3. Lancang

97 22 8
                                    

Semua orang berbondong-bondong bergerak mengikuti arus dimana putri cantik itu pergi. Hingga aku yang awalnya terpaku tadi, lenganku ikut terseret oleh para pelayan yang baru saja kutemui hari ini. Aku melihat Putri Muthe berjalan menuju tanah lapang yang kosong. Gaunnya yang mekar dilipatnya sedikit ketika menapakkan kakinya ke atas rerumputan yang hijau. Semua orang nampak terpesona dan saling membicarakan sosoknya yang cantik dan anggun.

"Putri sangat cantik. Tak heran para pria tergila-gila padanya", Lyn memujinya dengan sepenuh hati.

Aku pun. Siapa yang tidak tergila-gila dengan parasnya? Dia begitu indah. Mataku sudah tertarik dengan mata miliknya yang berpapasan denganku selama 1 menit di koridor mansion.

Langkah dari Putri Muthe terhenti ketika melihat genangan air kotor didepannya. Bekas tapak kuda dan juga kereta kuda yang berlalu-lalang mengantar pesanan. Pemandangan seketika menyorot ke arah sang penghalang tuan putri melanjutkan langkahnya.

Aku spontan menarik kain putih yang baru saja kering di jemuran serta melipatnya sembarangan sambil berlari menuju arah Putri Muthe. Aku melemparkan kain itu untuk menutupi kubangan air yang mengganggu perjalanannya. Sambil berkata, "Silahkan, nona".

Takjub aku melihatnya menatapku untuk kedua kalinya dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya.

Aku tidak ingin momen ini berakhir, namun karena ketidaksadaranku itu membuat beberapa pelayan senior menarikku dengan sangat kuat lalu memakiku setelahnya. Tidak ingin berpaling darinya, aku melihat Putri Muthe memiringkan kepalanya memandangiku sambil memanyunkan bibirnya. Apa artinya itu???

"Kau mau di pecat lebih awal, huh?!"

Para senior itu menampar dan mendorongku hingga terjatuh. Mereka menginjak gaunku hingga robek dan rusak. Menjadi tambah kumal dan tidak memiliki harga diri sama sekali. Aku menunduk ketika mereka masih merundungiku dan tak sedikit juga yang menjambakku serta memaksa melepaskan ikatan rambut yang membuat kepalaku sakit. Derap langkah sangat cepat menghampiriku dan membuat kerumunan ini buyar.

"Atas dasar apa kalian memukulinya?! Dia pelayan pilihan nyonya!", kepala pelayan datang menyelamatkanku dengan amarahnya yang memuncak.

"Dia mengajak Nona Muthe berbicara, Madam. Juga memanggil tuan putri dengan sebutan.. nona"

Salah seorang pelayan senior berusaha menjelaskan apa yang sudah kuperbuat sebelumnya. Meski mukaku babak belur, aku masih ingin menunjukkan hormatku dengan membungkuk dihadapan kepala pelayan. Semuanya semakin berdecih dan meludahiku.

Kepala pelayan nampak kesal sekali dengan mereka, dan juga kepadaku. "Gasp. Dia pelayan baru, mana mengerti perihal peraturan pelayan senior"

"Dengar, pelayan tingkat rendah sepertimu dilarang memanggil tuan putri dengan sebutan "Nona". Paham?"

Aku mengangguk.

Peraturan yang keji. Masih mending aku memanggilnya nona, daripada senõrita. Maksudku, itu semua sebutan yang sama dan sopan. Aku terlalu tidak mengerti dengan lingkunganku yang baru ini, tapi aku tidak mempedulikan semua luka ini. Mereka tidak pernah di tatap oleh tuan putri selama itu, 'kan?

*****

Author POV//

Matahari mulai menjulang tinggi dan menunjukkan teriknya yang lebih memanas. Kejadian pagi tadi membuat seluruh pelayan di mansion membicarakan nama Jessica Chandra yang baru-baru ini menjadi topik hangat. Mereka merasa ikut kesal karena menilai bahwa tingkah laku si pelayan baru itu terdengar tidak sopan. Sedangkan, Jessi yang menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut asyik mengumpulkan daun di dekat tempat pencucian. Ia ditugaskan untuk menyapu seluruh halaman belakang mansion sebagai hukuman kelas berat yang telah ia lakukan.

Meski kelelahan, ia tidak mengeluh. Ia lebih memilih berpikir bagaimana ia membakar seluruh gunungan daun yang tingginya melebihi dirinya ini. Dengan polos, ia masih mengukur seberapa tinggi dirinya dengan tumpukan daun itu dan memperkirakan sebesar apa api yang akan ia ciptakan nanti untuk membakarnya. Jika terlalu besar, yang ada ia akan membakar mansion dan malah mendapat hukuman untuk yang kedua kalinya. Ya, jika kepala pelayan menoleransi kesalahannya kali ini.

Saat sedang asyik bersenandung dan menata daun, seseorang berdehem di belakang Jessi. Jessi membalikan badannya dan melihat kepala pelayan menemuinya dengan raut muka masam. Sulit dijelaskan.

Kepala pelayan mengambil sapu Jessi kemudian berbicara, "Berhenti melakukan pekerjaan itu"

"Ya, Madam?"

"Aku tidak mengerti. Siapa kau yang sebenarnya?"

Jessi mengerutkan dahinya saat kepala pelayan menyuruhnya berhenti melanjutkan hukuman serta pertanyaan yang membingungkannya.

"Tuan putri menaikkan pangkatmu. Bahkan menyuruhmu ditempatkan di rumah kaca dan halaman melukis miliknya. Tempat yang hanya pelayan-pelayan tertentu yang diizinkan berada disana"

Jessi membelalakan matanya. Seketika dopamin naik ke puncak otaknya dan mengisyaratkannya untuk berteriak. Namun, tidak. Ia tidak akan berteriak. Ia hanya sangat shock mendengarnya dipromosikan belum ada satu hari ia bekerja.

"Jangan kebanyakan diam. Ikut denganku, tuan putri ingin bertemu denganmu", Kepala pelayan mendahuluiku pergi dan sontak Jessi terburu-buru mengikutinya. Senyum terukir di wajahnya.

Namun, tidak dengan beberapa pelayan yang menguping. Sekali lagi, Jessi menjadi perbincangan yang akan di bahas beberapa minggu kedepan.

Jessi berjalan cukup jauh menuju rumah kaca milik keluarga Asséloura yang begitu megah dan luas. Di dalamnya begitu banyak kupu-kupu terbang mengudara dan menghiasi sejumlah tanaman yang beraneka macam disana.

"Akhirnya datang juga. Jessi"

Suara yang lembut. Mengikat. Dan membuat candu. Jessi menatap Putri Muthe dengan senyuman melebar kali ini.

"Selamat siang, Nona Muthe"

Bersambung...

Ethereal AsseloúraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang