangkan pria yang disebut Benjamin itu terkulai lemah saat kedua pengawal yang memeganginya pergi. Benjamin menghela napas. Sial! Ia tidak memperkirakan kejadian ini akan terjadi. Dan dengan luka yang memenuhi tubuhnya, juga entah racun apa yang Dangelo suntikan pada tubuhnya, yang pasti kesadaran Benjamin perlahan hilang.

Cahaya dari lampu mobil yang melaju melewatinya membuatnya semakin merasa tak keruan. Hingga setelah beberapa menit tiga mobil itu pergi, Benjamin benar-benar kehilangan kesadarannya. Ia terkapar tak berdaya di atas aspal di dalam terowongan.

Sebuah mobil berhenti tepat disamping Benjamin yang masih tak sadarkan diri. Dua orang yang duduk dibalik kemudi dan disampingnya keluar. Membawa Benjamin masuk ke dalam mobil bagian belakang yang di dalamnya sudah ada pria paruh baya yang terlihat masih gagah. Ditambah dengan setelan formalnya.

"Sudah aku bilang. Lebih baik kau kembali pada jati dirimu yang sebenarnya." Ujar pria paruh baya itu menatap kesal pada Benjamin yang ada disampingnya. "Dasar keras kepala." Kesalnya lagi.

"Ke rumah sakit sekarang. Dia akan mati jika aku tak mengawasinya," ujarnya lagi pada si pengemudi.

"Baik, Tuan."

Mobil melaju membelah jalanan ibu kota dari Italia. Roma. Dengan pria paruh baya itu yang sibuk dengan sambungan teleponnya.

"Ya, kita akan merayakan kedatangannya." Katanya senang.

"Tentu saja aku yakin. Dia sudah direndahkan dan bagian yang paling aku suka, dia tidak suka jika ada orang yang merendahkannya. Dan nama Lanzo akan kembali hidup." Tawa senang terdengar menggema di dalam mobil.

Sedangkan orang yang dibicarakan masih tak sadarkan diri dan kini terduduk menyandar disamping pria paruh baya itu. Marco De Rafailo.

Memasuki rumah sakit, Benjamin dibawa perawat untuk segera mendapat penanganan. Hingga setelah berjam-jam lamanya, Benjamin sadar setelah dipindahkan ke ruang rawat. Iris birunya menatap pemandangan yang mengherankan, langit-langit sebuah ruangan dengan bau obat-obatan yang khas. Rumah sakit.

"Sudah aku duga. Walaupun kau terkena racun, kau akan pulih cepat."

Benjamin menoleh pada asal suara yang sangat dikenalinya. Dan benar saja, ia menemukan Marco tengah terduduk di sofa dengan tangannya yang sibuk mengupasi buah.

"Bagaimana kau menemukanku?" Tanya Benjamin yang memilih untuk bangun dari tempat tidurnya itu.

"Aku mengawasimu, Nak." Ujarnya tersenyum senang.

Benjamin memilih diam tidak menanggapi. Percuma saja, pria tua itu tidak berubah sama sekali. Ketika ia bertanya, maka jawabannya adalah sesuatu yang jauh dari ekspetasi si penanya.

"Sepertinya, kau membutuhkan kekuatan untuk membalas penginaan itu," Marco tersenyum miring ketika melihat Benjamin diam menatapnya. "Bagaimana jika aku menawarimu kekuatan itu?" Lanjut Marco bertanya.

"Aku punya kekuatanku sendiri." Benjamin membalas.

"Kau yakin bisa mengalahkannya hanya dengan kau mengandalkan kekuatanmu sendiri?" Marco bertanya kembali.

"Aku memiliki strategi untuk itu." Timpal Benjamin lagi yang membuat Marco kini terkekeh.

"Nak, aku tahu kau kuat dan memiliki kecerdasan yang tidak terkira. Tetapi apa kau pernah berpikir, jika mengandalkan itu saja tidak akan membuatmu menang dalam pertempuran," Benjamin memilih diam. Mendengarkan apa yang dikatakan pria tua itu, karena di beberapa keadaan Benjamin harus akui Marco adalah penasihat terbaik untuknya. "Dangelo Castelio. Dia seorang bangsawan dan sudah dipastikan dia memiliki kekuasaan yang tidak kau miliki. Dan inilah yang harus kau miliki untuk menambah kemenanganmu. Kau harus memiliki kekuasaan."

Benjamin tidak menimpali. Bahkan setelah beberapa detik perkataan Marco itu keluar. Marco tersenyum. Ia benar-benar harus menyiapkan acara penyambutan untuk Benjamin.

"Dan aku menawarkanmu kekuasaan yang tidak kau miliki itu. Untuk membalas penghinaan dari bangsawan angkuh itu. Untuk membuatnya mengerti siapa dirimu yang sesungguhnya. Kembilah pada jati dirimu yang dahulu."

Benjamin masih diam. Bahkan saat Marco berkata ia akan pergi. "Tetaplah di sini sampai kau benar-benar pulih. Jika kau menerima tawaranku, kau tahu ke mana kau harus pergi."

Saat tangan Marco hendak membuka pintu, ia dihentikan oleh Benjamin. "Tunggu!"

"Siapa yang sekarang memimpin organisasi?" Tanya Benjamin.

Marco berbalik, "Aku."

"Kenapa kau?" Benjamin bertanya heran.

"Kau tahu? Aku tidak gampang mempercayai orang. Dan aku tak yakin, ada yang pantas menggantikan posisi yang kau tinggalkan itu," ujarnya. "Aku tahu kau akan kembali. Cepat atau lambat. Maka dari itu, aku mengosongkan posisi itu untuk kau isi kembali. Dan aku benar-benar berharap kau memang akan kembali, Lanzo."

Marco pergi meninggalkan Benjamin yang masih terdiam setelah pertanyaannya terjawab. Marco benar, untuk membalas penghinaan dari Dangelo, selain kekuatan ia juga harus memiliki kekuasaan. Dan Benjamin sepertinya harus kembali pada dunia yang dia tinggalkan. Pada jati dirinya yang dulu dia buang hanya karena tidak ingin terbayang-bayangi rasa bersalah. Juga, demi orang-orang yang dicintainya.

Benjamin mengembuskan napasnya. Ia kira Marco akan mencari seseorang untuk menggantikan posisinya. Tetapi rupanya, Marco sendiri yang mengambil alih. Benjamin melihat tangannya yang diinfus. Berdecih kesal, karena ia lemah di bawah kekuasaan Dangelo yang seorang bangsawan. Bukan sekali dua kali ia dihinakan seperti ini. Tetapi, sebelumnya pun ia menjadi bahan hinaan untuk orang-orang bangsawan itu. Membuatnya yang ingin membalas menjadi lebih berhati-hati karena ia menjadi orang biasa.

Dan sepertinya, ia benar-benar harus memikirkan tawaran dari Marco. Pria tua yang mengangkatnya menjadi anak dan memperkenalkannya pada dunia yang penuh dengan kelicikan serta kekejaman sedari ia kecil. Hingga Benjamin mencapai usia 17 tahun. Ia dipercayai untuk memimpin kelompok yang didirikan Marco. Organisasi gelap yang tentunya memiliki berbagai bisnis ilegal. Mulai dari perdagangan senjata api, obat-obatan terlarang, casino, penggelapan dana dan banyak bisnis ilegal yang terjaring di dalamnya. Dan itu terselundup dibalik perusahaan-perusahaan besar yang berdiri di Italia sebagai pemasok dana besar untuk negara.

Itulah, salah satu alasan kenapa Benjamin memilih untuk keluar dari dunia yang sudah membesarkan namanya. Nama Lanzo yang digenggamnya di dunia hitam. Dunia para mafia.

Dan kali ini, untuk membalas penghinaan dari para bangsawan itu, ia harus memiliki kekuasaan itu kembali. Kekuasaan yang ia lepas dan ia harus genggam kembali. Menghidupkan kembali Lanzo yang mati setelah kepergiannya.

Lanzo akan kembali pada tahtanya yang ia tinggalkan.


To be continued...



Sampai bertemu di bab selanjutnya. Silakan tanggapannya dikolom komentar dan jangan lupa vote*

16 Jan 2024

The Return Of A LanzoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang