Musim dingin tiba lagi. Bahkan tulang yang patah pun memiliki kemampuan untuk regenerasi. Begitu pun rasa sakit hati.
Sidney menyibukkan diri sebagai direktur perusahaan rintisan kecil yang bergerak di bidang percetakan dan desain grafis. Malam ini, ia sedang menyusun dokumen-dokumen di atas meja kerjanya.
Sidney bergumam kepada diri sendiri, "Let's call it a day—"
"Ibu Sidney, klien terakhir hari ini sudah datang, sedang menunggu di bawah,"
"Oh, ya?" Sidney meletakkan tumpukan kertas yang sedari tadi menutupi pandangannya, baru mengingat masih ada satu meeting tersisa, "i'll be right there. Thank you, Astri."
Langkah kaki Sidney di atas sepatu haknya menggema saat perempuan itu turun, memasuki ruang pertemuan. Pupil perempuan itu seketika goyah saat ia menyadari klien pria di hadapannya adalah seseorang yang ia sangat kenal.
Seseorang dari masa lalunya.
California.
Belum sempat Sidney mengatakan apa pun, laki-laki itu menyambutnya dengan senyum dan sapaan hangat, "selamat malam, Miss,"
Ada sesuatu yang berat dalam dada Sidney, tetapi ia coba lepaskan lewat satu embusan napas tenang, "wow, it's been a long time, ya, Cal?"
"It's been a long time," sahut Cal pelan.
"Oke ... jadi ini desain untuk undangan pernikahan, ya?" Sidney duduk, meski nyaris tertelan ludah sendiri, ia berusaha profesional dan langsung membicarakan inti pertemuan, "gue dan tim udah menyiapkan beberapa konsep sesuai yang request via chat lo ke Astri, lo bisa lihat di sini—"
"Maaf, Sid,"
"Eh?" Sidney terperangah. Ia benci sisi Cal yang memaksa otaknya seolah berpacu karena tidak mengerti. Maaf untuk apa? Untuk kejadian tiga tahun lalu? Atau karena ia sudah mau menikah? Untuk apa?
"Maaf karena gue selalu memulai dengan kebohongan,"
"Sorry, maksud lo gimana?" perempuan itu berusaha menjaga nada bicaranya.
"Gue nggak punya calon istri—belum. Gue jadi klien karena mau ketemu lo."
Oh.
Sontak, Sidney melepas tablet dan kertas-kertas yang sejak tadi ia genggam. Tubuhnya ia empaskan ke belakang. Sebagai direktur usaha rintisan, ia mulai mengembangkan kebiasaan menghindar dari segala sesuatu yang terlalu remeh dan membuang waktu—tetapi Cal datang, dan anehnya, otaknya memproses itu sebagai sebuah pengecualian.
Dengan wajah yang dibuat semenyenangkan mungkin, Sidney memberi kode kepada para pekerjanya untuk keluar, "gue minta waktu kami berdua dulu, ya?"
Saat semua karyawan sudah keluar, Sidney mengubah lagi gesturnya menjadi duduk "Demi apa, California? It's been three years, and you haven't met someone else?"
"What about we have dinner first, Sidney?"
Perempuan itu tertawa. Laki-laki sinting. Tapi ia lebih sinting lagi karena seluruh isi kepalanya berteriak setuju. Kedua mantan kekasih itu melaju dengan mobil milik Cal dan tiba di sebuah restoran di lantai teratas gedung pencakar langit.
"I did, Sidney."
"You did what?" Sidney mengedipkan mata, "oh, met somebody else?"
Cal mengangguk, "gue beberapa kali mencoba pendekatan ke perempuan lain, tapi nggak ada yang benar-benar gue mulai. Setiap gue kenalan, yang selalu gue pikirin adalah, "kenapa yang ada di hadapan gue bukan lo, Sidney? Apa yang gue lakukan di sini?" dan gue nggak mau menjadi penjahat bagi perempuan-perempuan itu dengan menjadikan mereka alat untuk melupakan lo."
Raut wajah Sidney berubah serius, "gimana kalau ... ternyata selama tiga tahun ini gue udah move on dan bertemu pasangan yang baik?"
Sidney dapat menangkap sekilat ragu dari pandangan Cal, tapi justru laki-laki itu tersenyum sedetik kemudian, "that's good for you, I guess. You deserve the love, Sidney, a proper love."
"And what would you do? Moving on?"
"Maybe. Maybe not. Satu hal yang pasti, gue nggak akan memulai sesuatu dengan orang lain sebelum gue benar-benar lepas dari bayang-bayang lo. Atau bahkan kalau gue nggak berhasil sama sekali ... I'll be alone, then. For the rest of my life."
Alunan musik klasik memenuhi ruangan itu, tetapi di antara Sidney dan Cal, hening yang kemudian berkuasa. Entah apa yang sibuk dipikirkan keduanya.
"So you really do, Sid?"
Cal melirih, menyerah. Biar ia yang memecah hening ini lebih dulu.
Ia siap untuk menyerahkan apapun untuk Sidney kali ini. Ralat. Sejak awal, ia memang selalu rela menyerahkan apapun demi perempuan itu.
Itu caranya mencintai. Bahkan jika artinya satu-satunya cara adalah membiarkan Sidney pergi lagi.
"Do what?" Sidney balik bertanya.
"You do find someone? Laki-laki yang bisa mencintai lo dengan cara yang sepantasnya?"
Sidney mendongak. Dipandanginya pahatan wajah Cal yang saat ini penuh oleh guratan cemas. Rasanya ia juga tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi.
"I do..."
"Oh,"
Senyum terbit di wajah mungil Sidney. Jemarinya menyentuh dagu laki-laki itu, agar keempat mata mereka bertemu. "Hey, kalimat gue belum lengkap,"
Cal menangkup tangan Sidney yang saat ini sedang membelai lembut wajahnya.
"I do, California. I do find someone who can love me right..."
Cal berharap dengan segenap hati.
"...only if you wanna be the someone." Ucap Sidney, final.
Tiga tahun dan semua orang baru yang Sidney temui juga tak dapat menghadirkan rasa sayang sebesar perempuan itu menyayangi laki-laki di genggamannya ini. Demi apa pun, Sidney bersumpah it's all worth the wait saat akhirnya ia bisa melihat kilau di mata Cal, kilau ketenangan yang menyenangkan itu, dengan perasaan yakin bahwa itu hanya untuknya. Tidak ada yang tersembunyi lagi. Segalanya terang benderang.
"I will try my best, Sid. Tolong jangan berhenti mengajarkan gue cara menyayangi."
Sidney mengangguk, "cinta akan mengajarkan lo. Mengajarkan kita. Love will find its way and guide us along."
Selama ini selalu begitu. Tidak mudah, memang. Tapi cinta selalu punya caranya sendiri.
Are we out of the woods, yet? Are we in the clear?
•••
Selesai.
![](https://img.wattpad.com/cover/361079791-288-k909951.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Out Of The Woods
Короткий рассказ"I've made a big decision in my life today, Woman, and I'll try my best to make you agree on that too." "What decision? To be on my side?" --- Sidney dan California---oh, tiada yang tau nama asli mereka---melawan dunia dengan memulai kisah asmara. B...