Part 8

32 1 0
                                    

"Masuk." Terdengar suara lelaki didalam ruangan berukuran 4x5 cm itu. Tiara pun membuka pintunya dan sudah ada lima orang yang menantinya. Terdengar suara tersedu2 dari seorang wanita. Tiara berjalan masuk dan berdiri di depan meja Pak Genta.

"Silahkan duduk." Ucap pak Zaki. Tiara duduk menghadapnya dan mengedarkan pandangannya. Tatapan Tiara terhenti pada mata orang yang di depannya. Mata pak Zaki.

"Kamu tahu kenapa kamu dipanggil disini?" Tanya Pak Zaki. Tiara menegakkan badannya.

"Melihat orang2 yang berada disini. Sepertinya saya dipanggil karena upaya pembelaan diri saya tadi pagi." Ucap Tiara tanpa gentar melihat tatapan tajam dari Pak Zaki.

"Benar sekali. Bisa kamu jelaskan kronologinya?" Tanya Pak Zaki masih menatap matanya.

"Apa bapak mempercayai ucapan saya jika saya menceritakan kronologinya? Saya tidak memiliki saksi dan bukti. Maaf pak. Tanpa mengurangi rasa sopan saya. Sebaiknya bapak katakan saja apa konsekuensi yang saya dapatkan." Ujar Tiara tegas seolah tidak merasa takut.

Kenyataannya Tiara sangat takut. Kejadian seperti ini bukan sekali dialami oleh Tiara. Ribut dengan Salsa membuat ia kenal karakter Pak Zaki. Tanpa saksi dan bukti, takkan ada istilah menang. Beberapa waktu lalu Tiara harus menjadi asisten Pak Genta karena dia tidak sengaja menjatuhkan minuman Salsa. Padahal itu murni ketidak sengajaan. Tetapi karena Salsa memiliki bukti dan saksi, Tiara harus mendapatkan hukumannya. Walaupun sering ribut dengan Salsa, tetapi Tiara tidak pernah melawan dengan fisik.

"Baik. Saya tahu kamu tidak mungkin melakukan hal buruk. Tapi kamu sudah kenal siapa saya kan? Kamu tidak ada bukti dan saksi." Pak Zaki menghentikan sejenak ucapannya dan mulai mengurangi intensitas tatapannya. "Karena perbuatan kamu sudah perbuatan kriminal. Beasiswa kamu kami cabut."

Tiara tidak kaget mendengarnya. Ia pasrah. Ia sudah menebak jika beasiswanya akan dicabut. Ia malah bersyukur tidak disuruh meninggalkan kampusnya.

"Tapi jika kamu memiliki bukti atau saksi, bawalah kemari. Kami bisa membatalkan hukumanmu." Lanjut Pak Zaki.

"Baik Pak." Ucap Tiara dengan lesu.

"Kamu masih bisa mengambil beasiswa lainnya Tiara." Ucap Pak Genta sambil tersenyum. Mencoba menyemangati.

"Dikira ngambil beasiswa mudah kali. Apa lagi udah dianggap melakukan tindakan kriminal. Cuma narik telinga disebut tindakan kriminal. Gimana kalau tadi gua sikut ulu hatinya. Bye bye deh dari kampus." Ujar Tiara dalam hati.

"Iya Pak. Saya izin permisi pak jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi. Ada kuliah yang harus saya hadiri setelah shalat dzuhur." Ucap Tiara menatap Pak Zaki.

"Tidak ada. Silahkan." Tiara berdiri dari tempat duduknya.

"Saya permisi pak." Tiara berjalan dan membuka pintu. "Assalammualaikum."

"Kuat. Tiara kuat. Tiara bisa. Bisa. Bisa." Tiara menyemangati dirinya sambil berjalan menuju jurusannya.

-_-_-_-_-_-_-_-_-_

[Tiara POV]

"Ra. Sini." Suara Dwina membuatku mempercepat langkah mendekatinya. Aku langsung duduk dan menyeruput jus mangga milik Dwina.

"Eleh. Kebiasaan ngambil punya orang. Kalo itu bukan punya gua gimana?" Ucap Dwina sambil menarik gelas jusnya.

"Ya gak masalah. Daripada dimakan setan. Enakan dimakan gua. Hahaha." Jawabku enteng. Aku melihat Nina menuju bangku kami. Ia langsung memelukku.

"Kakak. Maaf ya. Gara2 adek jadinya kakak digoda sama cowok2. Maaf ya." Ucapnya masih memelukku. Aku menepuk punggungnya dengan pelan.

"Gak apa apa koq nin. Kenapa baru sekarang minta maafnya? Kemaren2 waktu kakak didatengin orang karena mau foto bareng gara2 gantiin kamu di Pim koq gak minta maaf?" Nina pun melepas pelukannya dan mengeluarkan wajah bersalahnya.

"Kalo yang di Pim kan gak masalah kakak digodain. Gak da juga yang kenal kakak. Kalo disini kan, semua orang kenal ma kakak. Pasti kakak gak nyaman banget. Maaf ya kak."

"Iya nih. Kakak gak nyaman. Kata maaf aja gak buat kakak jadi nyaman." Aku melebarkan senyumku.

"Yak. Kode keras. Sushi. Sushi. Sushi. Sushi." Dwina berkata seperti bunyi mobil ambulan. Nina tersenyum dan mengeluarkan kantong plastik hitam dari dalam tasnya.

"Nih untuk kakak." Hidungku sudah bisa mencium kalau itu adalah sushi.

"Ini apaan dek?"

"Sok gak tau deh kakak. Padahal jarak sepuluh kilo meter aja udah tau isinya apa. Hahaha." Aku pun membuka bungkusan itu dan mengambil satu potong Tobiko Nigiri Sushi itu. "Enak gak kak? Dimaafin kan?"

"Enak dek. Iya. Dimaafin." Aku mengambil satu potong lagi dan melihat Nina. "Kemaren ada musibah apa emangnya dek?"

"Oh. Kemaren adek aku di operasi kak. Dia kena usus buntu."

"Aji di operasi? Dia sekarang gimana kondisinya? Sehat? Kamu sehat kan?" Tiba2 terdengar suara disebelahku. Aku langsung menoleh ke sumber suara, Alex. Ia dan genknya sudah duduk di samping kami.

"Sehat kak. Nina juga sehat. Makasih." Ucap Nina yang dibalas senyum manis dari Alex.

"Waktu lu gak tampil, Alex langsung galau loh Nin. Dia kira lu kenapa2." Ujar Restu. Aku langsung melihat sushiku saat mendengar suara cowok yang sedang menggunakan kemeja biru putihnya itu. Dan benar perkiraanku. Ia telah memegang sebuah sushiku.

"Bagus deh lu gak apa2. Trus makasih udah ngasih kesempatan cewek gua tuk nyanyi." Lanjutnya sambil menelan sushi yang di bawa Nina tadi. Aku langsung menutup bungkusan sushi itu dan menaruhnya di dalam tasku.

"Restu. Kita perlu bicara." Ucapku sambil berjalan menuju gedung akademik jurusanku.

"Gua duluan ya. Cewek gua lagi sensi. Doain gua selamet." Ujar Restu sambil berlari mengejarku.

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Aku membalikkan badanku lalu melihat sekelilingku. Memastikan bahwa kami hanya berdua saja disini.

"Mau bicara apa?" Ucap cowok didepanku sambil duduk di kursi panjang tempat biasa orang2 menunggu. Dia memukul2 kursi itu yang berarti 'cepet duduk disini'. Aku masih berdiri dengan tanganku dilipat didepan dada.

"Mau lu apa sebenernya? Gua bukan pacar lu." Aku menatap tajam Restu. Orang ditatap malah melihat iphonenya.

"Kemaren gua mau bilang kalo lu resmi jadi cewek gua. Eh lu malah lebih milih gorengan dibandingin gua." Dia menjawab walaupun matanya masih melihat iphonenya.

"Lu gak lagi mabok hah? Sejak kapan gua mau jadi pacar lu? Resmi? Apa2an ucapan lu itu?" Tanyaku masih syok dengan kata2nya.

"Beasiswa lu dicabut kan? Nih gua bantuin lu biar lu dapet beasiswa lagi." Ia melempar iphonenya. Untung aku gesit. Kalau tidak iphone itu sudah menyentuh bumi dengan indahnya. "Dengan syarat, lu jadi pacar gua."

Aku melihat sebuah video didalam iphonenya. Video kejadian tadi pagi. Aku menatap Restu.

"Gimana? Deal?" Tanya Restu sambil mengeluarkan smirknya. Emosiku tersulut.

"Lu cowok yang paling hina dari yang gua kenal. Lu sempet ngerekam tapi gak sempet nolongin gua. Dan." Aku mengatur napasku. "Dan lu dengan alesan dicabutnya beasiswa gua biar gua bisa jadi pacar lu. Pergi aja lu ke neraka."

Aku melempar iphone Restu ke tubuhnya dan pergi menjauh darinya. Aku benar2 kesal. Dia bisa menolongku tadi, tetapi dia hanya melihat. Sekarang dia mengancam. Ok. Kata mengancam memang terlalu berlebihan. Tapi mengajakku pacaran itu sama saja dengan mengancamku. Aku menghentikan langkahku. Aku membuka tasku dan mengambil sepotong sushi dari dalam kantong plastik di dalam tasku. Aku mengeluarkan smartphone dan memainkan jariku dilayar 6 inci itu.

To : Dwina ulalala
Na. Gua izin matkul pak Robert. Tiba2 kepala gua pusing. Cabut duluan. Tolong absenin ya.

Aku menuju parkiran. Mengambil motor pinkku dan melajukannya ke sebuah mall favoritku. Aku butuh ketenangan.

Sound from Her Eyes [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang