Namaku Arthur, seorang anak rantau yang kini merantau ke kota besar, Jakarta. Sudah beberapa tahun aku tinggal di kota ini untuk mengejar mimpi dan karir. Jakarta memang keras, tapi bagiku, kota ini menawarkan petualangan dan peluang yang tak ada habisnya. Hidup di kota yang serba cepat ini, aku merasa harus terus waspada, beradaptasi dengan segala macam kejadian yang bisa terjadi kapan saja. Untungnya, di tengah kerasnya kehidupan ibu kota, aku memiliki keluarga, seorang paman yang juga tinggal di sini - Paman Samuel.
Paman Samuel, atau biasa kupanggil "Paman," adalah sosok yang selalu membuatku nyaman. Dia selalu punya banyak cerita tentang pengalamannya merantau sejak muda. Karakternya hangat dan penuh perhatian, namun di balik itu, ada sisi misterius yang terkadang membuatku penasaran. Mungkin karena wajahnya yang selalu tampak serius atau cara bicaranya yang tenang tapi berwibawa.
Hari ini, aku mendapat pesan dari Paman bahwa dia akan berkunjung ke kosanku. Pesan singkat itu membuatku bergegas menyiapkan kosan yang biasanya cukup berantakan. Kuatur semuanya dengan rapi, menghilangkan jejak tumpukan buku dan pakaian yang sering berserakan di sudut-sudut ruangan. Aku ingin kosanku terlihat nyaman dan enak dipandang saat Paman datang. Jarang-jarang dia berkunjung, jadi aku ingin memberikan kesan yang baik.
Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi klakson mobil dari luar. Aku bergegas keluar untuk menyambutnya. Di pelataran parkir, kulihat seseorang keluar dari mobil dengan pakaian rapi. Dia memakai kacamata hitam dan tatanan rambutnya yang rapi menambah kesan profesional dan elegan. Tak salah lagi, itu pasti Paman Samuel. Ada perasaan hangat yang langsung muncul saat melihatnya. Di antara hiruk pikuk Jakarta, kehadiran Paman membuatku merasa punya sedikit kedamaian.
"Arthur! Apa kabar, nak?" sapa Paman dengan senyum ramah.
"Baik, Paman! Senang banget Paman bisa mampir ke sini," jawabku sambil membuka pintu kosan dan mengundangnya masuk. Paman Samuel masuk dan melihat-lihat sejenak, kemudian duduk di sofa kecil yang ada di ruang tamu. Aku memperhatikan sekeliling, memastikan semuanya tertata dan bersih, lalu berdiri di dekat dapur kecil yang menyatu dengan ruang tamu.
"Paman mau dibuatkan apa? Teh? Atau kopi?" tanyaku.
"Kopi saja, Tur. Tapi jangan terlalu manis ya," jawab Paman sambil tersenyum.
"Baiklah, Paman. Tunggu sebentar, ya," kataku sambil menuju dapur.
Saat aku menyiapkan kopi, sebuah ide iseng muncul di kepalaku. Aku ingat, ada obat perangsang yang kusimpan di dalam lemari dapur. Mungkin kalau aku mencampurkan sedikit obat perangsang ini ke dalam kopinya, reaksinya akan lucu. Tidak ada niatan buruk, tidak ada haha, hanya ingin sedikit bercanda dan melihat reaksi Paman yang biasanya tenang.
Aku pun memasukkan sedikit obat perangsang itu ke dalam kopi, mengaduknya hingga larut, lalu membawanya ke ruang tamu.
"Ini kopinya, Paman. Silakan diminum, masih hangat," ujarku sambil meletakkan cangkir di hadapannya.
"Terima kasih, Tur," kata Paman sambil mengambil cangkir tersebut.
Aku duduk di hadapannya, berpura-pura tidak tahu apa-apa sambil menunggu reaksinya. Paman meniup kopinya pelan-pelan, lalu mengambil tegukan pertama. Aku bisa melihat perubahan ekspresinya yang sedikit terkejut, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang.
"Hmm... ada rasa yang... sedikit berbeda ya di kopi ini?" tanya Paman sambil menatapku dengan penuh selidik.
Aku tersenyum kecil, mencoba menahan tawa. "Oh, begitu ya, Paman? Apa rasanya terlalu pahit?"
Paman hanya mengangguk sambil meneguk lagi kopinya. Semakin lama, wajahnya mulai tampak kemerahan, dan ia mengusap dahinya seolah-olah merasa kepanasan. Akhirnya, dia bertanya dengan nada penasaran yang bercampur bingung, "Arthur, apa kamu menambahkan sesuatu di kopi ini?"
Aku berpura-pura tak tahu apa-apa. "Eh, aku cuma bikin kopi seperti biasa kok, Paman. Kenapa? Apa ada yang aneh?"
Paman mulai terengah-engah, seperti ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Ia mulai membuka beberapa kancing bajunya, mencoba mencari udara yang lebih segar. Aku mulai merasa sedikit bersalah, tapi di sisi lain, pemandangan ini sedikit menghibur karena jarang-jarang melihat Paman Samuel yang tenang jadi begitu terganggu.
"Aduh, Arthur... kenapa rasanya tubuh Paman jadi panas sekali, ya?" gumamnya sambil mengipas-ngipas dirinya dengan tangan.
"Oh, Paman nggak apa-apa? Apa mungkin Paman capek karena perjalanan tadi?" tanyaku berpura-pura khawatir.
Melihat kondisi Paman yang semakin terengah-engah, akhirnya aku memutuskan untuk mengajaknya ke kamar. "Paman, sepertinya Paman butuh istirahat sebentar. Di kamar ada kipas angin, mungkin bisa membantu."
Paman pun mengangguk lemah, dan aku membantunya berdiri, membawanya ke kamar. Begitu Paman masuk, aku langsung mengunci pintu kamar dari luar, berniat memberikan sedikit waktu baginya untuk menenangkan diri. Aku tak bermaksud buruk; hanya ingin memberi Paman ruang untuk merasa lebih baik tanpa gangguan.
Tapi tiba-tiba, aku mendengar suara ponsel Paman berdering dari dalam kamar. Rasa penasaran langsung muncul. Siapa yang menelepon? Tanpa sadar, aku menempelkan telinga di pintu, mencoba mendengarkan percakapan dari dalam.
"Ya, saya baik-baik saja... hanya sedikit... sedikit tidak enak badan," kudengar suara Paman menjawab panggilan dengan nada yang agak berat.
"Baik, saya akan segera mengatur pertemuan itu setelah ini... Ya, saya paham. Kita harus berhati-hati, jangan sampai Arthur tahu," lanjutnya.
Mendengar itu, jantungku berdegup kencang. "Jangan sampai Arthur tahu"? Apa maksudnya? Apa yang sedang Paman sembunyikan dariku?
Kecurigaan mulai menyelimuti pikiranku. Mungkinkah Paman menyembunyikan sesuatu yang penting dariku? Atau mungkin dia terlibat dalam sesuatu yang berbahaya? Aku mencoba menenangkan diriku, tetapi kata-kata "jangan sampai Arthur tahu" terus terngiang di kepalaku.
Setelah beberapa menit, Paman keluar dari kamar dengan wajah yang tampak lebih segar, meskipun masih ada bekas kemerahan di pipinya. Dia menatapku dengan senyum, seolah-olah tak ada yang terjadi.
"Arthur, terima kasih ya sudah menyiapkan tempat buat istirahat. Kopinya enak, walaupun sedikit... unik," katanya sambil tersenyum.
Aku mencoba tersenyum balik, namun pikiranku masih terganggu. "Oh, sama-sama, Paman. Apa Paman sudah merasa lebih baik?"
"Iya, sudah lebih baik. Sekali lagi, makasih banyak. Tapi maaf ya, Paman harus segera pergi. Ada urusan yang mendadak," jawabnya sambil mengusap dahinya.
"Oh, begitu ya. Semoga urusannya lancar, Paman," jawabku, berusaha terdengar tulus.
Paman pun beranjak pergi, dan aku hanya bisa mengantarnya sampai pintu. Namun, pikiranku masih belum tenang. Ada yang mengganjal, ada misteri yang belum terpecahkan. Apa sebenarnya yang disembunyikan Paman dariku? Dan kenapa dia menyebut namaku di telepon, seolah aku adalah bagian dari rencananya yang tak kuketahui?
Begitu mobil Paman pergi, aku kembali ke dalam kosan dengan perasaan campur aduk. Aku tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tak biasa. Kini, aku tak bisa lagi memandang Paman seperti dulu. Ada misteri yang harus kupecahkan, dan meskipun aku tidak tahu apa yang akan kutemukan, aku bertekad untuk mengungkapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Threads of Us: A Journey Through Love and Distance
Science FictionArthur, seorang seniman muda yang baru saja pindah ke kota, mendapati dirinya tinggal bersama pamannya, Samuel, yang juga seorang seniman berpengalaman. Meski mereka berbagi kecintaan pada seni, pandangan dan pendekatan mereka sangat berbeda. Arthur...