Telak

219 31 33
                                    

Hari kemarin begitu berat, Jaka bahkan hanya keluar untuk makan dan duduk merokok walau dipenuhi dengan lamunan. Hari ini Jaka berniat ke rumah Nathan, ingin menghampiri lelaki itu. Dengan rapi ia bergegas kesana, memilih untuk membawa motornya dengan keadaan tenang, Jaka tak ingin terus membuat dirinya berada di posisi menyedihkan. Di depan rumah Nathan, Jaka tak melihat motor kekasihnya tapi dia tak masalah, ingin memeriksa saja. Dirinya turun dari motor, mengetuk pintu lalu berdiri dalam diam sembari menanti pintu dibuka.

Lima menit dalam diam, pintu dibuka. Jaka dapat melihat kak Mesha disana, pakaiannya rapi namun raut wajahnya tak menunjukkan kesenangan melainkan kegusaran.

"Nathan belum pulang.." kata kak Mesha seakan tahu maksud dan tujuan pemuda tampan itu ada di depannya sekarang. "Dari kemarin udah coba dibujuk sama Hamza tapi anaknya nggak mau pulang."

Jaka terdiam, memasukkan tangannya kedalam jaket dan memamerkan senyum palsunya. Apalah Nathan benar-benar akan menjauh dari dirinya?

"Kalo misalnya dia udah pulang, tolong kabarin ke aku ya kak." Kata Jaka, kak Mesha menganggukkan kepalanya. Tak tega hati pada kekasih adiknya ini, "kamu mau masuk dulu nggak? Ada yang mau aku omongin."

Yang di ajak mengangguk, pasti ini tentang Nathan. Dia ingin tahu sesuatu dari kekasihnya yang tak ia ketahui. Jaka masuk dan duduk di sofa, rasanya aneh sekali — tempat itu memberi kesan baik dan buruk secara bersamaan untuknya. Kak Mesha sendiri sedang berada di dapur, menyediakan minuman untuknya walau lelaki itu sudah mencoba untuk menolak.

Dari belakang, kakak perempuan Nathan tersebut berjalan membawa nampan yang berisi satu gelas minuman dan beberapa cemilan dalam satu piring.

"Ini cemilan yang kemarin di bawa mama, beliau pengen kasih ke Nathan tapi ternyata nggak sesuai harapan. Aku yakin kalopun Nathan terima, dia bakalan bagi ini ke kamu." Katanya sembari mendudukkan dirinya di sebelah Jaka.

"Maaf ya karena perlakuan papa yang kemarin, harus buat kamu uring-uringan kayak gini." Tak ada jawaban dari Jaka. "Hubungan papa dan Nathan yang kayak kamu lihat kemarin udah terjadi dari dia SMA, sewaktu dia coba berani untuk jujur ke orang tua kami. Tapi ya seperti yang kamu lihat, jawabannya adalah penolakan." Jaka memandang gelas berwarna putih itu dengan pandangan kosong.

"Nathan udah coba ambil hati papa dengan banyak cara tapi dia tetap di tolak. Coba untuk seperti yang papa mau, jalan dengan banyak perempuan tapi sama aja, dia nggak bisa bohong soal jati dirinya." Kak Mesha menghela nafas, "awal tahu dia berbeda, aku kaget bahkan sulit untuk terima tapi dia adik aku. Apapun itu tetap Nathan yang sama, hanya karena cela yang nggak dia mau bukan berarti dia bukan Nathan nya Mesha." Ada yang mencelos, Jaka menyadari bahwa kasih sayang sang kakak pada Nathan benar-benar tak main-main.

"Kalo papanya kak Mesha nggak terima, gimana dengan mamanya?" Kak Mesha terdiam, memandang kearahnya.

"Sulit, tapi mama mencoba memahami. Nathan nggak sakit tapi papa bilang dia sakit, Nathan nggak gila tapi papa bilang dia gila. Nathan baik-baik aja tapi dia seperti penyakit bagi papa. Aku harus apa? Dia nggak minta jadi kayak gini.." suara tangis dari kak Mesha terdengar, Jaka mencoba menenangkan.

"Dia ketemu sama Saras saat jalan sama banyak cewek, berakhir dengan Saras dan milih untuk tinggal sama aku setelah kuliah. Selama dengan Saras, aku lihat Nathan hidup lagi tapi setelah Saras milih buat nyerah. Nathan jadi muram kembali." Jaka tertunduk. "Dan dia ketemu kamu." Jaka mengangkat kepalanya saat ia merasa sentuhan lembut pada pundaknya, "dia ketemu kamu dan selalu tertawa. Dia berhenti jadi anak nakal, dia berhenti untuk nongkrong nggak jelas dan minum alkohol, berkelahi atau apapun itu. Entah karena alasan putus sama Saras atau bukan tapi yang aku tahu dia pernah bilang nggak mau kayak gitu lagi karena kamu punya masa lalu yang gelap dengan hal-hal seperti itu, dengan geng dan tawuran."

Voor DjakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang