🌕

13 2 0
                                        

"Gue penasaran. You really fell in love with me at first sight?" tanya Sidney suatu malam, sembari menerima segelas cokelat panas dari tangan Cal saat mereka menghabiskan waktu di kondominium.

Cal, laki-laki yang mengenakan turtleneck abu-abu itu, tersenyum manis lalu bergabung dengan perempuannya yang sedang duduk nyaman sambil menyembunyikan kaki dalam selimut. Bukan menonton film romansa, sejoli itu justru sedang menunggu dimulainya debat kedua calon pemimpin negeri. Sebagai mata-mata, mereka sangat perlu mengerti setiap isu panas dalam negeri ini, dan perihal siapa yang memimpin untuk lima tahun ke depan jelas sesuatu yang wajib dikuasai.

Bagi beberapa orang, tidak peduli siapa calon pemimpinnya, hari-hari tetap ditanggung sendiri. Persetan dengan politik. Namun, Sidney dan Cal tau beberapa penduduk pinggir ibu kota yang tidak mendapat tempat tinggal setelah digusur untuk pembangunan stadium, atau sekelompok masyarakat adat yang lahannya dirampas untuk perusahaan tambang.

Bagi beberapa orang, siapa yang memimpin negeri seperti perihal hidup dan mati.

"Gue rasa bisa dibilang begitu," Cal menjawab pertanyaan Sidney, matanya tidak lepas dari wajah perempuan itu yang mulai fokus menatap layar televisi, "tapi bukan semata-mata karena lo terlihat drop dead gorgeous that my heart totally melted away..."

Sidney tertawa. Tawa yang sudah dinobatkan sebagai alunan musik paling merdu di telinga Cal. "Memang apa lagi?"

"I've heard about you, beberapa hari sebelum kita bertemu di pelelangan itu. Gue denger alasan lo yakin memihak Brooklyn karena dia pernah memperjuangkan penghentian eksploitasi anak-anak yang dijadikan penjaja di pinggir jalan. Lo bilang orang yang peduli dengan masa depan anak-anak tidak bersalah sudah jelas punya hati nurani dan nggak mungkin membunuh,"

Sidney mengangguk-angguk, "you see yourself in me?"

"Iya, kayak yang lo udah tau, gue memihak Madison karena gue juga pernah ikut dia nyelamatin anak perempuan dalam sebuah kasus KDRT. I didn't grow up as a happy child, jadi itu isu yang berarti buat gue. Sama seperti lo, gue juga bertahan di sisi Madison walaupun itu berarti harus mendapati banyak rekan gue yang seketika berubah jadi rival ... you can relate, right?"

"Hm-m," Sidney menyimak dengan tenang.

"Waktu tau kalau lo kuat memperjuangkan apa yang menurut lo benar, gue merasa salut dan mesmerized. Itu yang gue cari dalam sebuah relationship, seseorang yang yakin dengan dirinya sendiri, jadi punya kapabilitas juga untuk yakin dengan gue dan hubungan yang akan kita bangun,"

"Bahkan meski keyakinannya beda dengan apa yang lo yakini?"

"Turn out yes," Cal menarik perempuan itu ke dalam rangkulannya, "I think love really has the power untuk menoleransi segala hal, Sid. Termasuk menerima dan mempelajari sesuatu yang selama ini gue anggap salah. Ibarat persoalan Brooklyn dan Madison ini menjebak kita di dalam sebuah hutan belantara yang gelap, gue merasa lebih mampu menemukan titik terang kalau lo bersama gue, because the love is between us. Love will guide us along the way,"

Sidney hanya menanggapi dengan mengusap tangan Cal yang berada di pundaknya, tersenyum simpul.

"By the way, Sayang, tadi ketemu Allen lagi?" Cal ganti bertanya.

"Oh, iya. We're into ... something. Ada lah, kasus. You still can't know, tho,"

"Totally okay, we're being professional," Cal mengulum senyum, "but Sid, I think that guy hates me,"

"He is," Sidney balas terkekeh, "dia nggak setuju sama hubungan kita, dia selalu imbau gue untuk nggak terlalu percaya ke lo."

"Bisa dimaklumi," Cal mengangkat bahu, "who's in their right mind willing to date an enemy?"

"Jadi lo bilang gue gila?"

"Nggak apa, kali. 'Kan gilanya sama gue,"

Sidney memukul bahu laki-laki itu diiringi gelak tawa. Meski saat ini masing-masing mereka masih berdiri di sisi yang berlawanan, sebagian dirinya meyakini ucapan Cal soal cinta yang punya kekuatan untuk menuntun mereka untuk menemukan jawaban pasti, bersama-sama.

The rest of the world was black and white, but they were in screaming color.

Semua baik-baik saja, sampai suatu sore, sebuah kertas yang tercetak dari faksimile di sudut kamar Sidney mencemari semua adu kasih yang terjalin di antara ia dan laki-laki itu.

•••

"Nggak. Ini nggak mungkin," Sidney terus berlari menerobos hujan meski kakinya kian lemas, tidak percaya dengan kabar apa yang baru saja ia terima.

Perempuan itu turun dari taksi dan berlari di atas sandalnya yang nyaris putus. Kaos oblong dan celana pendek rumahan yang ia kenakan basah kuyup. Setelah beberapa saat, ia sampai di sebuah bangunan tua yang sudah ia kenal seperti rumah kedua sejak dua tahun lalu.

Seorang anggota Dexter Echo terbunuh sore ini.

Dengan napas terengah, ia menghempas tirai di sebuah ruangan markas besar itu, lalu terjatuh saat melihat seseorang yang sangat ia kenal terbaring tanpa nyawa di atas dipan.

Tubuh Sidney bergetar hebat. "Cal—"

Out Of The WoodsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang