01

767 76 8
                                    

Sepi sekali.

Sejak hari itu suasana rumah berbeda.

Hari dimana Renjun dikalahkan oleh rasa penasarannya untuk melihat apa yang ada di loteng rumahnya.

Loteng yang tidak pernah dijamah sama sekali oleh keluarganya setelah satu bulan menetap disana.

Loteng yang menurut kabar beredar adalah saksi bisu dari sebuah kasus pembunuhan yang terjadi dua-tahun silam.

Ada sesuatu di loteng rumahnya.

Orang tuanya selalu mengingatkan ia dan adiknya untuk jangan pernah menginjakan kaki di tempat angker itu.

Tapi, Renjun penasaran.

Ada apa diatas sana?

Dan entah ia harus kecewa atau merasa lega, ia tidak menemukan apapun disana.

Hanya ruangan gelap dan pengap dengan meja dan lemari tua yang ada disudut ruangan.

Sedetik kemudian, ia mendengar sang Ibu meneriaki namanya kencang dan menyuruhnya untuk turun.

Ia menurut.

Namun tetap saja, baik Ibu maupun Ayahnya, sudah terlanjur marah karena ia tidak menuruti perkataan mereka.

Padahal tidak ada apapun disana.

Tidak ada yang harus dikhawatirkan.

.

"Gege, jangan melamun."

Renjun menoleh kearah Chenle--sang adik--yang berjalan memasuki kamarnya dengan pakaian rapih.

"Tumben sudah rapih, mau kemana?"

"Lupa, ya?" Chenle duduk dikasur milik sang Kakak. "Mama dan Baba ada urusan beberapa hari diluar kota dan aku disuruh ikut untuk menemani mereka."

"Ah, benar. Gege lupa karena tidak diajak." Jawab Renjun asal sambil mencebik.

Bibir Chenle tak kalah melengkung mendengar jawaban sang Kakak. "Jangan terlalu diambil hati. Mama dan Baba hanya takut sesuatu yang buruk terjadi pada Gege. Apalagi setelah mendengar kabar tentang apa yang terjadi diloteng rumah kita ini."

"Ya, Gege paham." Renjun menghela nafas. "Tapi reaksi mereka berlebihan. Lagipula tidak ada apapun disana."

"Ada." Chenle menatap Renjun serius.

Renjun menaikan alisnya. Adiknya memang lahir dengan kelebihan yang tidak banyak orang miliki. Dia bisa merasakan dan melihat sesuatu yang tidak banyak orang bisa lihat.

"Kamu naik ke atas?"

Chenle mengangguk. "Kemarin."

"Apa yang kamu lihat?"

Chenle terlihat ragu ketika dia hendak menjawab.

"Ada 'mereka'?"

"Ada yang berdiri didekat lemari disudut ruangan. Berdiri menatap kearahku."

"A-apa?"

"Aku takut."

Renjun terkejut mendengarnya. Selama dua-puluh-dua tahun mengenal Chenle, ia tidak pernah sekalipun mendengar kata "takut" keluar dari mulutnya. Adiknya itu termasuk orang yang berani entah semenyeramkan apapun makhluk yang dia lihat.

"Kamu? Takut?"

Chenle mengangguk. "Energinya terlalu kuat dan tidak bagus. Maka dari itu aku langsung turun."

"Chenle!!! Ayo, kita pergi!!!" Teriakan sang Baba terdengar.

"Gege, aku pergi dulu." Chenle tersenyum singkat kearah Renjun. "Baik-baik, ya. Kalau bisa tolong jangan keatas. Jangan kemana-mana. . ."

A SOUL IN THE ATTICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang