-☆

19 2 0
                                    

Aku menangis karena takut.

Takut bahwa aku tidak akan menjadi apa-apa. Takut dengan pandangan orang. Takut dengan hal baru. Takut keluar dari kamar yang memanjakanku. Aku takut tidak bisa menghadapi masa depan.

Aku menangis karena merasa bersalah.

Sekarang aku sudah hidup selama dua puluh tahun, tetapi tidak ada yang bisa dibanggakan. Aku merasa bersalah pada mereka yang merawatku; pada mereka yang memberiku pakaian, makanan, dan naungan. Mereka yang sudah memberiku banyak, tetapi aku tidak bisa memberikan yang setimpal.

Aku menangis karena merasa tidak berguna.

Aku yang tidak bisa memasak. Aku yang tidak memiliki prestasi akademik. Aku yang tidak punya banyak teman. Aku yang tidak gaul. Aku yang ... biasa-biasa saja. Padahal, aku sudah dua puluh tahun.

Tangisanku mengalir seiring dengan segala keresahanku, dan membuatku terjaga sampai larut. Aku tidak bisa tidur, bukan, lebih tepatnya aku takut untuk tidur. Karena ketika aku bangun nanti aku pasti harus menghadapi hari baru itu. Dan aku belum siap.

Air mataku baru saja akan meluncurkan gelombang berikutnya ketika aku mendengar suara ketukan di jendela.

Sepertinya menangis lumayan menguras energiku, sehingga aku terlalu lelah untuk mencurigai atau mempertanyakan identitas si pengetuk pada waktu selarut ini. Aku pun membuka jendela dan membeku.

•••

Jeng jeng jeng! Siapa sosok yang mengetuk itu? 😱

I Wish You Good NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang