Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Sejumlah emosi bergejolak dalam diriku—bahagia, cemas, terharu, bahkan sedikit gugup. Pagi itu, aku berdiri di depan cermin, memandangi diriku dengan gaun pengantin yang indah, yang terasa lebih dari sekadar kain yang membalut tubuhku. Gaun putih itu, yang kini menyelimutiku dengan begitu sempurna, bukan hanya simbol dari hari ini, tetapi juga lambang dari langkah besar yang aku ambil bersama Paman Samuel. Di belakangku, kaca memantulkan senyuman yang bahkan aku rasakan sendiri terasa sedikit canggung. Hari ini, aku akan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Aku menghela napas panjang. Setiap detail telah dipersiapkan dengan hati-hati, mulai dari rangkaian bunga yang menghiasi ruangan hingga dekorasi kecil yang memberikan sentuhan pribadi dalam setiap sudut. Kami memilih untuk melangsungkan pernikahan ini dengan sederhana, namun tetap penuh makna. Ini bukan tentang kemewahan, tetapi tentang cinta yang kami rasakan satu sama lain. Ada banyak orang yang hadir—keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekat yang mendukung kami sejak awal perjalanan ini.
Tak terasa, beberapa bulan telah berlalu sejak hari lamaran yang mengubah hidup kami. Paman Samuel dan aku, meskipun sempat mengalami banyak tantangan dan kebingungan, akhirnya sampai pada titik ini—di altar, di hadapan orang-orang yang kami cintai, untuk mengucapkan janji setia yang akan membentuk masa depan kami bersama.
Di luar kamar, aku mendengar suara langkah kaki dan bisikan dari para tamu yang mulai berdatangan. Aku tahu saat ini sudah dekat. Paman Samuel, yang sebelumnya aku panggil dengan sebutan "Paman," kini lebih dari itu—dia adalah seseorang yang sangat berarti dalam hidupku, seseorang yang aku pilih untuk berjalan bersamaku, hingga akhir.
Pintu kamar perlahan terbuka, dan di sana berdiri ibu dan ayahku, Bara dan Lasrih. Mereka tersenyum padaku dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. Ayahku mendekat, memberikan pelukan hangat yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. "Anakku, kamu cantik sekali," katanya dengan suara serak, seolah berusaha menahan tangis. "Kami bangga padamu."
Ibu juga menghampiriku, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak bisa berhenti merasa bahagia untukmu, Arthur," ucap ibuku, suaranya penuh dengan kelembutan. "Semua yang kamu jalani, kami selalu mendukungmu. Dan aku tahu, Samuel adalah orang yang tepat untukmu."
Aku merasakan hangatnya cinta mereka, cinta yang selama ini aku rasakan. Orang tua adalah fondasi yang kokoh dalam hidupku, dan hari ini, mereka memberiku kekuatan untuk melangkah ke babak baru dengan penuh keyakinan. Aku tak bisa membayangkan hari ini tanpa mereka di sisiku.
Akhirnya, aku meraih tangan mereka berdua, menarik napas panjang, dan mengangguk. "Terima kasih, Ma, Pa. Tanpa kalian, aku tidak akan pernah sampai di sini."
Dengan penuh kebanggaan, ibu dan ayah membimbingku keluar dari kamar, menuju ke ruang pernikahan yang sudah dihias dengan sangat indah. Di sana, di tengah ruangan, aku melihat Paman Samuel berdiri, mengenakan jas pengantin hitam dengan dasi putih yang sempurna. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tak terbendung, namun juga ada ketegangan di matanya. Aku tahu dia merasa cemas, seperti halnya aku, tetapi aku bisa merasakan cinta yang begitu kuat antara kami.
Langkah demi langkah, aku mendekati altar. Setiap gerakan terasa seperti detik-detik yang menghitung mundur menuju sebuah perubahan besar dalam hidup kami. Ketika aku akhirnya berdiri di hadapan Paman Samuel, aku melihatnya menatapku dengan penuh kehangatan dan harapan. Matanya berbinar, dan aku tahu, di sinilah tempat yang tepat untuk kami berdua.
"Arthur," kata Paman Samuel, suaranya bergetar. "Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Aku tak sabar untuk memulai perjalanan baru ini bersamamu."
Aku menatapnya dalam-dalam, merasakan getaran yang sama. "Aku juga, Paman. Aku juga."
Pernikahan kami dihadiri oleh kedua orang tua kami, sahabat-sahabat terdekat, dan beberapa orang yang sangat berarti dalam hidup kami. Suasana yang tercipta begitu hangat, dengan suara tawa dan percakapan penuh kebahagiaan. Namun, momen yang paling dinantikan akhirnya datang—momen ketika kami berdua berdiri di depan penghulu, siap untuk mengucapkan janji setia yang akan mengikat kami dalam ikatan pernikahan.
Dengan suara yang tenang namun penuh arti, penghulu mulai memandu kami untuk mengucapkan sumpah pernikahan. "Samuel, apakah kamu bersedia menerima Arthur sebagai pasangan hidupmu, untuk mencintainya dalam keadaan apapun, untuk menjaga dan mendukungnya sepanjang hidupmu?"
Paman Samuel mengangguk dengan mantap. "Ya, saya bersedia."
Kemudian, penghulu menoleh padaku. "Arthur, apakah kamu bersedia menerima Samuel sebagai pasangan hidupmu, untuk mencintainya dalam keadaan apapun, untuk menjaga dan mendukungnya sepanjang hidupmu?"
Aku menatap Paman Samuel dengan penuh keyakinan, merasakan setiap kata yang akan kuucapkan begitu mendalam. "Ya, saya bersedia."
Setelah itu, penghulu mengucapkan kata-kata yang menjadi saksi dari janji kami. "Dengan ini, saya nyatakan kalian sah sebagai suami dan istri. Semoga kalian berdua selalu diberikan kebahagiaan, cinta, dan berkah sepanjang hidup."
Suasana di sekitar kami dipenuhi dengan tepuk tangan dan sorakan. Paman Samuel tersenyum lebar, dan aku bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari dirinya. Kami saling menatap, dan dalam tatapan itu, kami tahu bahwa kami siap untuk menjalani hidup bersama, dalam suka dan duka.
Setelah acara di gereja selesai, kami melanjutkan ke resepsi yang telah disiapkan di sebuah tempat yang nyaman. Di sana, semua tamu berkumpul untuk merayakan kebahagiaan kami. Lagu-lagu indah mengalun, tawa dan canda memenuhi ruangan, dan semua orang berbicara tentang masa depan yang cerah bagi kami. Tak ada yang lebih indah daripada merayakan cinta dengan orang-orang terdekat, yang selalu ada untuk mendukung kami.
Syelina, sahabat terbaikku, datang menghampiriku dengan senyuman yang lebar. "Aku tahu kamu sudah membuat keputusan yang tepat, Arthur. Kalian berdua memang pasangan yang sempurna."
Aku memeluknya erat, merasakan cinta dan dukungannya yang tak ternilai. "Terima kasih, Syel. Aku tidak akan bisa melalui semua ini tanpa kalian di sisiku."
Setelah resepsi selesai, kami berdua meninggalkan tempat itu dengan hati yang penuh kebahagiaan. Paman Samuel menggenggam tanganku dengan erat, senyuman tak pernah lepas dari wajahnya. "Arthur," katanya lembut, "Hari ini adalah awal dari segalanya. Kita sudah memulai perjalanan baru, dan aku yakin kita akan melewatinya bersama-sama, apapun yang terjadi."
Aku menatapnya, merasa cinta yang begitu besar di dalam diriku. "Aku juga yakin, Paman. Aku siap untuk hidup bersama kamu."
Malam itu, ketika kami berada di mobil menuju rumah kami yang baru, aku merasakan ketenangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kami telah mengambil langkah besar, tetapi ini baru permulaan. Aku tahu, dengan Paman Samuel di sisiku, aku akan mampu menghadapi segala tantangan yang datang. Kami tidak hanya pasangan suami istri, tetapi juga teman hidup yang akan saling mendukung dan mencintai, sepanjang waktu.
Pernikahan ini bukanlah akhir dari perjalanan kami, tetapi justru awal dari babak baru yang penuh dengan kemungkinan. Kami akan berjalan bersama, menyongsong masa depan dengan penuh harapan, dan aku tahu, apa pun yang terjadi, kami akan selalu bersama, untuk selamanya.
Bersambung...
Ekhem mueheheh udah lama nih gk up!! Maaf ya soalnya beberapa hari ini sibuk banget dan ini baru ada waktu buat up!! Mana besok mau idul adha lagi dan author bakalan pergi dulu mungkin besok gk bakalan up!! Tapi di usahain up ya!!Makasih buat yang udah baca sejauh ini!! Ayo semangat bentar lagi 60rb!! Jangan ketinggalan vote nya juga ya!! Pokoknya jangan lupa baca cerita ini dan cerita satunya, share ke teman-teman kalian!! Vote!! Like!! Dan komen juga!!
See you next time all dadah!! Sampai jumpa di update-tan berikutnya!!! :D 👋🏻 ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Threads of Us: A Journey Through Love and Distance
Science FictionArthur, seorang seniman muda yang baru saja pindah ke kota, mendapati dirinya tinggal bersama pamannya, Samuel, yang juga seorang seniman berpengalaman. Meski mereka berbagi kecintaan pada seni, pandangan dan pendekatan mereka sangat berbeda. Arthur...