Hesitation

533 96 11
                                    

"Cheers!"

Yayan tertawa seraya menegak bir kalengan yang dibawa Rendry. Tumben-tumbenan sohibnya yang satu itu mau mampir ke kosan Yayan di bilangan Karet, Jakarta. Biasanya paling ogah gara-gara kos-kosan itu berada di jalan tikus. Alias, sempitnya luar biasa!

Meski kos-kosannya lumayan modern, bangunannya relatif gede dengan 20 kamar, tempat parkir luas, tapi akses ke tempat itu memang "nggak banget". Yayan mesti sabar-sabar kalau bodi BMW hitamnya terancam baret gara-gara motor dari arah berlawanan di jalan aksesnya.

Pindah kosan memang menjadi salah satu tujuan Yayan begitu keterima di kantor barunya. Dia berniat mencari tempat yang lebih spacious dari pada kos-kosan yang aksesnya selalu bikin ketar-ketir saat nyetir.

Plus, Yayan juga perlu ruangan yang lebih privasi untuk nongkrong bareng teman-temannya.

Suka-duka kalau ngekos memang begini. Yayan jadi tak punya space lebih kalau ada teman-teman yang mau mampir ke tempatnya. Mau tak mau, Yayan mesti menggunakan ruang tamu kosan sebagai tempat menerima tamu. Pakai kamarnya, sih, bisa saja. Tapi bayangin jadi bahan gosip yang mempertanyakan orientasi seksualnya di kosan itu bikin Yayan merinding.

Jadi, mending pilih main aman saja. Ngumpul di ruang tamu kosan Bu Tut. Kan, gawat juga kalau sampai ada penghuni atau pengurus kosan yang mikir eng-ing-eng seandainya Yayan nekat membawa teman-temannya yang mayoritas cowok ke dalam kamar.

"Lo udah ketemu kosan baru?" tanya Rendry Bramantyo mencomot pisang goreng dari piring.

Ruangan yang tengah ditempatinya dengan Rendry sekarang agak terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang tamu. Pasalnya, ruangan itu hanya digelar karpet dari sudut ke sudut. Untungnya, karpetnya lumayan pendek.

Tidak ada meja sebagai tempat menjamu makanan atau minuman di ruangan itu. Alhasil, Yayan tidak repot-repot mengeluarkan gorengan dari plastik yang didapatkannya dari abang-abang gorengan tadi.

Dindingnya yang dicat putih sepertinya dibiarkan polos oleh Bu Tut. Satu-satunya ornament di situ hanyalah jam dinding yang syukurnya masih sering diganti baterenya.

"Ada, sih. Gue emang ngincer apartemen—"

"Lo serius ngincernya apartemen?" potong Rendry dengan mata membulat sempurna.

"Kenapa nggak?"

"Kenapa nggak beli rumah sekalian?"

"Rumah kalau buat ditinggalin sendiri berasa sepinya. Kalau udah ada istri, baru beli rumah. Kalau masih single gini, mah, enakan apartemen."

"Makanya married!" ledek Rendry. Kepalanya geleng-geleng. "Tapi kenapa nggak di kos-kosan aja lagi? Entar pas married baru lo sekalian pindah ke rumah bareng bini."

"Ck, lo mau tiap kali nongkrong di ruang tamu kosan melulu? Ini mending kalau penghuni lain nggak ada yang bawa tamu juga. Kalau ada, kita mangkir ke tukang jamu di pojokan."

Tawa Rendry berderai. Kakinya diselonjorkan sambil merenggangkan badan. "Bukannya lo demen juga nongkrong di tukang jamu?"

"Itu, sih, gara-gara Mas Kun!"

Rendry makin terbahak-bahak. "Kampret! Mentang-mentang pembawaannya lebih tua!"

"Bukan masalah tuanya. Dia emang demennya yang anti-mainstream gitu, Wedhus!" Yayan cengengesan. Dalam hati merasa berdosa juga lantaran ngegibahin Mas Kun mentang-mentang orangnya lagi tidak ikutan ngumpul. "Ngomong-ngomong, Mas Kun belum nongol juga di grup?"

Begitu tawa Rendry berhenti, lelaki yang menata rambutnya dengan sedikit poni itu mengeluarkan ponsel dari celana panjang.

Penampilan Rendry santai banget dengan kemeja dan celana jins. Kantor Rendry memang tidak mengharuskan berpakaian formal kayak kantor Yayan yang malah ada kemeja seragam untuk dipakai hari tertentu.

The Teasing GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang