So-Called Healing

250 58 2
                                    

"Ai bisa dibunuh Papi, lah!"

Yayan langsung terbahak-bahak mendengar protesan dramatis Sofi di bandara Changi. Tanpa mengindahkan protesan adik perempuannya, Yayan membentangkan kedua tangan dan menarik Sofi ke dalam pelukan.

"I miss you too, Sofi."

Sayangnya, pelukan antara kakak-beradik itu tidak berlangsung lama. Yayan langsung dihadiahi oleh sikutan oleh Sofi. Adik perempuannya itu memang paling pro untuk melakukan tindakan fisik. Level nolnya cubitan—ini saja sudah bisa bikin kulit Yayan sampai membiru.

"Gue kira begitu punya anak lo nggak bakal nyikut-nyikut orang seenaknya lagi, lho!" ringis Yayan seraya menahan sakit di perut akibat sikutan maut kakaknya. "William mana?"

Sofi memutar bola matanya. "Makan, lah! Ini jam makan siang, Koh. What do you expect? Ini aja ai kira nggak bakal beneran ketemu you di sini!"

"Sesekali healing boleh kali!"

"Healing, ndasmu!"

Lagi-lagi Yayan tertawa.

Kalau mau jujur, sebenarnya dia sendiri juga tidak berencana senekat ini. Akhir-akhir ini, ada yang bikin dadanya terasa sesak. Padahal Yayan sudah membuka jendela kamar kosnya gede-gede biar sirkulasi udara di kamarnya berjalan, membeli air purifier, bahkan mengeluarkan kembali cadangan inhaler dari kotak P3K-nya.

Namun, sia-sia saja. Rasa sesak itu masih menggelayuti dadanya.

Akhirnya, entah dapat dorongan dari mana, Yayan mengecek paspornya lalu nekat pesan tiket ke Singapura.

Begitu kakinya menyentuh bandara Changi, rasa sesak itu masih ada di dada Yayan. Tetapi dia berusaha menepisnya agar sebisa mungkin kelihatan tak seperti orang lagi patah hati.

Seketika mata Yayan mengerjap-ngerjap cepat.

Yayan tidak tahu kenapa istilah itu yang terbersit untuk mendeskripsikan keadaannya sekarang. Patah hati? Mustahil. Yayan tidak pernah menggunakan hati. Boro-boro. Sejauh ini saja dia tak merasa lagi jatuh cinta. Lantas, kenapa malah istilah itu yang muncul di benaknya saat menggambarkan kondisinya?

Yayan menggelengkan kepala. Tampaknya dia benar-benar perlu healing.

"Rencana you mau ngapain, Koh? Besok flight balik ke Jakarta lagi, kan?" tanya Sofi sejurus kemudian.

Yayan mengangkat bahunya sekilas. "Gue sebenarnya emang mau healing aja. Mumet banget tinggal di Jakarta. Makanya, gue menyepi—"

"You menyepi ke Singapura? Are you insane? Or just another heartbroken?"

Seketika itu bibir Yayan langsung tertutup.

Entah Sofi memang pintar tebak-tebakan atau perempuan itu melihatnya seperti an open book. Atau malah, tampangnya benar-benar mengindikasikan orang lagi patah hati?

"Emangnya gue kelihatan kayak orang lagi patah hati, Sof?" tanya Yayan pada akhirnya.

Sofi berdecak cepat dan geleng-geleng kepala. "Nanti you cerita aja di hotel. Sekarang kita ketemu William sama Hayden dulu, lah!"

Mengetahui keponakannya diajak juga, senyum Yayan tiba-tiba merekah. Sembari menarik koper, dia mengekori kakaknya meninggalkan area kedatangan.

"Padahal kalau nggak dijemput, gue juga bisa naik taksi ke rumah lo."

Sofi mencibir. "Tadinya ai ngarep you cuma nge-prank atau agak tipsy dikit bilang mau ke Singapura tiba-tiba. Eh, malah muncul beneran. Jakarta-Singapura berasa kayak dari Jakarta Barat ke Jakarta Pusat, ya?"

The Teasing GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang