🌻 Empat 🌻

243 40 31
                                    

Di siang ini Hinata memilih menghabiskan lenggang dalam suasana tenang. Dia suka membaca buku-buku novel yang dikirimkan Yamato dari Ibu Kota. Setidaknya kegiatan membaca demikian dapat sedikit mengurangi rasa jenuh yang datang. Terbiasa dengan pekerjaan padat tentu menyebabkan Hinata risi jika sekadar leha-leha. Tak seperti momen sebelum-sebelumnya, kini fokusnya terganggu oleh dugaan serupa beberapa saat lalu di mana sosok penerus Kazemaki melintas di pikiran dia. Sejemang ekor matanya melirik ke kiri, bertepatan ponselnya bergetar di situ. Hinata segera meraihnya, menjawab panggilan dengan ucapan dan susunan kata cenderung formal. "Iya, Paman? Apa ada masalah?" 

Kami tidak bisa mencegahnya. Anak itu--dia makin susah diatur. Aku sarankan jangan bersikap terlalu keras padanya. Itu yang kami lakukan, lalu dia menendang meja dan kopi tumpah ke mana-mana.

"Baik Paman Yamato, aku mengerti." Panggilan telepon diakhiri serempak pernapasan Hinata berembus lamban nan tenang. Lalu, tangannya refleks berpindah ke pelipis.

"Bu, Anda pusing?" Yua serta merta muncul membawa kain-kain yang sudah disetrika untuk dia susun ke lemari. "Saya pijat saja, ya Bu?" tawarnya seraya memasukkan satu-persatu kain tadi. Namun, Hinata betah diam saat akalnya menjebak dia berada pada kemungkinan tindakan diperbuat si penerus Kazemaki. Pemuda tersebut kerap menyebabkan dia merasakan bermacam pergantian suasana hati, terutama di antara rindu dan cemas.

"Yua, tolong bikinkan teh untukku." Tahu-tahu Hinata meminta hal lain seiring dia turut beranjak dari sofa, menaruh novel yang dia baca dan beringsut ke dekat jendela kaca untuk menggeser sepenuhnya ke tepi. Dia butuh udara segar saat ini, mempertahankan sisa kedamaian di dalam pikirannya. Bagaimanapun, Hinata telah menangkap sebentuk perubahan besar akan segera terjadi. "Aku sudah lama tidak melihatnya, apa dia makan dengan baik?"

"Bu, tehnya saya taruh di meja. Apa Anda perlu essential oil?"

"Tidak, Yua. Pekerjaanmu sudah selesai semuanya?"

"Sudah, Bu. Anda ingin saya pijat?"

"Ehm, kurasa aku membutuhkan itu."

"Silakan berbaring di kasur, Bu."

"Lakukan seperti biasa, mengurut kaki-kakiku ini."

"Ah, saya kira di kepala."

"Tidak," sahut Hinata ringkas sambil menggeleng-geleng. Dia balik ke posisi semula. Tungkainya naik dengan punggung bersandar di lengan sofa.

"Tehnya diminum dulu, Bu."

"Aku ingin agar kau bersikap seadanya." Sekali Hinata menyesap teh bunga melati itu dengan khidmatnya. "Barangkali segera terjadi hal yang bisa mengejutkanmu." Hanya dengan cara tersirat demikian dia mampu bercerita.

"Saya tidak paham maksud, Ibu."

"Kita akan kedatangan tamu."

"Benarkah?!"

"Apakah kau bersedia menyambut dan melayaninya?"

"Tentu, Bu. Siapapun teman atau keluarga Ibu yang berkunjung ke rumah ini merupakan tanggung jawab saya."

"Dia sedikit merepotkan, aku harap kau mau bersabar padanya."

"Dia seorang wanita?"

"Nanti kau juga akan melihatnya." Sengaja Hinata menutupi dahulu, daripada Yua terus-menerus mempertanyakan rasa penasarannya.

-----


"Jangan seperti ini! Apa kata orang jika mengetahui kelakuanmu, Naero?!"

"Ya ampun, memangnya siapa yang ada di sini, Kak? Ini kamarku. Tidak ada orang lain di rumah, hanya kita dan pelayan."

"Cctv." Praktis Naero tergelak keras gara-gara kata tersebut. Hingga, gelagatnya yang kelewat tenang dan berani itu menimbulkan tanda tanya besar di benak Hinata.

Foster child (Commission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang