1. Pembunuhan Pertama

22 4 0
                                    

Ruangan dengan jumlah penghuni mencapai 32 orang di dalamnya sedang ribut-ributnya karena tidak ada guru yang masuk mengajar pada jam pelajaran ketiga hari ini. Mereka tambah senang lagi karena ulangan matematika yang harusnya dilakukan saat ini dibatalkan karena para guru mengadakan rapat.

Namun, tidak dengan satu siswa yang duduk di tengah sendiri. Jumlah mereka memang genap, namun tak ada seorangpun yang ingin duduk bersebelahan dengannya.

Dia adalah Fadil, si anak ambis dari kelas 11 IPA 2 yang selalu menempati peringkat 1 di kelas sejak kelas 10.

Disaat teman-temannya sibuk bermain ataupun berbincang satu sama lain dengan sangat asik, raut wajah siswa itu justru menunjukkan sebaliknya. Fadil menatap satu persatu teman-temannya yang tampak begitu senang karena tidak belajar.

Kedua tangan yang masih setia dengan posisi seperti menulis perlahan mulai mengepal, Fadil merasa sangat kecewa dengan teman-temannya, bagaimana mereka bisa senang saat tidak ada guru yang masuk? Itu artinya mereka tidak mendapat pelajaran yang seharusnya mereka dapatkan bukan?

Lalu mengapa rapat tersebut harus terjadi saat ini? Bagaimana dengan usaha Fadil mempelajari semua rumus-rumus yang kemungkinan digunakan diulangan kali ini?

DUG

Seseorang menendang meja Fadil membuat pulpen di tangan kanannya terlepas begitu saja. Bersamaan dengan itu, semua suara yang tadinya dari berbagai sumber kini lenyap seketika. Mereka seolah-olah melakukan mannequin challenge yang pernah viral dulunya.

Fadil menatap orang yang baru saja menendang mejanya. Raut kesal jelas terlihat di wajahnya.

Cakra, laki-laki yang baru saja menendang meja Fadil mendekatkan wajahnya kepada laki-laki itu. "Kenapa? Marah?" pertanyaan Cakra yang tidak membutuhkan jawaban lisan dari Fadil.

"Santai aja, nggak ada yang bakal ambil posisi nomor satu lo itu." Kata Cakra kembali menegakkan posisi tubuhnya.

Fadil tak ambil pusing dengan membalas ucapan laki-laki di sampingnya, ia mengambil pulpen yang sebelumnya jatuh dan kembali menulis catatan-catatan kecil.

"Kacangnya Pak! Hahaha." Seru Rey disambung tawa seisi kelas melihat Cakra tidak dipedulikan oleh Fadil. Hal biasa yang terjadi di kelas mereka.

"Woi, Ra. Sini gabung, sekalipun mulut lo berbusa dia nggak akan peduli sama lo." Ucap Adnan mengangkat tangan kanannya dengan jari-jari yang memegang beberapa kartu remi.

Cakra menatap Fadil yang sama sekali tidak memedulikan keberadaannya, laki-laki itu menendang kursi membuat benda mati itu bergeser beberapa senti meskipun Fadil mendudukinya.

Cakra kemudian bergabung dengan 4 temannya yang sedang bermain kartu remi. Mereka duduk melingkar dari samping kanan Cakra ada Adnan, kemudian Rey, Naufal dan Candra____saudara kembar Cakra.

"Tumben lo langsung ke sini, biasanya nyaman aja tuh sama si Fadil." Goda Naufal yang membuat beberapa telinga yang mendengarnya mungkin berpikiran kalau Cakra itu hvmv.

"Harus banget kata-katanya kayak gitu?" balas Cakra sembari membantu kembarannya memilih kartu mana yang harus diturunkan.

"Guys, kalian tau nggak guru-guru rapat soal apa?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba bergabung dengan kelimanya. Menatap satu persatu pria yang sama sekali tidak tertarik dengan rapat para guru hari ini.

Gadis itu tampak kesal karena tak ada seorang pun yang menanggapinya, "Gue lagi ngomong, kalian denger nggak, sih?" kesalnya.

"Gue nggak tertarik, lo tanya yang lain aja." Candra terburu-buru bangkit dari duduknya dan menyerahkan kartunya kepada Cakra karena ia harus menuntaskan panggilan alam yang tiba-tiba saja datang.

"Hello? Excuse me? Is anyone here?" tanya gadis itu karena tak kunjung ada yang merespons.

Laura, gadis berambut hampir mencapai pinggang sedikit bergelombang dengan bando berwarna pink yang selalu menghiasi kepalanya meskipun sering dilarang oleh para guru itu benar-benar kesal saat ini. Matanya menatap tetap ke satu orang tanpa beralih ke mana pun.

Merasa seseorang menatapnya dengan serius, Rey dengan hati-hati mengangkat kepalanya dan menatap mata coklat Laura yang tampak berapi-api. Rey menampilkan deretan giginya sembari melepaskan kartu-kartu yang ada di tangannya.

Laura semakin menajamkan penglihatannya membuat Rey dengan susah payah menelan salivanya sendiri.

"Jangan harap aku bakal interaksi sama kamu sampai besok pagi." Ancam Laura kemudian meninggalkan meja tersebut, keluar dari kelas diikuti oleh Rey yang berusaha membujuk agar kekasihnya itu tidak marah berlama-lama kepadanya.

"Laura, masa sampai besok pagi sih? Lama tau."

Gadis itu tidak menjawab dan terus melangkah entah ke mana, interaksinya dengan Rey akan ia putuskan sampai besok pagi.

"Laura, kamu kau ke mana? Kalau ada guru yang masuk gimana?" Rey masih mencoba membujuk.

Laura mempercepat langkahnya menuruni tangga ke lantai dasar menuju kantin yang harus melewati lapangan bola basket, ia sendiri juga bingung mengapa harus kantin dari semua tempat yang ada di sekolah.

"Laura aku minta maaf, tadi lagi main sama yang lain. Jangan marah dong," bujuk Rey.

"Laura ... "

BRUK

Seseorang tiba-tiba terjatuh di hadapan Laura membuatnya menjatuhkan diri ke lantai lapangan bola basket dengan jantung berdegup kencang, langkah Rey berhenti membuatnya menjadi patung sejenak.

Laki-laki itu disadarkan oleh teriakan ketakutan Laura, dengan cepat Rey merangkul tubuh kekasihnya dan menutup mata gadis itu agar tidak melihat lebih lama kondisi orang di depan mereka.

Rey menatap ke arah atap, seseorang baru saja pergi dari sana membuatnya berpikir kalau dialah yang mungkin mendorong tubuh siswa di depan mereka itu.

Find the KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang