Tibalah saatnya acara pelepasan kelas XII. Dikarenakan pihak sekolah tidak mengizinkan adanya acara yang berlebihan, jadi keseluruhan acara di atur oleh pihak sekolah. Untungnya, acara tidak berlangsung terlalu formal selain pada upacara pembukaan. Cukup meriah karena pengumuman kelulusan, lalu penobatan siswa dengan nilai UN tertinggi, ditambah penampilan hiburan dari beberapa siswa yang sukarela tampil di panggung.
Ada band juga, tapi band dari SMK tersebut, bukan guesstar dari luar seperti yang mereka harapkan. Semua lokal, dari SMK Cakrawala.
Mereka para OSIS tentu saja sudah datang dari pagi, mulai dari acara formal sampai acara hiburan. Ancaman Putih memang berhasil, mereka jadi sering berkumpul lengkap dan kerja sama mereka meningkat. Ditambah lagi salah paham informasi di antara mereka berkurang. Semua jadi tidak menyepelekan tanggung jawabnya lagi. Meskipun dalam hati mereka sudah tidak nyaman bekerja sama dengan Putih.
Sekarang saatnya drama musikal berlangsung. Putih tersenyum sambil bertepuk tangan menyemangati para pemain dari belakang panggung.
"Semangat! Semangat!" kata Putih tidak sabar ingin melihat penampilan mereka.
Riuh tepuk tangan tidak semeriah awal acara. Mungkin karena matahari sudah berada di atas kepala, membuat mereka semakin mengeluh karena panas walau dihalau tenda.
Musik mengalun di awal penampilan. Para pemain berdialog sambil berlenggak-lenggok sesuai peran masing-masing. Beberapa menit berlalu, siswa tampak enggan untuk menonton pertunjukkan yang menurut mereka membosankan. Lawakan tidak lucu, pemainnya kaku, apalagi alur cerita tidak menarik.
"Hhuuu!!" Semua menyoraki yang sedang tampil diatas panggung.
"Ceritanya gak seru! Hhuuu!" sorak beberapa siswa. Menurut mereka dramanya tidak seru dan mereka tidak tertarik dengan penampilan seperti ini. Semua siswa pun bubar, dan acara mereka jadi gagal total. Guru-guru tidak bisa mencegah dan mereka hanya pasrah. Acara pun diselesaikan dengan terpaksa.
Putih yang di belakang panggung langsung berlari guna mencegah kerumunan itu untuk pulang segera. Betapa sakit hatinya, melihat reaksi yang didapatkan bisa seburuk ini. Usahanya disoraki, persembahan tulusnya tidak dihargai. Putih kecewa kepada dirinya sendiri.
"Kak! Jangan pergi dulu, kak!" Putih sendirian menghadang kerumunan siswa yang keluar gerbang.
"Awas kek lu, Putih. Acaranya udah selesai kan." Beberapa siswa bahkan menyingkirkan dirinya yang menghalangi jalan.
"Udah deh. Dramanya jelek. Acaranya udah selesai. Gak ada alasan buat kita tetep duduk di situ. Awas, gih," tukas salah satu mulut siswa yang tidak ia kenal.
Lutut Putih meluruh ke tanah, berlutut kepada kekalahannya harus meratapi usahan yang gagal. Matanya menatap nanar ke lapangan. Pemandangannya justru lebih menyakitkan. Para pemain yang menangis, para guru yang kebingungan, dan para pengurus OSIS yang mulai merapihkan panggung.
Waktu, materi, otak, bahkan fisik yang ia kuras demi persembahannya justru dianggap sampah yang harus dibuang oleh mereka.
"Putih, lo ngapain berlutut gitu. Bangun." Lia yang sudah berdiri di hadapan Putih, mengulurkan tangannya. Membantu Putih untuk bangkit dari keterpurukannya sendiri. putih hanya menatap Lia kosong. Pandangan yang tidak bisa Lia artikan apa artinya.
Tanpa banyak bicara, Lia langsung mengangkat bahu Putih dan membantunya berjalan. Putih seperti orang yang tidak bertenaga.
"Gagal," gumam Putih entah pada siapa. Lia yang mendengar itu langsung paham alasan Putih menjadi seperti ini.
Langkah mereka terhenti ketika melihat Ira menangis di pinggi lapangan. Ada Yogi dan Ratih tampak menenangkan Ira.
"Ira kenapa?" tanya Lia tanpa melepas rangkulannya di bahu Putih. Ira menghapus air matanya dengan kasar, lantas berdiri menatap Putih. Suasana mendadak tidak bersahabat.
"Salah lo!" teriak Ira pada Putih.
"Lo apaan sih, Ra?!" Lia tampak bingung. Dia melindungi Putih dari Ira yang ingin mendorong bahunya.
"Drama musikal ini idenya siapa? Elo kan? Sejak kapan angkatan kita setuju bikin ginian?! Hah!" Ira kalap. Dia menangis, menjerit, menghakimi Putih. Putih hanya bisa menunduk, meresapi kata-kata Ira yang tajam menusuk batinnya. Putih melepaskan tangan Lia dari bahunya, seraya berdiri tegar di hadapan Ira.
"Emang waktu itu lo punya ide apa? Hah? Lo lo semua tuh gak punya ide apa-apa! Dari awal kalau emang drama musikal ini gak lo setujui kenapa lo angkat bicara dalam forum?!" Putih jadi ikutan panas. Sepanas matahari yang terik di atas sana.
"Waktu itu... gue gak ada ide." Ira menunduk bungkam. Harusnya dia lebih berpikir lagi sebelum menghakimi Putih dan melimpahkan kesalahan.
"Anjing, lo! Gak usah ngomong kalo gitu!" bentak Putih lancang. Seluruh orang yang berada di lapangan tentu saja mengarahkan pandangan ke arahnya.
"Heh! Apa lo bilang?! Gue gak terima ya lo ngatain gue anjing! Gue udah usul biar drama gak tampil terakhir, dan siapa yang pala batu?! Elo! Elo yang minta biar drama kita tampil terakhir! Lihat! Nih kerjaan lo! Gue malu jadi anak OSIS!" Ira berteriak di tengah air matanya yang bererai. Setelah itu dia pergi meninggalkan lapangan yang makin panas.
Ratih terkejut menyadari Ira pergi. Ketika dia melangkah untuk menyusul Ira, Putih mencegah Ratih.
"Awas lo!" Ratih memandang Putih tajam, tapi masih sorot mata takut yang tersirat.
"Tolong jangan pergi," pinta Putih yang mendadak lembut lagi.
"Apaan sih lo, Put! Temen gue tuh Ira, bukan elo!" tutur Ratih yang sukses membuat Putih mematung. Ratih menggunakan kesempatan itu untuk mengejar Ira yang sudah menyusuri tangga.
"Udah, udah! Jangan dipikirin omongannya Ira. Kita semua di sini lagi kebakar emosi. Bukan hanya dia, tapi gue, elo, dan semua juga." Yogi yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara.
"Kok Ira bisa gitu sih?" Lia prihatin meratapi kondisi angkatannya yang pecah.
"Ira tadi diketawain sama anak kelas tiga. Katanya dia ngerendahin Ira yang masih buang tenaga buat acara beginian. Dan ketika drama tadi gagal, Ira dikucilin abis-abisan ama mereka. Bukan hanya mereka, tapi anak kelas dua juga. Kata Ira, dia berasa dilemparin kotoran secara gak langsung ama mereka. Dia nyesel masuk OSIS," jelas Yogi yang cukup menampar kembali hati Putih.
"Kesian ya kita, acaranya gagal parah," keluh Tia sambil berjalan di samping Nita membawa sapu. Dia langsung melipat bibirnya ke dalam melihat Putih yang menatapnya datar.
Nita pun langsung menghentikan langkahnya. Pasti Putih tahu apa yang barusan ia bicarakan ke Tia.
"Sudah! Sudah! Kalian ini malah ribut! Cepat bantu yang lain beresin lapangan!" Pak Ferdi datang memecah aura aneh yang mencekat mereka. Lia dan Yogi mengangguk, lalu mulai membantu merapihkan kursi-kursi plastik. Tia dan Nita lebih memilih ke lapangan, menciptakan kesibukan sendiri dengan menyapu. Sedangkan Putih, dia hanya menggeleng miris menyadari apa yang barusan terjadi.
"Gakpapa, kan kita udah berusaha." Ratih menepuk-nepuk bahu Ira yang bergetar. Di ruang OSIS, hanya ada mereka berdua.
"Tapi kan kalo kayak gini OSIS kesannya jadi buruk banget. Lagian, OSIS di sekolah kita tuh kocak. Mungkin bener kata anak-anak, kita nih babu." Tia berkali-kali menyeka air matanya, tapi cairan bening itu terus menerus berjatuhan.
***
To Be Continue...
Pembalasan dendam. Dimulai!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua OSISku Psikopat (PUTIH)
TerrorJANGAN COPY CERITA INI! KAMU AKAN BERNASIB SAMA SEPERTI PARA TOKOH!! "Aku sayang angkatanku. Aku sayang mereka. Aku tidak ingin menyakiti mereka. Tapi, mengapa mereka menyakitiku bahkan tidak menghargai pengorbananku? Aku kecewa. Rasa kecewa ini mem...