3. Ambil Raport?

228 21 0
                                    

"kamu sendiri dengar kan, mereka gak mau kalo aku yang ngambil rapotnya" Alana mengeluh saat suara dari telepon genggamnya menyuruh dia untuk mewakillinya. Erland menelpon.

"tapi kali ini Hendery tidak bisa mewakiliku, kamu ibunya Alana" Erland tetap memaksa meskipun Alana berakli-kali bilang tidak. Setelahnya Alana mengehela nafas kasar. Ia menyetujui hal itu pada akhirnya. Meski ia tau konsekuensi jika ia datang kesekolah anak-anak. Bisa-bisa mereka mempermalukan dirinya di depan teman-temannya.

Alana cepat berganti baju dengan yang semi formal. Pembagian rapot di SMP Aarav di mulai jam delapan, sedangkan di SMA si kembar jam 11, maka ia harus mendatangin sekolah sibungsu terlebih dahulu.

Perempuan dengan dress panjang melebihi lutut itu memilih untuk mengendarai mobil sendiri. Ia menuju sekolah Aarav yang letaknya tidak terlalu jauh. Sekitar sepuluh menit dari rumah mereka.

Jujur saja, ini pertama kalinya dia menampakkan diri di sekolah anak-anak. Meskipun beberapa temannya sudah tau karena sering main kerumah, tetap saja ini hal yang cukup membuatnya gugup.

Alana memarkirkan mobilnya dan lekas menuju kelas putranya. Ia sudah tau, denah sekolah Aarav sudah dikirim oleh Hendery sebelum ia sampai disini. Kelas Aarav terletak di lantai dua. Ia cukup menaiki tangga yang ada di tengah lobi utama dan mencari kelas 9-1, kelasnya Aarav.

Saat Alana sampai, pertemuan antar walimurid dan walikelas sudah di mulai. Alana mengetuk pintu pelan. Seketika seisi kelas menoleh padanya. Ah, mereka pasti bingung dan berfikir bahwa dirinya adalah walimurid yang salah kelas, karena tidak pernah melihat Alana sama sekali.

"maaf mbak? Mencari siapa ya?" wali kelas itu bertanya ramah. Alana tersenyum. Dia pasti ibu Emilia yang di sebut Aarav.

"saya walinya Aarav Willhelm, apa benar ini kelasnya?" Alana bertanya sopan. Ia merasakan tatapan bingung sekaligus tidak suka dari walimurid disini, yang nyaris 90% adalah perempuan.

"maaf, mbak ini siapanya Aarav ya?" ibu Emilia masih bertanya ramah untuk memastikan.

"oh, saya mamanya Aarav" Alana meringis. Kali ini para ibu-ibu jelas sekali menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap Alana.

"ah, begitu, maaf ibu saya pikir anda saudaranya, mari silakan masuk" ibu Emilia mempersilahkan Alana duduk di bangku Aarav. Alana memejamkan matanya sejenak. Jelas saja ia menjadi pusat perhatian dari walimurid yang ada disini. Sebisa mungkin Alana memberika senyum ramah kepada mereka. Meskipun kebanyakan membalasnya dengan tatapan sinis.

"Aarav Willhelm" suara lantang walikelas membuat Alana tersadar dari lamunannya. Ia bergegas menuju meja guru untuk menerima rapot putranya.

"selamat Ibu, Aarav masih mempertahankan peringkat satunya" ibu Emilia tersenyum bangga. Begitu juga dengan Alana. Ia tau, Aarav benar-benar kopian Erland, cerdas tapi banyak tingkah.

"terimakasih Bu" Alana tersenyum tulus. Setidaknya walikelas ini tidak memberikan tatapan mencemoh seperti walimurid yang lain.

"maaf atas suasananya ya Bu, mungkin karena Ibu tidak pernah datang sebelumnya, jadi para walimurid merasa kurang nyaman" Ibu Emilia tersenyum hangat. Ia mengerti dengan sikap Alana yang sejak tadi menujukkan kurang nyaman.

"ah tidak apa-apa, saya sudah memprediksikan ini" memang benar. Dia bahkan sudah bersiap apabila Aarav mengejeknya di sekolah.

"sebenarnya, di pertemua sebelum ini, ada beberapa perempuan yang mengaku sebagai kekasih pak Erland dan berniat menjadi wali Aarav saat ada pertemuan orang tua. Kalau saya tidak salah, sudah ada empat perempuan yang mengaku menjadi pacar pak Erland dan ibu dari Aarav. Saya sampai heran sekali" Ibu Emilia menghela nafas pelan. Tidak heran sebenarnya, Erland kaya dan tampan. Siapa yang tidak tergoda. Tapi sapai datang ke sekolah anaknya, bukankah itu sudah sangat kelewatan.

ALANA : The Journey of a StepmotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang