II

825 65 8
                                    

Gito melamun di kantor, teringat tawa istrinya tadi pagi. Sudah lama sekali rasanya Gito tidak melihat Shani tertawa lepas seperti itu.

Pikiran Gito melayang ke saat pertama kali bertemu Shani dulu.

Saat itu Gito tengah bercanda dengan temannya dan tidak sengaja menabrak seorang mahasiswi hingga buku-bukunya jatuh berserakan.

"Aduh, maaf! Saya tidak sengaja menabrak kamu tadi," ucap Gito sambil membantu memunguti buku.

Tanpa sengaja Gito melihat id card mahasiswi itu. 'Shani Indira Natio' batinnya.

"Terima kasih," kata Shani saat mengambil id card dari tangan Gito.

Gito mendongak menatap Shani. "Maaf ya, tadi saya benar-benar tidak sengaja," sesalnya.

"Iya, tidak apa-apa. Tadi saya juga jalannya kurang fokus," sahut Shani maklum.

Gito mengulurkan tangannya, "Gito," ucapnya memperkenalkan diri.

Shani awalnya diam, lalu Gito menambahkan, "Gito Sarfaraz Jayanegara."

Mendengar itu, Shani langsung menjabat tangan Gito. "Shani," balasnya.

Gito tersenyum saat Shani pamit pergi karena ada kelas.

'Natio? Bukankah itu perusahaan mitra Ayah?' batin Gito.

Setelah Shani pergi, Gito segera menghubungi Ayahnya.

"Ayah, perusahaan Natio Natio itu masih kerjasama dengan perusahaan Ayah kan?" tanya Gito antusias.

"________________"

"Jodohkan Gito dengan putri Natio"

"Apa? Kamu mabuk ya? Pagi-pagi sudah aneh. Pulang kuliah langsung ke kantor Ayah!" sahut Ayahnya kesal.

Gito mendengus mendengar tanggapan Ayahnya. Ia memutuskan pergi ke kantor Ayahnya setelah kelasnya selesai.

Sepanjang perjalanan, Gito terus menggumamkan nama Shani. Sang sopir yang melihatnya tersenyum, menyadari tuannya sedang jatuh cinta.

"Kenapa senyum-senyum sendiri, Den?" tanya sopir itu.

Gito tertawa, "Saya mau nikah, Pak. Dateng ya nanti ke pernikahan saya,"

Sesampainya di kantor, Gito langsung menemui sekretaris Ayahnya.

"Neng, sibuk terus nih. Ke pasar malam yuk, abang traktir batagor," goda Gito sambil mengedip jahil.

Sang sekretaris sudah maklum dengan tingkah Gito. "Mending langsung ke ruang Bos aja deh, Git. Sudah ditunggu tuh,"

Gito mengetuk pintu ruang kerja Ayahnya dan dipersilakan masuk. Dengan antusias ia menghampiri Ayahnya yang tengah bicara dengan seseorang.

Ayahnya melihat Gito berdiri di ambang pintu lalu mempersilakannya duduk di sampingnya.

"Kenapa tiba-tiba manggil ke sini? Kan bisa ngobrol via telepon? Malah dibilang mabuk segala," gerutu Gito kesal pada Ayahnya.

"Ini anakmu, Herman?" tanya pria paruh baya di hadapan mereka.

Ayah Gito menghela napas. "Ya, ini anak sulung saya," jawabnya sambil menepuk bahu Gito.

"Saya memanggilnya ke sini juga ada hubungannya dengan Bapak, Pak Dharma," sambung Ayah Gito.

Pak Dharma tampak bingung. "Maksudnya? Apa sekarang kamu mau serahkan perusahaanmu pada anakmu?"

Ayah Gito menjelaskan, "Tadi sebelum Bapak datang, Gito menelepon minta dijodohkan. Saya kira dia ngigau karena mabuk, makanya saya panggil ke sini untuk memastikan."

EUREKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang