Do You Know Where You're Going To?

220 48 3
                                    

"Jadi, itu orangnya, Koh?" William langsung menodong Yayan di dapur. Kepala adik iparnya bergerak ke arah ruangan sebelah, tempat Alit dan Sofi berada. "Kalau lihat gesturnya, kayak nggak benci sama Kokoh. Apalagi dia juga nggak nolak pas Kokoh ajak ke sini."

Yayan menutup kulkas setelah mengambil botol jus. "Soalnya lo lihat pas udah di sini," gumamnya masam. Tenaga Yayan rasanya terkuras untuk meyakinkan Alit agar mau diajak ke rumah adiknya.

"Terus, gimana akhirnya dia mau ke sini?"

Alih-alih menjawab, Yayan justru tersenyum tipis. Ingatannya ditarik ke kejadian pagi tadi di hotel.

***

Sekeluarnya dari kamar mandi, Yayan mendapati kamar Alit dalam keadaan kosong melompong.

Melihat itu, dia mengembuskan napas panjang. Sesuai dugaan, Alit pasti ogah diminta menunggu. Padahal Yayan bukan mandi ganteng. Dia berusaha mandi secepat mungkin. Eh, begitu selesai mandi, Alit tetap sudah lenyap dari kamar.

Lantas, setelah memastikan penampilannya sudah benar-benar segar tanpa tanda-tanda habis mengalami malam hebat, Yayan bergegas turun menuju restoran. Hanya ada satu restoran di hotel itu.

Dalam sekejap, Yayan pun menemukan Alit yang sudah blus biru muda dengan aksen bunga-bunga di bagian kerah dan celana jins panjang yang membungkus kaki jenjangnya. Perempuan itu tengah menikmati sarapannya sendiri dekat jendela besar yang membentang di sisi restoran.

"Gue udah bilang tungguin, kan?" Yayan menarik kursi kosong di depan Alit. Sebuah meja kecil berbentuk persegi berada di tengah-tengah mereka. "Kita nyarap bareng."

"Jangan konyol hanya gara-gara lo tau gue baru pertama kali having sex, Yan," timpal Alit tak peduli.

Yayan menghela napas. Perempuan ini mudah sekali kembali ke wujud awalnya. "Lit—"

"What happen in Singapore, stays in Singapore." Alit menyela seraya menatap Yayan lurus-lurus. "Toh, ada pengaruh alkohol juga semalam. Dan, kali ini, gue harap bibir lo nggak kayak baskom bocor, Yan."

Otomatis Yayan mengunci rapat-rapat bibirnya. Matanya tak melepaskan pandangan dari Alit yang kembali menikmati seporsi toast dengan selai srikaya dan secangkir teh hangat di meja. Rasa lapar di perut Yayan tiba-tiba menguap.

Entah kenapa tak ada sisa-sisa percintaan mereka lagi di perempuan itu. Sesaat, Yayan juga agak berharap sikap Alit melunak. Ternyata, tidak segampang itu.

"Kalau lo nggak keberatan, gue juga mau sarapan sendirian," lanjut Alit tanpa memandang Yayan. "Sisa waktu gue buat refreshing nggak banyak sebelum balik ke Jakarta dan ketemu lo lagi besok."

Yayan pun menarik napas dalam-dalam. Kemudian dia mencondongkan sedikit badan ke arah meja. "Gue minta maaf soal pertengkaran kita di Jakarta."

Alit tidak berkomentar.

"I'm sincerely apology, Fralita. Tapi, sumpah, Pak Yogiswara nggak tau apa-apa soal kejadian di pantri. Gue juga nggak bawa-bawa lo. Gue nggak ngerti kenapa si buncit langsung mikir lo ngadu ke gue. Tanpa lo ngadu, gue juga tau karena gue melihat kejadiannya dengan kepala gue sendiri."

Barulah saat itu Yayan melihat Alit memandangnya.

"I won't tell anything. I swear to God—"

"Oke, stop." Alit memotong seraya mengembuskan napas berat. Sepasang matanya menatap Yayan tajam. "Permintaan maaf diterima. Tapi gue masih perlu me time, Yan."

Yayan mengembuskan napas lega. Kepalanya mengangguk. "Gue bakal pindah meja, tapi kasih tau gue kenapa lo nge-block WA gue."

Kontan saja, kepala Alit yang semula tertunduk jadi terangkat lagi. Sepasang alis perempuan itu menyatu bingung. "Gue nggak nge-block WA lo," bantahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Teasing GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang