Apa yang kamu pikirkan tentang perempuan bernama Nayanika Latifah Alsaki? Perempuan yang kini berkepala tiga adalah wanita karir yang hebat. Dirinya dicintai banyak lelaki. Tetapi setelah berpisah lama dengan seorang laki-laki yang begitu Nayanika cintai, Nayanika sudah tidak bisa membuka hati untuk ke semua lelaki.
Memang tidak mudah. Karena bayang-bayang akan lelaki itu begitu menghantui dirinya. Jika waktu bisa diputar, tentu saja Nayanika sangat menginginkan hal tersebut. Bagaimana tidak, pasti semua orang menginginkan perputaran waktu ke masa lalu, seperti layaknya pintu ruang waktu doraemon. Dengan kita membuka laci, dengan mudah kita bisa menjelajahi bukan hanya masa lalu saja, bahkan masa depan. Sayang seribu sayang, ini bukanlah animasi fiksi doraemon. Karena ini merupakan kisah hidup kita pada kenyataannya.
Dan tentu memutar waktu ke masa lalu, dan memperbaiki segalanya. Pasti itulah alasan semua orang jika ditanya akan alasan tersebut. Sekali lagi perlu ditegaskan, Nayanika juga sangat menginginkan hal itu.
Namun, itu semua mustahil. Sebab, mana ada di dunia ini makhluk hidup seperti kita yang sedikit-dikit mengeluh, rasa ingin menyerah, mental yang selalu tidak terkendalikan, dan bahkan perlu digarisbawahi jikalau kita ini bukanlah Tuhan. Bahkan superhero saja yang kita tahu dalam film punya kelemahannya. Tuhan itu sempurna, sebab Tuhan lah yang membuat semua alam semesta ini, beserta kita dan makhluk lainnya saling keterkaitan.
Lalu, perempuan bernama Nayanika itu menidurkan badannya di kasur, sembari melentangkan kedua tangannya dan menatap langit-langit rumah. Sesekali menghembuskan napas beratnya dan kemudian tanpa sadar air mata menetes dari kedua bilik matanya.
Jemari lentiknya berjalan ke arah meja dan mengambil secarik bingkai yang terdapat sebuah foto sepasang dua insan saling tertawa ria. Dielusnya lembut foto lelaki itu.
"Pada akhirnya, aku hanyalah sinar mangata yang tergantikan oleh hangatnya arunika, Senja. " ujarnya penuh kesedihan.
Nayanika menutup matanya, memeluk erat bingkai foto tersebut di dalam dekapannya. Nayanika berharap, Senja akan kembali lagi esok hari. Seperti janjinya itu. Meski ia sudah menunggu sepuluh tahun. Baginya tak apa jika harus menunggu lagi dan lagi.
Ketika sedang menutup matanya, bayangan akan masa yang kelam itu kemudian muncul begitu saja. Nayanika langsung terbangun dengan keringat yang sudah membasahi sekujur badannya. Tangannya gemetar. Bingkai itu kemudian pecah jatuh ke lantai tanpa disadari.
Lambungnya seketika sakit. Buru-buru Nayanika ke kamar mandi dan muntah. Wajahnya menjadi sangat pucat. Hari-hari begitu berat untuk wanita tiga puluhan itu.
"Senja, aku sangat gundah karena hirap nya dirimu begitu saja. Meski kita sudah sepuluh tahun berpisah, namun atma ku tetap untukmu, Senja." lirihnya menatap cermin kamar mandi.
Setelah sudah selesai membuang sesuatu dari perutnya, yang ternyata tidak keluar apapun, Nayanika langsung keluar kamar mandi. Pecahan kaca bingkai ia kumpulkan dan dibuangnya.
"Katamu, mataku sangatlah indah seperti namaku, 'Nayanika' tetapi nyatanya karena mataku inilah yang menyebabkan semuanya begitu nestapa." ujarnya mengambil secarik foto itu.
"Aku sangat merindukan diksi-diksi mu yang kamu tulis untukku, Senja. Masihkah ada asa untukku mengulang ke masa lampau? Masihkah ada harsa jikalau memang masa lalu bisa diputar? Dan masihkah kita tetap arkais untuk menjadi sepasang dayita?" ujarnya kembali pilu.
Ia tidak tahu harus berapa lama lagi bisa bertemu lelaki yang begitu ia sayangi dan rindukan.
Gagang pintu kamar berputar, dan kemudian pintu kamar terbuka perlahan. "Senja?" tanyanya memastikan.
Memang yang membuka pintu adalah sosok lelaki. Tetapi, itu bukanlah Senja yang selama ini ia cari. Melainkan lelaki itu ialah suaminya, Bumantara.
"Senja? Hei, aku ini Bumantara. Bukanlah Senja. Lagi-lagi Senja. Apakah posisiku dihatimu belum bisa layak untukmu tempati? Dan apakah laki-laki tersebut pada kenyataannya adalah pemenangnya? Lalu, butuh berapa lama lagi agar aku bisa menggeser lelaki itu dihatimu, Nayanika?" pilunya memandang Nayanika dari bilik pintu.
Belum sempat Nayanika menjawab, Bumantara langsung menutup pintu perlahan dengan raut wajah penuh kekecewaan.
"Bumantara, bukan seperti itu maksudku. Jikalau memang aku menyakiti mu, lalu mengapa kamu masih tetap bertahan untuk selalu berada di dekatku? Banyak sekali perempuan di luar sana yang bisa kau cintai dan mencintaimu. Lalu, mengapa harus aku yang kamu pilih, kenapa Bumantara?" tanyanya seorang diri tanpa ditemani.
"Nayanika, aku tahu kamu saat ini penuh akan kebimbangan. Penuh akan pertanyaan mengapa aku masih menetap dan menemani. Aku memang mencintaimu. Tetapi di balik itu semua, aku sudah berjanji kepada Senja untuk tetap menjaga bianglala nya bahagia setelah nabastala rendum. Kepergian Senja bukanlah salahmu, memang itu sudah takdir dari Tuhan. Aku harap seiring berjalannya waktu, kamu dapat mencintai ku dengan tulus tanpa adanya terkaitan akan akara Senja." kata Bumantara yang ternyata mendengar pertanyaan Nayanika dari bilik pintu.
Di lain sisi, Nayanika mencoba memejamkan matanya sambil mendengarkan musik yang begitu Senja sukai. Lagi-lagi Senja.
If I could be by your side.
I'll give you all my life, my seasons.
Begitu suara musik dari Wave To Earth berjudul Seasons yang selalu Nayanika putar sebab lagu tersebut adalah lagu kesukaan Senja.
Tok tok tok...
Ketika ia sedang menutup mata sambil mendengarkan melodi lagu berputar, pintu kamarnya terbuka. Ia tahu itu adalah Bumantara. Tetapi untuk apa lelaki itu mengetuk pintu, mengapa tidak langsung masuk saja seperti biasanya?
"Nayanika, buka pintunya. Ini Mama. Ayo nak, kamu nanti terlambat sekolah." panggil wanita yang menyebut namanya sebagai Mama.
Fokusnya teralihkan setelah mendengar kata, 'Mama' dan 'sekolah'. Sebab Nayanika sudah menikah 10 tahun lalu karena dijodohkan oleh orang tuanya untuk melupakan Senja dan kini ia sudah berusia 36 tahun. Untuk apa Mama nya berkata demikian?
"Mama?" tanyanya bingung pada dirinya sendiri.
Bergegas Naya baranjak dari kasurnya membukakan pintu untuk Sang Mama. Tahu apa yang Nayanika rindukan? Senyuman Sang Mama yang begitu khas dan hangat untuknya. Sudah lama sekali Nayanika tidak melihat senyuman itu. Wajah Mama begitu mirip sekali dengan Nayanika. Bahkan setelah dirinya beranjak dewasa setelah kepergian Mama, setiap kali Nayanika bercermin, selalu terbayang-bayang akan wajah Mamanya.
"M-mama?" tanyanya memastikan.
Mama yang melihat respon anak bungsunya itu terheran. Seperti sudah lama saja tidak bertemu dengan Mamanya. Mama tertawa kecil ketika Nayanika memeluk erat tubuh perempuan baya itu yang mulai rapuh ditelan usia.
"Aduh Nayanika, badan Mama bisa copot semua ini kalau kamu peluknya kenceng banget. Lepasin dong, ayuk buruan kamu mandi untuk pergi ke sekolah.” ujar Mamanya yang melepaskan pelukan erat dari anak bungsunya.
Dikecupnya kening Nayanika sambil mengacak-acak lembut kepala Nayanika yang membuat rambutnya berantakan tak karuan.
Benar, sekolah. Rasanya Nayanika seperti bermimpi. Banyak pertanyaan dibenaknya yang ia tepis. Tidak mungkin dirinya kembali ke masa lalu. Mana ada hal yang seperti itu. Mustahil.
Untuk memastikan kembali, Nayanika bertanya, “Ma, tahun berapa sekarang?”
Mama yang masih berdiri di depan pintu Nayanika kembali tersenyum, “Seperti sudah tua saja kamu. Jelas sekarang tahun 2014. Dan kamu anak gadis mama sudah mau berusia 17 tahun. Masa lupa sih?”
“Haha... Bercandaan Mama tidak lucu. Naya pasti sedang bermimpi kan?” tawanya kecil dan menganggap ini semua adalah mimpi.
Mama mengerutkan keningnya, “Kamu yang bercandaan nya nggak lucu. Cepat sana mandi, nanti telat. Kakakmu sudah di meja makan. Nanti makanannya habis, berantem sama Kakak. Hadeuh...” kata Mama pergi meninggalkan ruangan Nayanika berserta Nayanika yang masih diam mematung.
Buru-buru Nayanika berlari ke dalam ruangan kamarnya. Mengecek kalender. Dan benar, saat ini adalah tahun 2014 bulan Oktober. Dan sekarang adalah tanggal 16, di mana saat itu untuk pertama kalinya ia dan Senja bertemu.
“Benar, hari di mana aku bertemu dengan Sang Senja.” gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Go
Teen FictionKetika kita pergi. Yang dulu sangat saling menyayangi, kini hanya tersisa sebuah akara. Tidak mengapa jika hanya sementara, namun ternyata adiratna itu pada nyatanya adalah anatya. Akankah kita bisa kembali seperti dahulu kala? Ataukah semua yang te...