Friend or Enemy

360 91 21
                                    

"Ganteng-ganteng serigala, ternyata."

"Anjir, bener lagi!"

"Tapi keren, tau! Pak Yayan kayak yang di drakor-drakor gitu nggak, sih? Idaman banget, deh!"

Yayan mendengus dalam hati tanpa memedulikan celotehan halu orang-orang yang baru dilewatinya di koridor dan menaiki lift ke lantai 28.

Sepanjang sisa hari tadi, otak Yayan seperti anak sekolahan yang berharap ada pengumuman pulang cepat. Dia tak sabar untuk segera beranjak dari kursi kerjanya, lalu memastikan Fralita baik-baik saja.

Pemandangan yang dilihat di pantri kantor tadi benar-benar bikin mual. Tak disangka ada jenis orang bejat di lingkungan kantornya. Sialan, selain Fralita siapa lagi yang sudah jadi korban? Atau, jangan-jangan hanya Fralita doang yang jadi korbannya?

Padahal, postur perempuan itu bukan tipe yang diam saja kalau ada orang yang mau ngapa-ngapain kepadanya. Lantas, kenapa pria buncit tadi dibiarkan begitu saja?

Pintu departemen keuangan terbuka saat Yayan hendak mengetuk. Matanya otomatis melebar saat bertemu pandang dengan Fralita.

Perempuan ini punya aura yang beda tiap kali tubuhnya dibalut jaket kulit hitam atau pakaian hitam lainnya. Kesannya lebih berbahaya, cantik, dan... atraktif.

Yayan sampai tak berkedip saking terpesonanya oleh penampilan Fralita.

"Pak Yayan jadi pulang bareng saya?" tanya Fralita tanpa basa-basi. "Yakin mau bareng?"

Pelan-pelan, sudut bibir Yayan terangkat.

"Well, well, guess the mistress of evil is back," komennya jail.

Alih-alih merespons, Fralita hanya menyipitkan mata lalu melewati Yayan begitu saja.

Melihat itu, Yayan segera memutar badan. Dia mengekori Fralita sambil manggut-manggut. Tampaknya Fralita benar-benar sudah kembali menjadi dirinya. Toh, judesnya sudah balik.

Selain itu, wajah Fralita juga sudah tidak sepucat tadi. Sejujurnya, Yayan lebih demen melihat perempuan itu galak dan ngomong judes daripada diam seribu bahasa dengan wajah pucat seperti siang tadi.

"No freaking way!" Mulut Yayan ternganga begitu menyadari tujuan mereka. Matanya kontan membeliak saat Fralita mendekati sebuah motor sport hitam yang terparkir di antara jejeran motor biasa. "Bu Fralita naik motor CBR ke kantor?"

Yayan yang selalu naik mobil tentu saja tidak relate dengan parkiran motor. Beda gedung juga. Namun, melihat perempuan naik motor sport hitam tanpa mengeluh susah naik, that's another level di mata Yayan.

"Kenapa emangnya?" balas Fralita bingung.

"Saya kira Anda tipe yang naik mobil—"

"Jakarta macet gini, Pak Yayan. Saya nggak punya banyak stok kesabaran untuk nyangkut lama-lama di kemacetan," sela perempuan itu lempeng.

Yayan masih belum percaya.

Perempuan itu ngomong seolah-olah tidak pernah dibikin naik pitam gara-gara laporan keuangannya tidak balance. Oh, ya. Yayan lumayan tahu-menahu problematika departemen keuangan. Laporan keuangan yang ada sisi debit dan kredit itu bisa bikin kepala pening dan naik darah kalau ditemukan selisih.

Atau, kalau ada berkas laporan pertanggung jawaban yang kurang legit di matanya, mana mungkin perempuan itu tidak mencak-mencak?

So, mustahil Fralita tidak punya kesabaran ekstra hanya gara-gara kemacetan ibu kota yang tidak seberapa dibandingkan selisih di laporan keuangan atau ketidaklengkapan berkas.

The Teasing GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang