Namaku Lasina, Lasina Syairla.

143 59 152
                                    

Gadis kecil yang menggigil itu duduk membungkuk dengan wajah penuh air mata. Kepalanya tertunduk, bertumpu pada punggung tangan kiri yang berada di atas lututnya yang terlipat. 

Sesekali, ia membekap mulutnya sendiri ketika air hujan terus menyelinap masuk melalui lubang pada payung plastiknya. Mengenai luka belum kering yang ada di punggung, betis, dan lengan gadis itu. Untungnya, luka di kedua telapak kaki telah mengering. Jadi, terkena air sekali pun rasanya tidak menyakitkan.

Sekujur badan kecil itu menggigil hebat, rasa sakit, rasa dingin sekaligus rasa takut menguasainya. Dilihat, air dari selokan yang berada di kedua sisi gerbang mulai naik ke atas, hampir setinggi pinggang. Ditambah pula suara gemuruh dan kilatan cahaya yang saling bersahutan.

Ia memejamkan mata, berharap agar Mamanya segera kembali. Gadis mungil itu ingin berteriak dan menangis kencang, tetapi tidak bisa. Mama akan memarahi dan menghukumnya jika tahu.

Mama, Lasina takut. Tolong.

"Eh? Nak?" 

Suara seorang wanita sayup-sayup terdengar. Disusul dengan gesekan benda berkarat yang cukup berisik, hingga akhirnya pintu gerbang terbuka sempurna. 

Tanpa sadar, sudut bibir yang terdapat luka memar itu terangkat. Menciptakan sensasi nyeri bersamaan perasaan lega yang meluap. Walaupun di depannya bukan sang Mama, tetapi gadis itu merasa sedikit senang.

"Nak, kamu sedang apa di sini?" Wanita paruh baya itu berjongkok di depan Lasina.

Tangan mungil gadis itu merogoh saku jaket lusuh yang melekat di tubuhnya. Secarik kertas yang dilipat dua dengan kondisi setengah basah Lasina serahkan pada wanita yang berada di hadapannya itu. "Namaku Lasina. Lasina Syairla."

Wanita yang terlihat lebih tua dari pada Mamanya itu membuka dan membaca isi tulisan yang ada di kertas. Sebenarnya Lasina penasaran apa yang ditulis oleh ibu kandungnya itu, tetapi ia tidak ada keberanian untuk membuka suara lagi.

Gadis kecil itu mencuri-curi pandang ke arah orang asing itu. Gemercik air hujan terdengar lebih jelas kala netra legam Lasina melihat air mata di kedua pipi wanita yang berada di hadapannya.

Melihat itu, Lasina ikut menangis.

Kenapa? Kenapa menangis? Apa yang Mama tulis di sana?

Lagi, kalimat itu tidak bisa diucapkan dengan lantang.

"Jangan menangis, Nak." Tangan yang terlihat mulai berkeriput itu perlahan terulur ke arahnya. Secara refleks, tubuh Lasina semakin membungkuk dengan kedua matanya yang terpejam.

Sekilas, ingatan gadis bersurai sebahu itu terkecoh. Lasina melihat bayangan tangan sang Mama bersiap menyeret tubuhnya secara paksa untuk diberi hukuman. Padahal, kala itu tidak ada kesalahan apapun yang diperbuat.

"Ah, maaf, Ibu hanya ingin memeluk kamu," ucap lembut wanita itu. "Nama Ibu Hannah Jinana, salam kenal, Lasina."

Lasina diam, tidak mengerti harus berkata apa. Gadis kecil itu sedang kesulitan menahan air matanya yang terus luruh. Jika seperti ini, mungkin saja Hannah akan memukulnya, sama seperti apa yang dilakukan oleh Mama setiap kali ia menangis.

"Air di selokan sini sering sekali naik, jadi kalau hujan rasanya akan seperti banjir, kan?" tanya Hannah sembari memperhatikan Lasina yang tampak kebingungan dengan perkataannya. "Mau ikut masuk dengan Ibu? Kalau terus di sini, Ibu khawatir kamu terseret air."

Sejujurnya, Hannah sangat ingin memeluk dan membawa tubuh gadis kecil bernama Lasina itu. Wanita paruh baya itu ingin menghangat dan mengobati luka-luka yang ada.

Namun, Hannah juga tidak bisa bertindak gegabah. Melihat reaksi tadi, wanita itu merasa akan sangat berbahaya jika memaksa kehendaknya sendiri. 

"Lasina tidak boleh berdiri." Lasina berucap dengan suara serak-serak basah. Tangannya mencoba menghapus kasar setiap air mata yang terjatuh. "Mama akan marah dan menghukum Lasina."

"Mama Lasina meminta Lasina untuk terus duduk di depan pagar ini?" tanya Hannah dengan hati-hati. Ia memajukan sedikit payungnya sebab payung penuh lubang milik Lasina malah dilepas oleh gadis kecil itu.

Lasina menggeleng. "Mama bilang itu perintah."

Hannah tercengang. "Pe-perintah? Kamu tahu apa itu perintah?" 

Lasina mengangguk, hampir membuka mulut lagi. Namun, dengan cepat Hannah menyela. Sebab air dari selokan semakin meluap.

"Ah ... eum, kita lanjut mengobrol di dalam, yuk? Mama Lasina enggak akan memberi hukuman. Ibu janji." Jari kelingking Hannah mengacung tepat di depan wajah Lasina. 

Lasina mengikuti apa yang Hannah lakukan; mengacungkan tangan kanan dan hanya menegakkan jari kelingking. "Janji?"

"Iya, janji," kata Hannah sembari menyatukan jarinya dengan jari kelingking gadis malang itu. "Lakukan seperti ini, dengan begitu Lasina bisa mempercayakan semuanya pada Ibu."

Lasina awalnya terkejut dengan sentuhan itu. Terasa menggelitik, juga sedikit memunculkan perasaan aneh yang rumit. Satu hal yang pasti, ia tidak membenci sentuhan seperti tadi. 

—————

Halo, selamat datang dicerita baru Ais.

Jangan lupa tap bintang sebelum tutup chapter ini, ya!

Sudah?

Thank you, Darl :)

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang