Nine

36 6 0
                                    

Kring kring

Kerincing bel berbunyi ketika seseorang laki - laki masuk ke dalam cafe minimalis yang terletak di tengah - tengah kota.

Zion, laki - laki yang baru datang itu berjalan ke sebuah meja yang di sana sudah terdapat seorang gadis yang duduk sendirian. Posisinya adalah di pojok samping jendela, jauh dari keramaian pengunjung lain yang juga datang ke cafe yang sama.

"Ze!"

Laki - laki itu menepuk pundak si gadis dengan pelan, tak ingin mengagetkannya karena kedatangannya yang tiba - tiba.

Yang dipanggil menoleh, sedikit heran dengan keberadaan Zion di tempat yang sama dengannya.

"Lo kok di sini?" Tanya Zea.

"Hari ini pengumuman skor UTBK kan? Kebetulan gue ada urusan di deket sini terus Wilka bilang lo ada di cafe ini," jawab Zion.

Cowok itu memutuskan untuk duduk di kursi kosong yang berhadapan langsung dengan kursi Zea.

"Wilka? Sejak kapan lo deket sama dia?"

Kembarannya itu terlihat sedikit salah tingkah ketika ditanyai seperti itu. Jujur saja, ia bingung akan menjawab apa.

"Cuma kebetulan pas - pasan aja di jalan, gak usah dipikirin."

Zea hanya beroh ria, tak ingin bertanya lebih lanjut lagi karena poin pentingnya saat ini bukanlah hubungan antara Zion dan Wilka, melainkan pengumuman skor UTBK yang akan segera keluar.

Setelah Zion menawarkan bantuan pada Zea waktu itu, gadis itu memikirkan baik - baik benefit yang akan ia dapat dan akhirnya menyetujui tawaran dari Zion. Hubungan mereka pun semakin membaik sejak saat itu.

"Udah masuk ke lama web-nya?" Tanya Zion sembari melirik monitor laptop Zea yang menyala.

"Belum, nih!"

Zea sedikit menggeser laptopnya agar bisa dilihat bersama - sama oleh mereka.

Tak menunggu waktu lama lagi, Zea segera membuka laman web yang akan menampilkan skor UTBK nya. Serangkaian kegiatan log in dia lakukan. Tinggal sekali klik saja, dan skor akan diperlihatkan.

"Do'a dulu!" Saran Zion.

Keduanya kini sama - sama berdoa dengan tenang.

"Lo aja gih yang buka, gue takut," ucap Zea yang sudah selesai berdoa.

"Sejak kapan lo jadi penakut gini? Buka sendiri aja, pelan - pelan! Nih gue pegangin laptopnya biar gak lari," canda Zion mencoba mencairkan ketegangan yang tercipta agar setidaknya Zea bisa lebih rileks.

Zea pun mulai menggeser krusor, mengarah pada titik yang akan menampilkan skor. Setelah di klik, terlihat laptopnya mengalami loading.

"Lama bener, cafe elit wifi sulit," cibir Zion yang tak sabaran.

"Sabar, anjir. Entar staff nya denger."

Gadis itu menoleh ke sekitar untuk memastikan tak ada yang mendengar sindiran Zion tadi.

"Keluar, Ze."

Zea tersentak lalu langsung kembali mengarahkan pandangannya ke monitor laptop. Tertera sudah semua skornya di sana.

"Bentar, gue hitung dulu rata - ratanya," ucap Zion sambil membuka aplikasi kalkulator di ponselnya.

Setelah tak lama berkutat dengan angka - angka itu, Zion menggeser ponselnya untuk bisa dilihat Zea.

"Tujuh ratus dua puluh tiga, wihhh lumayan."

Zea tak bergeming di tempatnya. "Zi, lo tau kan passing grade skor buat keterima di Kedokteran UI? Skor gue di bawah itu," ucap Zea dengan nada lemah.

Melihat skornya di bawah ekspektasi yang diharapkannya membuat Zea merasa rendah diri. Dia kecewa kepada dirinya sendiri, dengan ketidakmampuannya ini mau jadi apa dirinya?

Matanya sudah sedikit berkaca - kaca. Mungkin sebentar lagi cairan bening akan meluncur membasahi pipinya yang memerah.

Zion menghampiri kembarannya itu, mengelus pundaknya untuk mengurangi rasa gundahnya.

"Ini masih belum pengumuman, Ze. Lo pasti keterima kok. Kalaupun engga, nanti gue bakal bantu nyiapin belajar ke jalur mandiri, jangan khawatir."

"Gue ngecewain lo ya, Zi? Semuanya gak kayak yang gue harapkan. Kalau gue gagal gimana?"

Zea menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tak ingin Zion melihat sisi lemah yang selama ini disembunyikannya.

Tangisnya pecah dalam diam, sementara Zion masih berusaha untuk menenangkan kembarannya.

"Lo gak ngecewain. Gue bahkan bangga sama lo karena udah bisa berhasil dapet skor segitu, dan lo juga harus bangga atas hasilnya. Itu udah cukup bagus, Ze."

Zion menarik telapak tangan Zea dari wajahnya, kemudian menyodorkan tisu untuk diberikan pada gadis itu.

"Habis ini gue traktir es krim, perayaan atas kerja keras lo selama ini," hibur Zion.

Zea perlahan - lahan bisa tenang setelahnya. Dia merasa beruntung dengan kehadiran Zion saat ini. Jika cowok itu tak ada, mungkin ia akan lebih terlihat mengenaskan karena menangis sendirian di pojok cafe sambil dilihat oleh orang - orang yang berlalu lalang. Hanya membayangkannya saja, ia tahu keadaannya sekarang jauh lebih baik daripada itu.

Sepertinya setelah ini dia harus berterima kasih pada Wilka yang membocorkan keberadaannya saat ini pada Zion.

Beberapa hari setelah itu, mereka berdua disibukkan dengan belajar jalur mandiri Universitas Indonesia yang biasa disebut dengan 'Simak UI'

Zion dengan telaten membantu Zea memahami materi demi materi. Tak sulit untuk mengajari Zea, karena gadis itu sebenarnya sudah terlahir dengan otak pintar dan hanya perlu diasah saja. Seperti pisau yang akan tajam bila terus - terusan diasah, maka berlaku hal yang sama juga pada otak Zea.

Tok tok tok

Zion mengetuk pintu kamar Zea. Tanpa menunggu tanggapan Zea, dia membuka pintu kamar yang akhir - akhir ini jarang dikunci oleh saudari kembarnya itu.

Terlihat Zea sedang fokus duduk di kursi belajarnya. Pemandangan yang akhir - akhir ini selalu Zion lihat ketika masuk ke kamar Zea.

"Makan, Ze," tawar Zion yang kedua tangannya berisi penuh sebuah nampan yang di atasnya terdapat makanan dan berbagai macam cemilan.

"Hm, bentar lagi," gumam Zea lirih.

Tak menunggu waktu lama, Zion menaruh nampannya pada sisi lain meja belajar Zea yang kosong.

"Sekarang! Lo belum makan dari siang tadi," ucap Zion tegas.

Baginya tak ada yang lebih penting daripada kesehatan Zea sendiri.

Zea pun memilih untuk mengalah saja daripada harus berdebat dengan Zion. Terakhir kali mereka berdebat, keduanya membuang waktu begitu lama hanya untuk hal yang sepele. Dan itu sangat tidak efektif untuk waktu belajar Zea.

"Oke, gue makan. Tapi tolong koreksi kerjaan gue, kalau ada yang salah tandain dulu."

Zion mengangguk, lalu mengambil alih buku Zea, membawanya ke kasur kembarannya itu.

Ia rebahkan tubuhnya dengan posisi menelungkup. Selanjutnya, ia memakai kacamata minus yang sering dipakainya, mulai menyelami satu per satu soal yang telah dikerjakan Zea. Sementara kembaran perempuannya itu menghabiskan makanan yang tadi ia bawa.

Sesekali Zion melirik untuk memastikan makanan itu dimakan oleh Zea dengan baik dan akan menegurnya apabila Zea bertindak usil dengan membuang beberapa sayur yang tidak disukainya ke dalam tempat sampah yang berada di sisi kirinya.

Zion tak segan - segan menceramahinya tentang bagaimana petani sayur bekerja keras untuk hasil panen yang bagus sehingga bisa dinikmati oleh orang - orang sampai dengan semua khasiat sayuran yang Zea makan.

___________

Read, vote, comment, and support, Will be appreciated. Happy reading....

TBC

Double ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang