i. Midnight

29 6 2
                                    

Satu.

Dua.

Seharusnya, ia konsisten terlelap. Begitu jauh larut dalam kata bunga tidur.

Tiga.

Tapi seharusnya, tidak.

Lima ....

Lagi?

Tentu saja tidak. Tidak bisa. Bagaimana cara pegang teguh hilang sadar sementara suara pelik itu senang sekali mengusik? Matanya kudu mengarah lurus pintu kamar. Membisu. Emma bisa sudi hati beranjak untuk membukanya lebarsekedar menengok 'siapakah'. Masalahnya, detik ini adalah di atas tengah malam. Masalahnya lagi, ini bukan pertama kali dengan perkara yang sama.

Dan ketika hitungan dalam hati kembali sampai angka lima. "Siapa?!" Cukup lantang gadis itu lempar tanya dengan harap yang di luar segera beri jawab.

Emma tahu akan begini, sunyi yang mengisi jawab. Tadinya, begitu, sebelum mereka berlari.

Sepasang kakinya yang terburu memijak depan pintu sontak membuka. Dalam bantuan penerang rumahyang memang hanya mampu bersimbur remang━tak didapati satu pun sosok berwujud yang berakhir tutup mulut dikawani lengang.

Sudan hilang, kiraannya. Kepala harus sedikit melewati garis bingkai untuk memastikan.

Tidak.

Fokus berakhir oleh tangga di sudut sebelah kamarnya. Kemudian mendongak.

Mereka di atas.

Kaki-kaki itu hanya berpindah untuk mengisi lantai atas; tepat di permukaan langit-langit kamar.

Sekian kali, dilema melanda. Menimang-nimang haruskah ikut ke sana.

Tengah malam yang sunyi, bersama realitas bahwa hanya ia seorang penghuni rumah tua iniatau mungkin.

Lalu, siapa?

Semua pintu turut jendela yang ada selalu terkunci rapat, hanya itu yang Emma tahu; pun tak begitu ingat tentang tiap-tiap sudut dalam rumah, barangkali boleh jadi alasan dirinya yang tak tahu menahu perihal 'bagian celah manakah mereka gunakan untuk menyusup dan mengganggunya pada dua malam belakangan'.

Sejak awal, seharusnya, berat pegang kendali tubuh dengan kegugupan menguasai, tentu saja; sehingga tak perlu menggenggam sebuah gunting yang mengiringi langkah pelannya menaiki tangga demi tangga, alih-alih perangai di kala malam sebelumnya (mengunci pintu sekedar usaha abai dengan mati kutu di balik selimut lapang sampai pagi menyapa). Kendati janggal, takkan ada peduli. Siapa pun yang di sana, jangan menyalahkannya jika terjadi pembunuhan di rumah ini.

Sementara langkah telah menapaki lantai atas, kegelapan menyambutnya. Belahan bibirnya tetap setia merapat.

Gelap sekali.

Apa sering kali begini?

Atensinya disita penuh oleh sedikit pancaran remang kuningan dari salah satu ruangan (melalui pintu sedikit terbuka). Sementara langkah demi langkah ia coba ambil, ada perhentian mendadak. Sebuah suara. Adalah dentingan melodi rancu luar biasa, sesaat. Ketika berdiam di setengah jalan, gelak kikikan anak-anak gadisyang bisa Emma tebak di bawah sepantarannya━sayup mengisi sunyi. Rencananya tidak semudah itu, pastinya. Sebuah pekikan harus bergema menjejali sudut-sudut yang dijangkau saat salah satu kakinyatanpa pikir━menyelak pintu lantas disambut oleh dua kelelawar yang melesap keluar sehingga nyaris menghantam wajahnya.

Sial!

Mundur beberapa langkah.

Apa-apaan makhluk itu?!

Seraya menaruh tatap waswas terhadap kelelawar yang kini beredar tak karuan di atas.

Darimana mereka masuk?

Namun, tepat ketika Emma separuh menoleh pada ruangan yang menjadi tujuan utamanya: mendelik.

Hah?

Atau barangkalitidak, memang kudu dipastikan dengan masuk. Jadi, begitu dirinya sudah berada di dalam, tiada gerak-gerik berarti selain daripada linglung kembali.

Sebenarnya,

tempat seperti apa

yang sedang aku naungi ini?[]

Haunting PresenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang