Part 5

10 0 0
                                    

POV. Author
-
-
-

Sore itu cuaca sedang tak bersahabat. Tiupan angin kencang terus menerjang gorden jendela kamar Alma. Deras hujan seakan membuat genteng rumahnya diserang batu krikil.

Sementara itu, di ujung sudut kamar, nampak perempuan kepala dua sedang nyenyak tertidur berselimut kain tebal.

"Alma, kamu masih tidur? Papa kenapa belum pulang juga, ya?" Selorohnya, sembari mengecek ke arah luar.

"Hoaammmh.." Alma menggeliat

"Lho? Hujan ya, Mah?" Ucapnya terperanjat dari tempat tidurnya.

"Duh. Kamu kalo tidur udah kaya orang mati, Al. Segini hujan deras, kok, ya, gak denger, sih?" Jawab Mama Alma masih panik, karena suaminya belum juga pulang. Karena biasanya pulang untuk makan siang.

"Kenapa sih, Mah? Kok, keliatan gelisah banget?" Ucap Alma mendekati Mamanya.

"Ini lho, Al. Papa kamu belum pulang. Papa kamu udah makan belum ya?" Tanyanya khawatir

"Mungkin karena hujan aja, Mah. Papa gak pulang. Toh, biasanya juga pulang kan? Ya mungkin neduh sama temen-temennya kali, Mah. Positif aja, ya. Mah. Semoga Papa baik-baik aja." Paparnya dengan memeluk Mamanya, menenangkan.

Benar saja. Ketika hujan mulai reda, semar terdengar suara motor Ayahnya. Bergegas Alma melihat ke arah luar

"Alhamdulillah. Itu Papa pulang, Mah." Ucapnya menyibak gorden jendela

"Eh. Tapi Papa sama siapa, ya? Tumben sekali bawa penumpangnya sampe ke rumah. " Imbuhnya dengan rasa penasaran

Mama mendekati Alma yang tak kunjung duduk kembali.
"Ada apa, Al?" Ujar Mamanya

"Itu, Papa kaya sama seseorang. Tapi siapa, ya, Mah?" Jawabnya dengan penuh penasaran

Tuk.. Tuk..
(Suara pintu diketuk)
"Assalamualaikum." Teriak sang Ayah lebih nyaring dari biasanya

Ceklek..
(Suara pintu dibuka)
"Wa'alaikumussalam." Jawa kedua wanita di hadapannya.

"Lho!! Arash?!" Alma tertegun melihat sosok lelaki berdiri di belakang Ayahnya

"Hai, Al?" Sapanya dengan ramah pada wanita di depannya.

Arash terlihat pucat, menahan dinginnya air hujan.

"Ya allah. Pada basah. Ayo, ayo masuk!" Ajak Mama Alma lalu menaruh jas hujan yang telah basah dipakai suaminya.

Arash yang mengikuti orang tua Alma masuk ke dalam rumah masih menahan diri untuk tetap tenang. Karena Arash sebenarnya merasakan gugup sekaligus canggung. Karena pertama kali bertemu setelah dua tahun berpisah.

Alma masih menyimpan kebingungannya seorang diri.
"Kenapa Papa bisa pulang sama Arash?" Gumamnya, terlihat jidatnya mengernyit.

"Alma!" Teriak sang Ayah

"I-iyah, Pah." Timpalnya bergegas menemui Ayahnya.

"Buatkan kopi untuk Nak, Arash." Pinta sang Ayah sembari melempar senyum penuh makna

"Oh. Gak usah Pak, teh Manis hangat saja, Arash sudah berhenti minum kopi." Jawabnya santun.

"Wahh.. Benarkah?" Tanyanya

Aras hanya mengangguk pelan

"Bapak juga mau berhenti. Tapi susah, Nak." Kilahnya.

"Bukan susah, Pak. Belum aja. Kalo bapak mau, pasti bisa." Tuturnya sembari menepuk pelan paha lelaki di hadapannya.

Tawa itu memecah hening dalam ruang tamu, gemercik hujan masih terpantau sangat baik. Langit sedikit cerah dengan tiupan angin yang berkurang.

"Solat maghrib di rumah, ya. Bapak pingin liat kamu jadi imam." Celetuk Ayah Alma

Alma terkejut mendengar ucapan Ayahnya.
"Pah?! Papa ini kenapa, sih? Jangan memaksa Arash. Kasih aja Arash pilihan. Dia mau solat di rumah atau di mesjid. Mau jadi imam atau enggak." Sahut Alma sembari membawa kopi dan teh hangat.

Arash pun tersenyum
"Gak apa-apa, Al. Aku mau kok." Jawabannya percaya diri.

Setelah solat maghrib, dilanjutkan dengan beberapa obrolan yang berlangsung sangat menarik. Lalu Arash memutuskan untuk pamit pulang. Hujan di luar juga nampaknya sudah reda.

Alma mendekat ke arah Ayahnya yang baru saja duduk setelah mengantar Arash ke depan rumah.

"Pah. Kenapa Papa bisa sama Arash?" Selidiknya.

"Ketemu aja di jalan. Yaudah. Kita ngobrol dan Papa ajak Arash mampir dulu ke rumah." Jawabnya santai

"Boong, ih, Papa! Apa jangan-jangan, yang dimaksud Papa kemarin itu Arash?" Tanyanya, curiga.

"Ya. Bisa jadi." Celuknya.

"Pah. Papa tau gak? Arash itu orang kaya. Gak pantes kalo harus sama Alma." Cerutunya

"Hah?! Beneran? Papa liat Arash anak yang sederhana. Justru Papa liat Arash anak yang pekerja keras. Bukan anak leye-leye mengandalkan harta orang tuanya." Paparnya

"Jangan bilang, kalo Papa mau jodohin aku sama Arash?" Ujarnya

"Kalo Papa, sih, emang suka liat Arash. orangnya baik, sopan, ganteng dan sepertinya bertanggungjawab jika kelak jadi menantu Papa." Jawabnya sambil menggoda putrinya.

"Duh. Paah.!" Lirihnya
Alma berlalu meninggalkan Ayahnya.

"Alma kenapa, Pah?" Tanya istrinya yang baru saja berpapasan dengan anak gadisnya.

"Papa bilang, kalo nak Arash itu baik, sopan, ganteng. Cocok buat jadi mantu. Dia malah masuk kamar." Jawabnya sambil mengangkat secangkir kopi yang nyaris dingin.

Istrinya pun duduk di sebelahnya, menghela napas
"Udah lah, Pah. Kalo Alma gak mau. Jangan dipaksa." Selorohnya

"Alma belum bilang mau atau gak mau. Dia cuma bilang. Gak cocok, gak pantes. Krna Arash anak orang punya. Gitu, Mah." Jelasnya.

"Arash anak orang kaya?" Tanyanya sedikit ragu

"Kenapa waktu kita video call sama Arash, dia terlihat sedang beristirahat krna lelah bekerja?" Ucapnya masih bingung

"Dan terlihat dari pakaian yang dia pakai nampak seperti kita kan, Pah? Biasa aja gitu." Imbuhnya lagi.

"Papa juga berpikir seperti itu, Mah. Tapi, Alma kan emang lebih tau dari kita. Masa iya, Alma bohongin kita?" Gusarnya.

Karena Arash rutin menghubungi Ayah Alma, sudah akrab seperti anak sendiri. Namun hubungan itu hanya lewat seluler. Baru bertemu dan bertatap muka setelah dua tahun pasca anaknya diwisuda.

Mampukah meluluhkan hati Alma agar mau menerima Arash?

Bersambung____

Dimana Letak Salah Itu? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang