Feel // 1

801 39 0
                                    

"Kenapa?"

Menguarkan suara baritone yang terdengar serak dari bibirnya yang tampak pucat. Suara samar, namun mampu menolehkan wajah cantik dengan poni yang bergerak ketika angin turut andil membelai mesra dengan tiupannya.

"Kenapa?"

Yang diharap menjawab malah balas mengulang pertanyaan yang sama, bahkan ia tak segan menatap kedua manik kelam yang dapat menjerat siapapun untuk tenggelam disana.

Setelahnya, senyum tipis terlukis meski dirinya tidak mengerti akan pertanyaan dari laki-laki bermata mempesona tersebut.

"Kenapa kau masih mencintaiku?"

Pemuda itu terdiam, salah! Lebih tepat jika ia bungkam dengan kuluman senyum yang tak lagi terlihat.

Lalu..., menghela nafas.

Membiarkan sepasang obsidian gelap menatap dalam kedua matanya yang sampai saat ini tak dapat lepas dari kedua manik memikat sang lawan.

Sebentar ia menundukkan kepala sebelum terdengar kekehan kecil. Itu pertanyaan yang tidak lucu ––memang, dan ia malah tertawa?

Yang lebih tinggi masih memasang wajah yang sama ––selalu serius dengan mimik datar, membiarkan tawa renyah yang lebih kecil mengalun melewati masing-masing rungu. Pria itu menunggu si kecil untuk kembali mengangkat kepala dan menatap mata yang meminta jawaban darinya.

Dia, Lee Haechan ––pemuda yang lebih kecil–– kembali fokus, lagi-lagi menjatuhkan kedua atensinya untuk terjerat dalam buaian obsidian kelam secara suka rela.

"Aku punya pertanyaan juga."

Lantas ia, Jisung ––yang lebih tinggi, si pemilik obsidian kelam nan memikat mulai mengernyitkan kening.

"––kenapa harus dirimu?'"

Seulas senyum teduh kembali terlukis di wajah Haechan, sayang senyum tulusnya tak mampu merubah mimik Jisung. Kernyitan di keningnya memang menghilang, walau matanya jelas dan lekat tak ingin melepaskan mata Haechan dari retina.

"Ya. Kenapa harus aku?" Bermaksa jamak, pertanyaan tersebut kembali Jisung utarakan, menandakan jika dirinya benar-benar membutuhkan jawaban.

Lantas, Haechan mengulum senyuman.

"Menurutmu?" Seolah menggoda seberapa lama Jisung akan sabar, sedikit bermain-main.

"Tidak tau.."

Sebuah jeda tercipta beberapa saat.

"––aku... tidak sama seperti mereka." Hingga Jisung malanjutkan, lirih —sangat lirih.

Bergerak dari duduknya yang sudah nyaman, kemudian berdiri. Haechan mengitari meja bulat yang memisahkannya dengan si jangkung. Pun ia memilih berdiri dibelakang kursinya, sedikit mencondongkan tubuh untuk memeluk Jisung dari belakang dengan kedua lengan kecil melingkari dada pemuda tersebut.

"Memang beda sih.. Kau lebih indah dari mereka, asal kau tahu itu." Ucapnya, wajah ayu yang tertompang diatas bahu Jisung menoleh menatap pahatan sempurna itu. Dari jarak yang amat teramat dekat, hembusan nafasnya seperti menggoda, menyapu lembut permukaan halus dari kulit dengan aroma yang sangat ia sukai.

"––kau tidak bosan mendengar jawaban yang sama Jisungie?"

Jisung sedikit menoleh, cuping hidung mancungnya menyentuh pipi tembam Haechan yang tersenyum menggoda.

"––wajahmu, matamu, hidungmu, bibirmu, semuanya.. tidak ada yang seperti dirimu. Kau lebih indah dari siapapun.." Lanjutnya.

Lantas, wajah rupawan itu mengalihkan kembali tatapan memikatnya. Bergoyangnya dedaunan tampak terbayang dikedua matanya.

"Tidak bosan mendengar jawaban yang sama apa?" Haechan bertanya lagi. Namun sayangnya, Jisung masih bungkam, ia terlarut pada pergerakan daun-daun yang diantaranya berjatuhan karena tiupan angin.

Membuat Haechan tersenyum lembut, ia pun semakin mengeratkan lingkaran tangannya pada tubuh tersebut.

"––aku mencintaimu. Karena itu adalah kau. Kau Jisung."

Jisung memejamkan matanya, menyembunyikan manik miliknya dengan helaan nafas yang panjang dan berat.

Hingga.. Ia menoleh, sengaja menempelkan hidung dan bibir tipisnya pada wajah Haechan yang seketika terbungkam. Seolah Jisung memang mengecap manisnya kulit itu melalui indera pembau dan perasanya. Menuntun bibir itu untuk bertemu bibir yang lain, mengecupnya. Merasakan manisnya, membuat keduanya terpejam sesaat.

Namun...

Hanya beberapa detik, dan manik indah itu kembali terbuka lebar ––bahkan terbelalak. Cepat Jisung menjauhkan wajahnya dari wajah sang kekasih yang melakukan hal yang sama ––membuka kedua bola matanya, terkejut atas perlakuan Jisung yang tiba-tiba.

"Tapi––" Selanjutnya, Jisung melepaskan kedua tangan yang memeluknya, membuat Haechan kembali berdiri tegak dengan bingung.

Srrek!

Suara yang cukup keras terdengar dari decitan kursi kayu yang beradu dengan lantai keramik ketika Jisung tiba-tiba berdiri, lantas ia sontak berbalik untuk berhadapan dengan Haechan yang masih tak bersuara.

"––aku tak butuh kepalsuan Haechan. Aku muak!!"

Ia membentak keras, mengudang berpasang-pasang mata pengunjung kafe menoleh ke arah mereka.

Tanpa peduli, Jisung segera berlalu, ia melangkah panjang meninggalkan tempat itu, meninggalkan Haechan begitu saja.

"Jisung..."

.
.
.


––jika kalian tidak mengerti dengan jalan ceritanya, mungkin yang bermasalah adalah kalian––

Feel. // soul. -Nahyuck // JihyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang