[10] Demi Paceklik

1.1K 119 13
                                    

Kurang lebih ini seperti kisah Joseph. Dia bermimpi bahwa negerinya akan dilanda paceklik, kemudian ia melaporkannya pada raja. Dibuatlah sistem irigasi untuk mengairi persawahan, sehingga negeri tempat tinggal Joseph terhindar dari musim paceklik berkepanjangan. Sedangkan dia diangkat sebagai salah satu pejabat dan hidup tentram bersama ayah serta saudara-saudaranya.

Aku juga berharap seperti Joseph bisa melihat masa depan melalui mimpi. Jika hal itu benar-benar terjadi, negeri ini pasti tidak akan mengalami kekeringan seperti saat ini. Lalu aku tidak mungkin menemui wanita berkutil dan berhidung bengkok di hadapanku. Apalagi sampai melihat seringainya yang memamerkan gigi-geligi taringnya. Maksudku dengan taring adalah giginya hanya terdiri dari taring. Tidak ada gigi seri ataupun gigi geraham.

"Apa tujuanmu kemari, Fian?" Dia bertanya, kemudian terkekeh. Kekehan yang melengking dan menggema di seluruh bagian rumah yang aku yakini terbuat dari lumpur Danau Oktah.

Aku mengernyit. "Darimana kau tahu,"--aku meneguk air liurku--"namaku?" tanyaku penuh ragu.

Dia terkekeh. Kali ini lebih pelan. "Aku adalah Penyihir Dimensi, Fian," dia mulai berjalan memutariku, memainkan jari-jarinya yang panjang dan kurus. Beberapa kukunya terlihat seakan hendak copot dari tempatnya. "Aku tahu segalanya," tambahnya sambil memainkan apel keriput berwarna coklat tua yang entah ia dapat darimana.

Dia mulai berjalan mendekatiku. "Kau mau apel?" tanyanya ketika menyodorkanku apel ditangannya. Aku menggeleng. "Oh, sayang sekali." Dia berujar sambil menunjukkan wajah penuh kekecewaan yang aku tahu dibuat-dibuat. Penyihir Dimensi memang terkenal sangat pintar berakting.

Aku menggertakkan gigiku dan menautkan kedua alisku. "Jika kau tahu segalanya, kau pasti tahu tujuanku kemari," ujarku, menahan diri untuk tidak menutup hidung ketika aku mencium bau jubah hitamnya yang tidak jauh dari bau permen karet basah yang terbakar.

Bumi di bawah kakiku bergetar, aku berjengit. "Menghentikan musim kering di Negeri Suna,"--dia melempar apel keriput menuju sebuah kuali raksasa yang bergantung di atas tungku berapi ungu--"kau tahu, itu mustahil." Dia mengendikkan bahu.

"Kenapa?"--aku meninggikan suaraku--"Kau adalah Penyihir Dimensi! Aku tahu kau bisa memberikan negeri kami air tak terbatas!" pekikku.

Penyihir itu mendecak berulang kali. Hidung bengkoknya kembang kempis ketika tak sengaja ia memecahkan salah satu kutil di pipinya. Dia berjengit sambil mencabut kuku jarinya dan melemparkannya ke dalam kuali yang sama dengan apel keriputnya tadi. "Kau benar-benar menginginkan air-tak-terbatas itu?" Dia bertanya dengan suara rendah ketika berjalan mendekat ke arah kuali raksasa berawarna hitam itu. Aku pun memutar tubuh agar tetap bisa melihatnya.

"Aku, lebih tepatnya kami, penduduk Negeri Sena, kami membutuhkanya." Kembali kuteguk air liurku. "Kami tak bisa hidup tanpa air. Tak ada perkebunan atau hewan ternak yang mampu bertahan, kami kehilangan semuanya. Ditambah udara yang panas, kami tak dapat melakukan apa-apa!" keluhku. Kedua tanganku mengepal erat.

Penyihir itu mulai tertawa. Tawanya melengking di antara bebatuan rumahnya. Lalu dia mengambil sendok besar yang terbuat dari kayu dan mulai mengaduk kualinya.

"Kau tahu? Tak ada yang gratis di dunia ini," ujarnya menyeringai, memamerkan hampir semua gigi taringnya.

"Apa yang kau inginkan? Harta? Jabatan? Aku dapat memberikannya! Aku adalah pangeran di Negeri Suna! Akan kuberikan apapun asal rakyatku tidak menderita!"

"Hal yang paling berharga untukmu."

.

.

.

Aku tidak ingat apa yang dilakukan oleh Penyihir Dimensi itu selanjutnya. Yang jelas, saat aku keluar dari rumahnya hujan turun dengan deras dan membasahi setiap bagian dari Negeri Suna. Tumbuhan yang layu perlahan mulai berdiri tegak lagi, hewan-hewan ternak berlari dan meminum air dari tiap kubangan, sedangkan para manusia melompat-lompat dan menari-nari di bawah hujan. Keceriaan nampak sangat jelas pada setiap sudut wajah mereka.

Aku berjalan melintasi desa, melewati setiap makhluk hidup yang kutemui. Namun, tak ada satupun yang menghiraukan. Saat aku mengintip ke arah mata mereka, aku tidak mendapati bayanganku berada di dalam sana. Padahal aku adalah pangeran mereka atau mungkin mantan pangeran. Aku menyebut diriku mantan karena aku sudah memberikan milikku yang paling berharga kepada Penyihir Dimensi agar mereka, para rakyatku, dapat hidup tentram kembali.

Keberadaanku.

==============================

Challenge on, Thursday, June 25, 2015

==============================

Published on, Thursday, June 25, 2015

==============================

Ketika Kita TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang