Chapter 1 - The Painful-Bittersweet

25 2 0
                                    

"Da, mau nongkrong di Starbucks gak abis pulang? Gue butuh banget bantuan lu nih."

Sembari membereskan barang-barang, memasukkannya ke dalam tas wanita itu terlihat terburu-buru untuk pulang. "Sori Den, hari ini gak bisa. Gue lagi disuruh nyokap buat pulang cepet."

Denny menggaruk kepala mendengar alasannya. "Tapi, kan lu tinggal sendiri?"

Sedetik itu ia baru tersadar kalau dia sekarang tidak tinggal di rumah orang tuanya lagi, melainkan tinggal di kost dekat kantor. "Hari ini nyokap minta gua balik ke bekasi, ya tau lah ya nyokap gua gimana, Den. Next time aja, gimana?"

"Yaudeh deh, besok ye. Gak mau tau. Gua lagi butuh lu soalnya."

"Oke."

"Titi dj ye, Marshanda."

"Thanks, sori banget ya, Den. Bye!"

Sebenarnya alasan Marshanda terburu-buru pulang kantor sebelum ada yang bisa ngajak dia hangout adalah malas. Marshanda termasuk ke dalam kategori orang introvert, tapi diadopsi oleh banyak extrovert. Dia paling malas ketemu orang-orang jika boleh jujur, menurutnya itu paling menguras energi.

Selain itu juga kereta dan kemacetan lalu lintas Jakarta yang suka bikin pusing kepala.

Transportasi yang sering ia naiki kemana-kemana kalau tidak gojek ya kereta, gojek kalau jarak perjalanan tidak terlalu jauh, kereta opsi utama dia jika jarak perjalanan terlalu jauh dan ongkirnya lebih hemat.

Dari jarak kantor ke stasiun MRT hanya jalan kaki selama lima-sepuluh menit. Opsi lainnya bisa pakai bus Transjakarta, tapi dia paling tidak bisa menghadapi kemacetan lalu lintas Jakarta. Dia berjalan di trotoar sembari memutar lagu kesukaan, berusaha tak memikirkan hal-hal rumit, mungkin menikmati suasana senja Jakarta tidak buruk juga.

Dalam perjalanan jalan kaki Marshanda punya kebiasaan tersendiri, dia paling tidak bisa jalan sambil scrolling handphone, tapi handphone selalu ada di genggaman tangannya dan mata tidak pernah absen observasi sekeliling.

Kenapa tidak disimpan di saku celana saja biar tidak ribet?

Itu ada ceritanya, tenang saja.

Marshanda ini meski paling jago baca karakter orang dan masalah observasi, tapi dia ini juga termasuk ke kategori orang pelupa kalau masalah diri sendiri. Apalagi menyangkut gadget. Dulu dia pernah menyimpan handphone di saku celana, tapi dia sering lupa masalah itu, dia selalu mikir handphone ada di tas. Maka dari itu setiap kali naik kereta tas selalu diletakkan di depan. Padahal handphonenya tidak di tas, melainkan di tempat lain. Ujungnya handphone dia sering hilang di saku celana.

Sejak itu Marshanda merubah cara sendiri, dia sekarang memilih menggenggam handphone kemana-kemana daripada harus diletakkan di saku atau di tas. Selain mudah, dia juga ingat handphone itu masuk ke dalam penglihatannya.

Sepuluh menit berlalu, Marshanda tiba di stasiun MRT. Seperti biasa, petugas akan mengecek suhu tubuh dan barang-barang di tas. Setelah itu dia berdiri di tepi sebentar, melihat ruko jajanan. Ada kopi, ada fast food, ada supermarket. Marshanda sangat menyukai kopi, tapi dia hari ini sudah minum tiga gelas di kantor.

Hmmmmm...

Kakinya terus berjalan entah kemana sampai salah satu mas-mas di ruko itu menyapa Marshanda sambil tersenyum ramah. "Selamat datang, Kak. Mau pesan apa? Atau mau tanya-tanya juga boleh kok."

"Mas, pesen cappucino blended satu, empat shot expresso ya. Bisa dibuat manis banget gak?"

"Bisa, Kak. Ukuran apa, Kak?"

"Medium aja, mas. Yaudah itu satu ya, aku bayar pakai debit aja."

"Sebelah sini ya, Kak."

Mas tersebut mengarahkan Marshanda ke tempat pembayaran khusus debit, sesudahnya memasukkan pin dan melakukan pembayaran Marshanda menunggu selama tiga sampai lima menit hingga pesanannya datang. Seusai dia berucap terimakasih, dia langsung berjalan cepat ke peron kereta yang dituju.

Miserable yet DesirableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang