Apa Benar Mama Membuangku?

91 57 103
                                    

Setelah dimandikan oleh Hannah dengan air hangat, Lasina diberi baju ganti yang tidak menyesakkan seperti baju-bajunya dulu. Kaus berlengan panjang dengan gambar bebek yang teramat besar di tengahnya. Mula-mula, Lasina diajak untuk bertemu teman yang katanya sebaya dengan usianya. Namun, gadis itu menolak. Ia hanya ingin pulang, bertemu mama.

Maka dari itu, kini Lasina duduk di atas sofa dekat dapur yang rasanya teramat sangat empuk. Kontras sekali dengan tempat duduknya dulu di rumah, berlubang dan banyak karet-karet yang menjuntai keluar.

Sebenarnya, ada sofa lain selain sofa butut itu. Namun, karena ia pernah tidak sengaja menumpahkan susu di sana, akhirnya sang papa murka dan melarangnya untuk mendaratkan bokong di sana.

"Anak ini ... anak yang ditinggalkan di depan gerbang, Bu?" Perempuan dengan rambut panjang di bawah sebahu itu bertanya kepada Hannah dengan suara yang amat keras.

Hannah yang sedang menyiapkan susu hangat, menoleh cepat. "Sila!"

"Kenapa? Anak ini tidak tahu kalau dia dibuang ke sini?" tanya Sila dengan jari telunjuk yang mengacung ke arah Lasina.

Segera, Hannah menarik lengan Sila dan membawanya ke ruang tamu kedua yang kosong. "Sebentar, ya, Lasina."

Lasina diam. Tidak memberi respon apapun. Gadis kecil itu memainkan jari-jemarinya dengan kepala tertunduk. Orang-orang dewasa selalu bertengkar karenanya, sama seperti yang sering papa dan mama lakukan di rumah.

---

"Sila Rizkala! Mau saya laporkan lagi kepada para donatur? Ingat mereka memilih untuk memberikan satu kesempatan lagi, bukan karena kamu hebat menjaga anak di sini. Tapi, karena kasihan melihatmu yang memohon-mohon." Hannah berkata dengan sedikit nada mengancam dan menekan.

Sejujurnya, wanita paruh baya itu sudah lelah dengan sikap Sila yang tidak berubah-ubah. Namun, di sisi lain, Hannah juga merasa kasihan sebab gadis remaja itu pun merupakan anak yang dulu diasuh olehnya.

"Sila, Ibu bicara seperti ini demi kebaikan kamu juga. Kamu yang bilang ingin terus di sini sebagai suster untuk anak-anak. Jadi, kamu harus bisa menjaga sikap. Ada hal yang boleh dan tidak boleh kamu bicarakan di depan seorang anak kecil, apalagi seusia Lasina. Meskipun hal yang kamu bicarakan menyangkut anak itu. Kamu paham?" Hannah menepuk-nepuk bahu Sila beberapa kali.

Sila diam menunduk, membuat Hannah menghela napas panjang. "Naiklah, ini waktunya kamu membacakan anak-anak dongeng tidur, kan?"

Sila mengangguk dan menuruti Hannah. Gadis remaja berusia 18 tahun itu menaiki tangga, menuju kamar anak-anak. Tanpa diketahui siapapun, tangannya mengepal dengan raut wajah mengerut; kesal. Lasina!

---

"Maaf, Ibu lama, ya?" tanya Hannah. Netranya menatap lembut ke arah Lasina yang juga menatap ke arahnya. Wanita paruh baya itu meraih gelas yang berisikan minuman berwarna cokelat. Mengaduk-aduk sesuatu yang menggumpal di bawah gelas dengan telaten.

Sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang ingin Lasina ajukan. Berkaitan dengan apa yang dibicarakan oleh perempuan bernama Sila.

Apa benar mama membuangku?

Kenapa?

Apa Lasina tidak bisa melihat mama lagi?

Sayangnya, semua pertanyaan itu tertahan dalam kerongkongan. Jika tidak salah ingat, dulu papa pernah berbicara begini. "Hei, akan sangat baik jika kamu tidak mengeluarkan sepatah kata pun seperti orang bisu."

Kala itu Lasina tidak tahu apa itu bisu- pun sampai sekarang. Yang pasti, setelah papa yang terlihat mengerikan dengan botol kaca di tangan berkata begitu, mama menampar keras pipi papa. Seolah sedang membelanya.

"Nah, ini susu cokelat untuk Lasina. Ibu bantu pegang, ya, masih panas. Hati-hati," kata Hannah yang membuat Lasina cukup terkejut.

Gelas kaca bergambarkan kartun Pororo, disodorkan dengan pelan ke arah bibir Lasina.

Lagi, ingatan gadis itu tumpang tindih. Kali ini, ia melihat bagaimana papa menumpahkan air putih ke wajahnya. Tubuhnya bergerak sendiri, melompat dari sofa hingga terjatuh di lantai yang keras. Mulut kecil itu berkomat-kamit. "Mama ... tolong, Mama."

Melihat itu, Hannah tidak mampu untuk tidak terkejut.

Lasina tidak ingat penyebab dari kejadian lama yang tidak sengaja diingatnya. Namun, rasa sakit dan perih sebab air yang masuk ke rongga hidung kini terasa dengan jelas.

"Nak?"

Mata Lasina terpejam kuat, jari-jemari kecil itu menutup erat hidung dan mulut. Bulir-bulir air mata berjatuhan bersamaan dengan seluruh tubuhnya yang bergetar. Sakit sekali, tapi papa pasti tidak peduli. Mama! Mama! Aku mau mama.

Dekapan hangat terasa menyelimuti seluruh tubuhnya. Tangan lembut yang membelai surai hitam itu, terasa manis sekali. Mau tidak mau, kedua tangannya ikut terulur, membalas dekapan yang menenangkan.

Benar, kala itu mama memeluk Lasina seperti ini juga. Lasina mendongak, menatap wajah yang terlihat kabur. Dengan lirih, dia berkata, "Ma ... mama?"

-----

Jangan lupa tap bintang sebelum tutup chapter ini, ya!

Sudah?

Thank you, Darl :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang