[Tiara POV]
"Hai Tiara." Tegur seorang cowok yang tidak aku kenal yang aku balas dengan senyum tipis. Ia adalah orang yang entah sudah ke berapa menegor sok kenal kepadaku. Aku melangkah terburu2. Semakin cepat sampai ke dalam kelas, semakin amanlah aku. Sebercak penyesalan muncul. Andai aku tidak menyanyi saat itu.
"Dooorrrrr!!!!" Teriak Dwina mengagetkan orang disekitarku. Nyatanya aku yang harusnya jadi korban malah tidak sedikitpun kaget.
"Songong nih anak. Gak tau apa berapa energi yang harus terkuras karena mau ngagetin lu? Lu malah biasa aja. Rese." Ucap Dwina sambil menjitakku.
"Huaaaaaaaaa." Aku menutup mukaku dengan kedua tangan indahku.
"Tiara. Lu gak apa apa kan? Aduh. Kan gua jitaknya gak keras. Jangan mainin gua deh." Ujar sahabatku itu panik.
"Naaa. Kan ini udah seminggu dari gua nyanyi waktu tuh, kenapa gua masih jadi pusat perhatian? Gua gak mauuuuu. Huaaaaa. Gua gak bisa diginiin. Huaaaaa"
"Ya Allah Ra. Gua kira lu geger otak karena jitakan gua. Udah. Cuek aja. Aura lu cukup kuat sih. Makanya efeknya jadi lama. Sabar. Mungkin besok2 orang2 jadi lupa." Ucapnya ragu2. Aku melepaskan tanganku yang tadi menutupi wajahku.
"Gua dimana? Lu siapa ya?" Pura2 amnesia.
"Tiara. Gak lucu. Tadi lu nangis gara2 orang2 jadi sok perhatian ma lu. Trus langsung amnesia. Lu gak bakat boong. Gua laper. Beliin gua mie ya. Itung2 hadiah traktiran lu menang band seminggu lalu." Aku malah melangkah ke tempat duduk paling depan di ruangan 2014 itu daripada melangkah ke kantin. Aku duduk dan memeluk mejaku untuk menunjukkan kepadanya kalau aku enggan keluar kelas.
"Lu udah janji traktir klo juara 1. Jangan bilang lu lupa? Oi. Janji itu utang. Utang gak dibayar itu dosa. Dosa masuk neraka." Lanjut Dwina karena melihatku masih tetap pada posisiku, duduk di kursi kampusku.
"Yelah. Tapi gendong." Ucapku sambil bertingkah seperti anak kecil yang membuat decakan kesal dari cewek berkacamata biru itu.
"Gak. Aduh magh gua kambuh." Akupun langsung berdiri dan berjalan keluar kelas.
"Gak osah akting. Nyok ke Pak Ucup. Gua males klo ke kantin." Dwina langsung berlari ke warung Pak Ucup mendahuluiku.
'Drrrtt. Drrtt' smartphoneku bergetar. 1 pesan masuk.
From : 11 Dewa
Kakak cantik. Besok kan sabtu. Nyemil sushi yuk. Kami kan belom bayar kakak.'Sialan nih anak satu. Belom bayar. Dikira wanita panggilan gitu.' Akupun mengetik balasan sms tadi.
To : 11 Dewa
Koq kk ngerasa jadi cewek panggilan ya? ( -_-)( -_-) Kakak ajak kak Dwina ya. Dan berhentilah menggoda kkDewa itu adek tingkat yang paling dekat dengannya. Penyebabnya karena rumah kami berdekatan dan akrab dengannya dari sd. Dia sengaja masuk jurusan yang sama denganku karena bisa minta ajarin. Berkat masuk kelas aksel saat SMA, aku menjadi kakak tingkatnya dan berkat dialah aku menjadi tidak dianggap kakak tingkat karena dengan wajah tak berdosanya ia memberitahu semua temannya tentang umurku yang sangat muda. Tetapi sekarang mereka mau tak mau harus menganggapku kakak tingkat mereka, atau nilai mereka akan jatuh. Walaupun aku masih sering digoda dengan mereka.
Smartphoneku bergetar kembali berbarengan rasa sakit yang muncul dari kepalaku. Rambutku sedang berada di genggaman tangan seseorang. Si biang onar. Salsableng.
"Jambak gua karena dicuekin Dirga lagi? Kasihan." Ucapku sambil berusaha melepaskan rambut hitamku yang indah itu. Namun tangannya semakin keras menjambak rambutku.
"Sayangnya lu salah. Cewek miskin kayak lu memang pantes diginiin. Gak mungkin banget Dirga cuekin gua. Jangan samain gua ma lu ya." Katanya membela diri. Aku masih berusaha melepaskan diri darinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/42313236-288-k387567.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sound from Her Eyes [on hold]
RomantikIa melihat pancaran yang berbeda dimatanya. Ia bernyanyi dengan gaya biasa tapi matanya berbicara lain. Dia beda. Dia seperti tidak tersentuh dan aku ingin menyentuhnya. Tapi aku takut. Aku takut akan masa laluku. Tapi aura wanita itu begitu kuat. W...