Hitam legam burung gagak mengepakkan sayapnya; beredar melambung jangkung di bawah naungan langit malam. Sejenak. Pada sebuah dahan mengering dijadikan gagak tempat berlabuh; bergeming di sana tatkala iris kelamnya memantulkan cahaya temaram, hingga lempar tatapnya diiringi oleh jeritan sekali.
Emma━dengan lentera di genggam sebagai bantuan menyusuri hutan━terperanjat. Menaikan pandang berputar demi cari asal suara, tetapi sia-sialah manakala bulu senada malam itu menyamarkan rupanya di antara kegelapan malam. Cukup dalam menarik napas ketika tak menemukan yang dicari; sekali yakinkan diri sebelum mengarahkan lentera ke depan seraya kembali raih langkah. Suara-suara hewan malam yang memenuhi permukaan membuat keadaan terasa lebih cekam. Menjadi seorang di tengah belantara dengan kawalan pendar aroma sengat pepohonan mau pun tanah; juga semak-semak usang seolah bercampur menusuk penciuman. Harap-harap cemas bilamana petaka datang, mata hitam kelabu itu bergerak waswas kendati pandang terbatas lantaran gulita melibas.
Usai malam di mana bayang-bayang hitam bergerak gesit mengisi tiap-tiap sudut kamar; pula seusai bunga tidur pada beberapa malam belakangan (sialnya menjelma siklus), memberi duga bahwa barangkali akan ada sesuatu yang mewanti-wantinya di sini. Masalahnya, di bagian mana? Sebuah gerbang hadap pohon-pohon belantara, Emma pikir sudah hampir sejam jelajah dan hasilnya kurang lebih 'kesesatan'. Sesekali kalimat rutuk mengucap di hati, kepada sendiri; kepada mereka yang adalah pelaku atas perbuatannya sekarang. Namun, suatu kesialan. Hampir lentera dilempar andai dua tangan tak tahu-tahu kepal kuat lantas tunggang langgang dalam satu tarikan napas.
Umpatan kudu keluar halus di sela sesaknya tahan napas sementara hati kukuh harap lolos dari apa pun yang mengejar di belakang. Tak punya niat menoleh, tapi yang diingat jelas adalah kaki empat berbulu putih selain setinggi lututnya.
Maka ketika makhluk itu bersalak menjadi isi kesunyian hutan, Emma tersandung; tersungkur luar biasa. Lentera terguling-guling dan tetap menyala.
"Astaga, hei!"
Seharusnya, buru-buru bangkit dan lari kembali dengan abai rasa sakit sekujur tubuh; semuanya (persetan dengan lentera, persetan dengan penglihatan). Namun, seharusnya tidak demikian sebab ada yang lebih menarik. Seorang gadis dengan separuh badan bersembunyi di balik pohon.
Emma menatap.
Satu, dua, tiga, empat.
"Kau━"
"Kemari, Doby!"
Pikirnya merujuk kepada makhluk yang barusan membuat setengah mati berlari gila-gilaan di dalam gelap. Alis bertaut. Anjing?
"H-hei, tunggu. Berhenti!" Tunggu dulu. "Tu-
TUNGGU!"
Lalu, secepat itu; secepat itu segalanya berganti.
Emma tersentak.
Tunggu. Kenapa?
Mendongak, tentu saja; karena hanya itu yang bisa ia lakukan.
"Lihat yang terjadi sekarang."
Tunggu dulu. Napasnya, tercekat. Bukankah, aneh? Aneh sekali .... Mengedar pandang ke sekeliling alih-alih kasih respon. Ruang tamu, bunyi gemeletak kayu pada nyala api di perapian yang menjadi penerang, serta sofa yang kini tengah keduanya duduki. Sesuatu anomali ini, membuat Emma tidak tahu bagaimana harus bereaksi selain menaruh tatap tak biasa kepada manik mata perempuan itu.
"Ibu ...."
Yang disebut hanya bergumam sebagai sahutan dengan fokusnya tetap pada mengobati luka di dagu Emma.
"Benarkah ini dirimu?"
"Apa yang kau maksud?"
Emma menggeleng. "T-tidak, bukan begini━ maksudku, bagaimana bisa?"
Ada hembusan napas sejenak sebelum kegiatan berhenti, mulai menatap seraya berkata bahwa lagi-lagi Emma bicara absurd.
"Tidak." Pesat gadis itu menyanggah. "Harusnya tidak di sini!"
Hanya sepasang sorot aneh yang ada; menusuk dalam-dalam matanya. Segera Emma menarik diri, beringsut tatkala meragu.
"Ada apa denganmu, belakangan ini? Kemari biar Ibu obati lukamu itu."
"Ada apa denganku?" Ia bergumam (bangkit dan menjauh senyampang bahu dikunci). "Ada apa dengan kalian ..., semua ini?" Mestinya.
"Hentikan dan kemarilah!" Pengucapan Ibu meninggi sebelum lekas bibirnya merapat kuat-kuat.Kaki Emma henti mencipta geming.
Kemudian. "Lukamu masih berdarah," kata perempuan itu bersama suara tahu-tahu rendah.
Sebuah gelengan pelan, lagi. Selain ruang tamu, semuanya dilalap gulita. "Mengapa kau tak berdiri saja dari sana dan merapatiku?" Bisakah Emma berlari gesit menaiki tangga sementara setengahnya telah gelap ambil alih, setidaknya saat ia dikejar?
"Tersangkanya dirimu." Telah sungguh-sungguh menyimpang. "Terlampau sinting karena wajah menghantam lantai selagi jatuh dari tangga, benar?"
Demikian yang dilihat mendatangkan luar biasa karut kendati sudah sedari mula. Maka Emma membeliak diiringi lempar tanya, mengapa ..., kau menangis?
"Boleh jadi sederhana. Semuanya ...." Hampir berbisik.
Tentu dilanda bungkam meski kini berupaya buka mulut. Barangkali jawabnya tiada pernah ia sadari atas wajah menjelma menyedihkan itu. ".... Jelaskan padaku."
Air di mata berhenti, beralih pada nyala api di perapian dengan tatap berangsur nyalang dikawani kosong (yang lebih membuat merinding dibanding sudah-sudah). Satu detik, dua, tiga, empat; sampai Emma mengikuti
dan kobaran api mendadak padam.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Haunting Presence
FantasyMereka berkunjung ━atau tiap-tiap beranjak gelap dalam sudut pandangnya yang terlampau anomali. [ a mystery - dark fantasy novel ] February © 2024 to Z-Labaz Cover designers: ©Aromaterapi; PNGWing, PixelLab, IbisPaint X