Merayakan Patah Hati dan Kebebasannya

383 66 33
                                    

Malam ini Jaka ditemani sepi, seperti hari-hari yang biasanya lelaki itu tetap sibuk dengan ponsel dan buku-bukunya namun yang membedakannya yaitu tak ada telepon dengan nada dering berbeda yang menandakan panggilan dari sang kekasih, waktu terus berlalu namun tak ada kabar dari perempuannya. Jaka bingung, ia menutup bukunya lalu menelungkupkan kepalanya diatas meja, memandang kearah dinding abu-abu polos yang tertempel catatan-catatan lucu dari sang kekasih sebelum mereka menjalin hubungan jarak jauh.

Ia takut kejadian-kejadian sebelumnya terjadi lagi dan apabila terjadi lagi maka Jaka tak tahu harus bagaimana. Ia terus melamun hingga tak sadar ponselnya berbunyi, menunjukkan panggilan dari sang kekasih — Nadh💓 nama yang ditunggu-tunggu untuk muncul dilayar pilihnya itu akhirnya muncul. Ia mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, Nad? Kamu kenapa nggak bales pesanku, kamu juga nggak angkat telpon aku. Kamu baik-baik aja kan? Lagi ngg—"

"Aku mau ngomong serius sama kamu." Jantungnya berdetak kencang, ia takut. Ia takut mimpi buruknya terjadi.

"Kamu mau ngomong apa?"

Nadhira, tolong jangan sakiti aku lagi. Itu adalah harapan terakhir dari Jaka.

"Aku selingkuh." Dan seperti mimpi-mimpi kemarin, kali ini Jaka semakin merasa tertampar. Ia kembali mengingat hal-hal yang ingin ia lupakan.

Jaka dan Nadhira berada disana, di pojok ruangan itu dengan keadaan saling menunduk. Jaka yang menunduk menangis sedangkan Nadhira yang menunduk merasa bersalah. Sang lelaki menggenggam tangan Nadhira, meminta sang kekasih untuk tetap disana.

"Nad, plis balik lagi sama aku." Omong kosong, Nadhira masih keras disana. "Kita perbaiki ini, nggak apa-apa."

"Jaka, aku lakuin dengan sadar. Jangan gini, kamu tahu itu." Nadhira menatap Jaka dengan tatapan tak bersahabat, ia merasa harus menekan rasa iba didalam dirinya.

"Aku sayang sama kamu." Ucap Jaka menangis.

"Tapi aku enggak." Jawaban sialan yang menjadi penutup hubungan mereka itu membuat Jaka tak bisa tidur semalam suntuk, ia hanya menangis dan menangis sedangkan Nadhira pergi begitu saja.

Namun Jaka tetaplah Jaka, dua bulan berlalu dan Nadhira kembali lagi untuk meminta peluk — tentu ia berikan. Mereka kembali merajut kasih hingga berjalan dua tahun namun Nadhira juga tetaplah Nadhira. Perjanjian mereka yang konyol membuat Jaka tersiksa.

"Gimana kalo aku kembali kayak dulu? Gimana kalo aku jahat lagi?"  Kata Nadhira yang sedang menyandarkan kepalanya pada Jaka.

"Nggak apa-apa, aku ngerti." Katanya dengan senyum teduh, "jangan gitu." sambung sang gadis. Ia mengulurkan jari kelingkingnya.

"Janji ya kalo itu keulang lagi jangan nunggu aku balik, jangan bilang nggak apa-apa, akhiri aja dan cari yang lain." Kata Nadhira, mau tak mau Jaka menuruti itu.

"Kenapa kamu ngomong gini? Kamu bisa berubah dan aku bakalan bantu."

"Aku hanya mau mastiin aja kalo aku beneran bakalan berubah atau ternyata aku malah makin brengsek, jadi Jaka.. jangan maafin aku kalo itu terjadi lagi."

Jaka menunduk, ia masih mendengarkan suara nafas dari seberang sana.

"Kenapa?"

"Karena aku udah nggak bisa bohong lagi, perasaan aku udah nggak ada buat kamu. Aku bosan." Tepat sasaran, tembus ke ulu hati rasanya.

"Oke, kita putus." Dan panggilan dimatikan begitu saja oleh Jaka, ia menggenggam ponselnya dengan setengah kuat setengah hancur. Ia bangkit dari duduknya, memakai jaket dan mengambil kunci motornya. Keluar dari kamar kosannya dan menaiki motor, begitu saja.

Voor DjakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang