🌖

9 2 0
                                        

"Nggak. Ini nggak mungkin," Sidney terus berlari menerobos hujan meski kakinya kian lemas, tidak percaya dengan kabar apa yang baru saja ia terima.

Perempuan itu turun dari taksi dan berlari di atas sandalnya yang nyaris putus. Kaos oblong dan celana pendek rumahan yang ia kenakan basah kuyup. Setelah beberapa saat, ia sampai di sebuah bangunan tua yang sudah ia kenal seperti rumah kedua sejak dua tahun lalu.

Seorang anggota Dexter Echo terbunuh sore ini.

Dengan napas terengah, ia menghempas tirai di sebuah ruangan markas besar itu, lalu terjatuh saat melihat seseorang yang sangat ia kenal terbaring tanpa nyawa di atas dipan.

Tubuh Sidney bergetar hebat. "Cal—"

Seorang anggota Dexter Echo terbunuh sore ini, begitu pesan yang Sidney terima lewat faksimile beberapa jam lalu, dan pembunuhnya adalah California.

"Cal, lo nggak mungkin bunuh Allen..." tangis Sidney meledak seiring kedua lututnya terjatuh menghantam lantai. Disentuhnya tangan Allen yang sudah kaku, sebelum kemudian dipandanginya satu per satu orang yang kini berdiri mengelilingi dengan tatapan iba.

"He's the traitor, Sidney," Brooklyn yang pertama bersuara. Di sebelahnya ada Madison dan beberapa pengikutnya ... juga Cal.

"Bukan gue maupun Madison yang membunuh Alexandria, melainkan Allen. Allen yang selama ini tau brankas rahasia Alexa dan waktu itu melaporkan gerak Alexa ke kartel narkoba Obsidian sampai akhirnya Alexa terbunuh,"

Sidney merasakan napasnya tercekat di tenggorokan. Butuh beberapa saat untuknya menerima kenyataan bahwa rekannya selama ini adalah seorang pengkhianat besar.

"Lo beberapa bulan ini juga sibuk dimintai tolong Allen untuk nama-nama kartel narkoba lain, 'kan? Itu karena Allen butuh kartel baru untuk melindungi dia dari Obsidian yang makin memeras sampai dia terpojok," Madison ikut bicara.

"Tapi apa balas membunuh jadi satu-satunya jawaban?" tanya Sidney sambil terisak, "apa ini jati diri Dexter Echo? Saling menyakiti dan menghilangkan nyawa?"

Tidak ada yang menjawab. Semua orang berusaha memaklumi betapa dekat Sidney dan Allen sebagai rekan yang menyelesaikan puluhan misi bersama.

"Apa ini jati diri lo, California?" lirih Sidney lagi, kali ini matanya terfokus pada kedua mata Cal yang juga sarat akan duka.

"Cal, you haven't told her?" Madison menyahut pelan.

Sidney berdiri, air mata masih menetes dari kedua matanya yang menatap heran Madison dan Cal bergantian. "Kasih tau gue tentang apa?"

Cal mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Shut up, Madison—"

"Kasih tau gue tentang apa, Brengsek?!" ulang Sidney lagi. Kali ini ini ia berangsak maju, mencengkeram lengan besar Cal hingga laki-laki itu meringis karena tajam kuku Sidney mulai menggores kulitnya. "Jawab yang jujur, California!"

Tapi rasa sakit itu sangat tidak sebanding dengan satu kalimat yang kemudian keluar dari mulut laki-laki itu, "tentang gue, Sidney. Tentang gue yang bohong. Tentang gue yang deketin lo karena kecurigaan Madison ke Allen, bukan karena gue jatuh cinta sama lo. Lo yang minta gue jujur, oke?! Gue ikutin. Gue nggak mau—"

"Cukup, Cal," apa yang keluar dari bibir Cal berhasil memukul telak pertahanan Sidney sehingga gadis itu terhuyung beberapa langkah ke belakang. Ia sudah tidak tau lagi mana yang lebih menyakitkan. Semua reseptor rasa sakitnya telah bekerja di luar kapasitas.

Hening memenuhi ruangan itu. Sidney berlari pergi. Ia tidak pernah merasa dikhianati sekaligus mengkhianati sedalam ini. Allen adalah rekan yang berarti untuknya, tetapi saat laki-laki naas itu mati, sebagian besar dirinya justru lebih ingin bersimpati kepada Cal.

Kenapa harus lo, Cal? Kenapa harus lo yang terlibat dan menghancurkan kepercayaan gue?

•••

Berbulan-bulan setelah kejadian itu, hidup tetap berlanjut meski terasa amat pelan dan menyakitkan bagi Sidney. Pukul sepuluh malam, perempuan itu sedang berjalan sendirian dari minimarket dekat kondominiumnya.

"Sidney, tunggu."

Itu suara yang ia kenal—hanya Tuhan yang tau betapa Sidney merindukan suara itu saat ia justru mempercepat langkahnya. Gerimis mulai turun, tetapi gadis itu tidak peduli. Sejak hari kejadian itu, ia nyaris tidak punya keinginan selain menghilang. Menghilang dari segalanya. Menghilang dari Dexter Echo dan luka pengkhianatan yang mengakar di sana.

Menghilang dari California.

"Bukan gue yang bunuh Allen!"

Satu kalimat seruan itu mengetuk jantung Sidney keras. Langkahnya terhenti.

"Lo mau dengerin gue sebentar, Sid?"

Gadis yang diajak bicara itu akhirnya berbalik, memandang Cal—laki-laki yang membuatnya terpuruk dalam kehilangan itu.

"Gue—gue mendapati Allen di tempat persembunyian harta Alexandria, I mean no harm, tapi dia terlalu panik untuk mengerti itu dan justru kabur. Allen tertabrak mobil dalam pengejaran. Gue waktu itu masih terlalu terkejut sampai gue bilang ke anak-anak Dexter bahwa Allen meninggal karena gue. They get it as I killed him. I swear to God, Sid, I didn't. I will never kill someone."

Sidney tidak mengerti perasaannya lagi, "Gue nggak ngerti, Cal. Gue nggak ngerti sama perasaan gue sendiri,"

Bahkan setelah mendengar kebenaran di balik kematian Allen, ada sesuatu yang Sidney sadari ia lebih ingin dengar, dan itu menyakiti hati nuraninya sendiri.

Tetapi Cal paham. Ia paham apa yang mau Sidney dengar, dan apa yang sesungguhnya perlu gadis itu dengar.

Apakah setengah tahun yang mereka habiskan benar-benar hanya sandiwara bagi Cal?

"Do you believe in me, Sidney?"

Ah. Lagi-lagi bagaikan ketukan palu di dada Sidney. Ia tak begitu terkejut saat Cal bilang bukan laki-laki itu yang membunuh Allen karena ... selama ini ,sebagian besar dari dirinya percaya bahwa seorang Cal tidak akan pernah menjadi seorang pembunuh.

"A part of me, sadly—yes, Cal. A part of me believes in you, always."

Tapi sebagian dirinya yang lain, apakah Cal benar-benar menyayanginya untuk waktu yang singkat itu? Sidney tidak bisa memastikan.

"I was not in the right mind that day. Waktu gue bilang gue dekatin lo karena perintah Madison—iya, sialnya, itu benar. Tapi soal jatuh cinta ke lo, I really do, Sidney—at first I didn't mean to, but then I did. The feelings are real. My feelings are real," Cal sungguh berharap ia berhak menghapus air mata Sidney yang kemudian menetes pilu, "can't we just be together, Sidney?"

"Gue rasa gue nggak bisa, Cal," sahut Sidney kemudian. Di kepalanya berlarian seruan iba, menyadari bahwa Cal juga mengalami masa sulit beberapa bulan ini karena laki-laki itu pasti menyalahkan diri sendiri atas kematian Allen. Tetapi di antara seruan itu, ada pecahan-pecahan rasa percaya berhambur di tubuh Sidney—and somehow she just can't bear it. "The wounds consume me too much. Gue mau berhenti."

Reaksi Cal tidak dapat terbaca jelas, tetapi dalam beberapa detik laki-laki itu mengangguk tenang. "Bahkan kalau gue berusaha menahan lo pun, lo nggak bakal mengubah keputusan lo, 'kan?"

Hanya tetes air mata yang kian deras yang menjawab pertanyaan Cal.

"I love you, Sidney. Kalau itu yang seharusnya gue katakan sejak dulu. I'm sorry if I made you question that when you literally deserve to be loved wholeheartedly, with a right way."

"Okay," I love you too, still, Cal.

"Okay," Cal mengulang, "not everything's gonna work out—and this one is the one I hate the most,"

Letting you go is the one I hate the most, adalah sisa kalimat yang menggantung di ujung lidah Cal, tetapi laki-laki itu memutuskan untuk tidak mengatakannya. Cal juga merasa tidak mampu menyaksikan orang yang disayanginya tenggelam dalam keraguan.

Mungkin mereka akhirnya bisa keluar dari kegelapan ini, tetapi tidak dengan menyusuri jalan berdua.

Are we out of the woods, yet? Are we in the clear?

Out Of The WoodsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang