"Nana, mau ikut menjenguk Chenle?"
Ajakan itu datang dari ketua kelas. Kabarnya temannya satu itu dirawat di rumah sakit setelah menjalani operasi usus buntu. Detailnya Nana kurang tau. Hari-harinya di sekolah mendadak sepi dimulai sejak Chenle dinyatakan sakit. Pada dasarnya memang kehidupannya sepi dan flat-flat saja. Tapi berkat Chenle, di sekolah Nana mendapat kesempatan bicara.
Sepertinya ketua kelas tau itu. Tau bahwa mungkin satu-satunya teman di kelas yang dianggap dekat oleh Nana hanyalah Chenle. Mereka semua di kelas itu tidak keberatan dengan Nana yang pendiam. Sebenarnya mereka peduli dalam diam.
"Perjalanan ke rumah sakit hanya 10 menit. Kita bisa naik bus." Kata yang lain. Setidaknya ada lima anak perwakilan kelas untuk datang ke rumah sakit, termasuk Nana setelah setuju untuk pergi bersama mereka.
◣ _ ◢
Tiba-tiba Nana teringat momen dua bulan lalu. Sekarang ini tentu saja Chenle sudah sehat. Nana penasaran apakah temannya satu itu mengkhawatirkannya atau tidak. Bau menyengat obat-obatan mengusik hidungnya, mengingatkannya pada ruangan tempat Chenle dirawat.
Nana meraih gumpalan selimut demi menutupi tubuhnya. Sekaligus menggigitnya demi meredam suara atas rasa sakit yang dirasakannya. Nyeri pinggang atau bagian darinya yang habis disetubuhi tidak ada apa-apanya dibandingkan jahitan kakinya yang rusak. Sakitnya bukan main. Darah yang keluar merembes sampai membasahi seprei. Tangan Nana memukul-mukul ranjang atas betapa tidak tahannya dirinya akan hal itu. Obat pereda sakit efeknya pasti telah sirna.
Pria itu, Jeno, sibuk dengan handphonenya sejak tadi. Berusaha menghubungi seseorang. Tidak peduli dengan tubuhnya yang telanjang selekas persenggamaan pertamanya bersama Nana. Terdapat bekas cakaran berwarna merah di punggungnya. Nana sempat memintanya untuk berhenti karena yang ke tiga kalinya kakinya mulai terasa menyakitkan. Jeno yang kepalang birahi tidak mengindahkannya dan terus menyetubuhinya. Sampai persenggamaan itu selesai, Jeno baru menyadari banyaknya darah merembes keluar dari perban kaki Nana.
"Seharusnya kau diam saja mengikuti apa kataku!" Jeno memakai celananya kembali, tapi tidak dengan bajunya. Drafting tubenya ketinggalan, terpaksa Jeno harus kembali ke kamar untuk mengambilnya. Itulah alasan pria itu kembali. "Selama kau menurut, semua akan berjalan sangat mudah."
Pria itu menempatkan diri di tepi ranjang. Nana memunggunginya dengan masih menggigit selimut kuat-kuat biarpun ringisannya masih terdengar. Kepalanya ditarik untuk menghadap Jeno. Lengan pria itu diulurkan untuk menggantikan selimut. Nana dengan senang hati menggigitnya, kalau bisa sampai berdarah. Ini masih tidak sebanding dengan kehilangan kaki, kehilangan harga diri dan kehilangan hak atas diri sendiri. Penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, orang ini bisa terjerat hukum pasal berlapis.
Suara ketukan pintu terdengar. Ada yang datang. Perhatian Nana langsung dicuri sepenuhnya. Sayangnya di menit itu juga Jeno meraih dasi hitamnya. Dasi itu kemudian dililitkan pada kepala Nana guna menutup matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATTLE FEAR - NOMIN
FanfictionNoMin | NCT DREAM WARNING! ⚠️kidnapping, victim, sexual harassment, violence, nudity, semi-gore ⋘ ──── ∗ ⋅◈⋅ ∗ ──── ⋙ Nana pikir jika dirinya menjalani hidup biasa saja, datar-datar saja, tidak mencolok, hidupnya akan baik-baik saja. Apa yang dila...