CHAPTER 11

643 57 18
                                    

Dalam keheningan ruangan, Violet tampaknya tengah terjebak dalam aliran waktu, menahan napas tegang sambil menyaksikan ingatannya yang berlapis-lapis tentang kehilangan orang tua dan kembarannya diputar kembali dalam pensieve. Kedalaman matanya memancarkan kegelapan yang memikat, merefleksikan beban tragedi yang menumpuk di punggungnya. Tubuhnya naik turun dengan irama napas yang terputus-putus, mencoba menemukan keseimbangan emosional yang terlepas dari genggaman kenangan pahit.

Hermione, di sampingnya, memperhatikan dengan rasa simpati yang dalam, mengamati dengan seksama bagaimana tiap detik berlalu meninggalkan jejak di wajah Violet. Saat matanya menyusuri gambar-gambar itu, ekspresi wajah Hermione mencerminkan kegentaran menghadapi kepedihan yang tercermin di ingatan Violet.

Violet melangkah cepat, penuh tekad, meninggalkan kastilnya, berlari melintasi halaman yang teduh, dan melalui gua yang menyajikan jalan pintas keluar dari area rumahnya. Begitu keluar dari kegelapan gua, langkahnya melambat saat dia memasuki kastil Hogwarts yang megah. Setiap langkahnya diiringi cahaya samar dari obor-obor, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding.

Dengan penuh kepastian, Violet mengarahkan langkahnya menuju ruangan kantor kakeknya, Godric Gryffindor. Pintu kantor yang berukir Phoenix indah terbuka, dan saat dia melangkah masuk, dia merasakan kehadiran seseorang yang energinya sangat kuat. Ruangan itu terasa seperti museum kehidupan lama, penuh dengan buku-buku tua, artefak sihir, dan gambar-gambar yang menceritakan legenda keluarga Gryffindor. Violet, dengan pandangan tegas, siap menghadapi apa pun yang menanti di ruangan ini.

Dalam suasana tenang kantor kakeknya, Violet memasuki ruangan dengan langkahnya yang tergesa-gesa. Kakeknya, Godric Gryffindor, tengah mendalami tumpukan tugas para siswa, benar-benar tak menyadari kehadiran cucunya. Menganggapnya sebagai Rowena, rekannya, Godric bertanya dengan ramah, "Rowena, ya? Ada perlu apa?" Jenggotnya bergerak-gerak saat dia berbicara.

Tidak menunggu jawaban, Violet bergegas mendekati meja kakeknya, napasnya tersengal, dan matanya penuh dengan kepedihan yang tak terucapkan tentang hal menyedihkan yang baru saja dia alami. Pada saat itu, Godric masih terfokus pada catatannya, tanpa menyadari detik-detik dramatis yang akan menyentuhnya.

"Ayah, ibu, dan Hugo... Semuanya dibantai, Kek," serunya, memutus keheningan ruangan.

Berita mendalam dari cucunya merobek konsentrasi Godric. Pena bulunya tergelincir dari genggamannya, jatuh ke lantai tanpa suara. Matanya yang lebar memandang wajah Violet yang penuh luka, dan dia meresapi horor dari kata-kata itu. Tangan cucunya yang berlumuran darah menjadi saksi bisu tragedi yang tak terbayangkan.

Berdiri dan mengelilingi meja dengan langkah yang mantap, Godric berhenti di depan Violet, kekhawatirannya terpancar dari mata yang bergetar. "Apa... apa yang terjadi?" Suaranya gemetar, mencerminkan kepanikan dan ketidakpercayaan.

"Itu Kakek Salazar, Kek. Dia yang membunuh mereka. Aku minta maaf," ucap Violet, menyerahkan sebuah kalung zamrud dari dalam jubahnya kepada Godric, sebagai simbol keputusasaan dan penyesalan.

Tangisan Violet meluap, menciptakan gemuruh emosional yang menyelimuti ruangan. Godric, dengan refleks cepat, memeluk cucunya, merangkulnya dalam pelukannya. Matanya mencerminkan kelegaan dan kekhawatiran yang menyatu, tentang Violet yang merupakan cucu satu-satunya yang selamat.

"Aku minta maaf, Kek! Aku ketakutan! Aku sangat takut," serunya, berserah diri kepada kepedihan yang melandanya.

Godric mengusap lembut rambut Violet, mencoba menghiburnya. "Tidak apa-apa. Bagus jika kau pergi dari sana, bagus kau pergi. Jadi kau tidak menjadi korban juga. Jika kau ada di sana, kita tidak tahu apa yang akan Salazar lakukan padamu," ujarnya, mencoba membawa ketenangan pada cucunya yang terguncang.

The Protection by Hawssky [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang