Bug.
Satu bogeman keras tepat di sebelah mataku. Membuat wajahku seperti ditimpa benda keras, otakku seperti disengat oleh tegangan listrik ribuat volt. Kurasakan ada yang mendesak keluar dari mataku, bukan air mata, melainkan darah segar yang kini mengalir pelan menyusuri pipi. Mataku langsung bengkak dan nyeri, aku bisa merasakan perih dan sakit saat aku sekedar berkedip. Pendengaranku mulai tak karuan.
Aku bisa merasakan rambutku dijenggut, memaksaku harus mendongakkan wajah ke atas.
"Rasain lo!" katanya sayup-sayup masih bisa aku tangkap.
"Gimana, bro? Baru aja digertak dikit, udah teler," sahut suara yang lain.
Kepalaku begitu sakit lagi nyeri. Semua sudah mulai memburam, padahal permainan mereka baru saja dimulai. Tanganku yang terikat ke belakang selalu bergerak-gerak agar ikatan sialan ini lepas. Mulutku disumpal pakai sapu tangan. Kakiku diikat di kedua sisi kaki kursi.
"Lo mau kita apain nih enaknya? Hukuman yang cocok untuk sang pemimpin gagal." Bisikan itu masuk bak angin tajam yang merobek gendang telingaku.
Aku sedikit mengingat alasan aku bisa berada di ruang pengap ini. Sepulang dari acara pelepasan tadi, sekitar jam lima, aku mendapat pesan dari nomor tanpa nama. Pesan itu menyuruhku untuk datang ke warung tongkrongan Kak Wirya. Sampai di sana, aku tidak menemukan siapa pun. Sepertinya aku dibekap dari belakang, setelah itu aku tidak ingat lagi. Aku sudah diikat begini.
Napasku tersengal, rasanya paru-paruku semakin enggan bekerja. Ada empat cowok yang berdiri di hadapanku. Berkacak pinggang siap memangsa diriku kapan saja. Komplotan Kak Wirya, mereka akan melakukan hal-hal yang membanyangkannya saja membuatku ketakutan.
Plak
Sebuah tamparan melayang pedas ke pipi kiriku. Sakitnya belum mereda, mereka sudah menghujaniku dengan pukulan di perutku. Saat itu, rasa nyeri menjalar hebat ke seluruh tubuhku. Bahkan aku sampai batuk berdarah karena pukulan yang tidak sekali itu.
"Hmmm.. Hmm..Hmm!!" Aku berontak. Bibirku yang tersumpal mencegahku untuk berteriak kesakitan.
Wirya membuka sapu tanganku. Memberi kesempatan agar bibirku mengeluarkan sebuah kalimat.
"Belum puas lo nyiksa gue, heh?" tanyaku dingin. Darah yang keluar dari mulutku langsung loncat begitu saja. Isi perutku keluar seketika.
"Ini tuh hukuman yang harus lo tanggung sebagai pemimpin. Katanya sih tanggung jawab pemimpin itu lebih besar. Berarti lo harus memikul lagi kesalahan angkatan lo yang gak guna itu. Drama musikal yang gagal. Lo mengecewakan angkatan gue!" bentaknya padaku yang masih batuk-batuk.
Bajuku sudah lepek dengan berbagai macam cairan. Keringat, darah, muntah, semua bercampur membentuk aroma yang menyengat hidung.
"Lo semua tuh yang bisanya cuma nuntut," kataku serak. Kedua mataku berdenyut tak keruan. Pasti bengkak.
"Karena kami siswa," jawabnya enteng.
Mereka melanjutkan aksinya lagi. Menendangku, memukulku dengan balok beserta alat tumpul lainya. Hidungku mengeluarkan banyak darah setelah bunyi 'krek' terdengar dari tulang hidungku. Bibirku bengkak serta mengeluarkan rembesan cairan merah. Bahkan aku bisa mendengar jelas tulang-tulangku bergeser dari tempatnya. Semua yang ada di dalam tubuhku bagai luluh lantak.
Jeritanku bagai lolongan anjing malam yang salin bersahutan. Suara pukulan demi pukulan adalah musik pengiring yang bergema menyakitkan.
"Pake gak nih? Udah bonyok gini, mana enak." Samar-samar aku masih bisa mendengar mereka berbicara. Aku harus pergi dari tempat ini. ya ampun, bagaimana bisa. Bernafas saja aku harus pelan-pelan. Apalagi bergerak. Ditambah, tulang keringku yang jadi bulan-bulanan mereka sepertinya retak. Tidak ada yang kurasakan lagi selain sakit yang mendera di seluruh tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua OSISku Psikopat (PUTIH)
TerrorJANGAN COPY CERITA INI! KAMU AKAN BERNASIB SAMA SEPERTI PARA TOKOH!! "Aku sayang angkatanku. Aku sayang mereka. Aku tidak ingin menyakiti mereka. Tapi, mengapa mereka menyakitiku bahkan tidak menghargai pengorbananku? Aku kecewa. Rasa kecewa ini mem...