chapter 9 : Sisi menyedihkan

233 44 5
                                    

Dengan secangkir teh hijau di tangannya, sohyun duduk di sofa di teras belakang rumah. Melihat gelapnya langit malam yang ditaburi bintang-bintang dan satu bulan yang bersinar terang. Ketika itu, handphonenya berdering. Ia meraih benda itu setelah meletakkan teh hijaunya di atas meja.

Kedua alisnya terangkat melihat nama yang terpampang di layar handphonenya. Lalu, ia pun menerima panggilan telfon dari ayahnya itu.

"Ya, ayah?"

"Bagaimana kabarmu, sayang?"

Sembari menundukkan kepalanya sohyun menjawab, "Aku baik. Bagaimana dengan ayah? Apakah ayah baik-baik saja?"

"Ayah juga baik." Suara ayahnya di sebrang sana terdengar lembut, "Maaf ayah baru menghubungimu sekarang, ayah sibuk mengurus pekerjaan dan juga mengurus perceraian dengan ibumu."

Sohyun memejamkan matanya mendengar tiga kata terakhir ayahnya, "Jadi, kalian benar-benar akan bercerai ya..." Suaranya memelan.

"Ini yang terbaik untuk kami. Maafkan kami, sayang." Suara ayahnya pun memelan, seakan merasa bersalah kepada Sohyun.

"Jika itu memang yang terbaik untuk kalian, aku tidak apa-apa." Sejak awal pun, sohyun selalu berkata tidak apa-apa meskipun hatinya selalu berdenyut sakit atas semua hal yang terjadi pada orang tuanya. Pertengkaran tidak berujung, dan sekarang pada akhirnya terjadi perceraian.

"Ayah juga minta maaf, karena tidak bisa menjadi seorang ayah seperti yang kau harapkan. Ayah banyak membuatmu kecewa dan kesepian. Ayah tidak menjalani peran ayah dengan benar. Ayah sungguh minta maaf."

"Tidak apa-apa, ayah."

Ya, tidak apa-apa. selalu tidak apa-apa.

"Apakah ibumu ada menghubungimu?"

"Tidak." Setitik air mata keluar membasahi pipinya yang chubby, sepasang matanya pun sudah memerah. "Ayah yang pertama menghubungiku sejak aku pergi dari rumah."

"Jika tidak bisa menjadi seorang istri yang baik, setidaknya ibumu harus menjadi seorang ibu yang baik." Nada suara ayahnya terdengar kesal, "Setelah ayah dan ibumu benar-benar sudah berpisah, ayah harap kau mau tinggal bersama ayah."

"Aku akan memikirkannya." Pelan sohyun.

"Baiklah, ayah akan menjemputmu setelah semuanya selesai. Baik-baik kau di sana, dan jangan terlalu memikirkan kami. Buatlah dirimu bahagia."

Bagaimana ia bisa bahagia disaat keadaannya seperti ini? Darimana kebahagiaan akan muncul di saat perasaannya sedang tidak baik seperti ini? Ia sendirian. Air mata sohyun kembali keluar, ia berusaha untuk tidak terisak, berusaha agar suaranya tidak bergetar.

"Ayah tutup dulu telfonnya."

"Iya..."

Sohyun meletakkan handphone ke sampingnya setelah panggilan telfon itu terputus. Kepalanya menunduk, kedua tangannya bergerak menutup wajahnya yang berderai air mata. Di tengah kesunyian malam, dia menangis, mengeluarkan perasaan sakit dan sesak yang sejak dulu terbenam di dalam hatinya.

Perasaan sakit dan sesak yang selalu ia sembunyikan rapat-rapat sehingga tak ada orang lain yang mengetahui bagaimana perasaan hati terdalamnya. Perasaan yang sembunyikan di balik tingkahnya yang riang dan menyebalkan.

Perasaan yang ia harap bisa ia hilangkan dengan melakukan berbagai hal; clubbing, mabuk, dan pergi melakukan kesenangan bersama teman-temannya. Hal yang hanya bertahan sesaat, karena perasaan sakit dan sesak itu selalu kembali menghampirinya setiap ia melihat bagaimana hangatnya keluarga orang lain.

Sohyun tahu, setiap keluarga yang terlihat harmonis dan bahagia pasti memiliki sebuah permasalahan setidaknya satu kali. Tetapi untuk masalah keluarganya, kenapa tidak pernah ada momen dimana ia bersama orang tuanya tertawa bersama? Sejak kecil, benar-benar sejak kecil, sohyun tidak pernah merasakannya bagaimana ia bermain bersama orang tuanya.

Hanya bersama pengasuh saja masa kecil sohyun dihabiskan. Orang tuanya terlalu sibuk untuk bertengkar dan sama-sama bekerja. Ibunya adalah pengacara terhormat di firma hukum besar, dan ayahnya adalah pengusaha resort. Keduanya sama-sama memiliki kesibukan yang padat.

Sohyun adalah anak yang pintar, sejak kecil di sekolahnya ia selalu menjadi yang terpintar dan nomor satu dalam segala hal. Bahkan dia sudah mulai berkuliah di usianya yang masih tujuh belas tahun. Kepintaran yang sama sekali tidak menarik perhatian orang tuanya.

"Ah, sungguh cengeng." Monolog sohyun sambil mengusap air mata di wajahnya, berusaha untuk tidak mengeluarkan lebih banyak air matanya.

Tidak menyadari, di belakangnya, di ambang pintu, Taehyung berdiri diam sejak tadi memperhatikannya. Tatapan pria itu tampak sendu, menaruh iba. Taehyung baru kembali setelah dari rumah ayahnya yang menyuruhnya datang disaat ia sedang bersama teman-temannya.

Ayahnya akhirnya menjelaskan kepadanya, apa alasan sohyun tinggal di rumahnya. Penjelasan yang membuat Taehyung sempat tidak mempercayainya, sampai ia melihat sohyun menangis seperti ini untuk pertama kalinya.

Sohyun adalah gadis yang baru memasuki dunia dewasa, dia masihlah gadis kecil yang akan menangis apalagi karena masalah keluarga. Ayahnya berkata, sohyun melalui masa kecil dan remajanya dengan sulit karena hubungan orang tuanya yang semakin buruk. Sohyun kurang perhatian dari orang tuanya, hal yang membuatnya mencari perhatian dan kesenangan dari dunia luar. Namun meskipun begitu, Sohyun mengetahui batasannya.

Sohyun tidak suka dan tidak ingin kelemahan dan sisi menyedihkannya dilihat oleh orang lain, itulah mengapa tidak ada orang yang pernah melihatnya menangis. Orang mengenalnya sebagai gadis riang, gadis nakal, dan gadis menyebalkan. Tidak ada yang mengenalnya sebagai gadis menyedihkan yang haus perhatian dan kasih sayang keluarga.

Dan sekarang, orang tuanya akan bercerai. Benar-benar akan berpisah.

Itu yang ayahnya katakan kepadanya. Ayahnya juga mengatakan, sohyun akan dijemput bulan depan. Sejak sohyun tinggal di rumahnya sekitar lima bulan yang laku, sejak itulah orang tua Sohyun mengurus perceraian. Dan jika memungkinkan, sohyun akan hadir di persidangan akhir perceraian orangtuanya, yaitu bulan depan.

Sohyun berdiri dari duduknya, ketika dia melangkah hendak masuk ke rumah, dia terkejut melihat keberadaan Taehyung yang entah sejak kapan berada di ambang pintu.

"Aku baru sampai, sedang apa kau diluar seperti ini?" Tanya Taehyung sambil melangkah mendekati Sohyun yang kedua matanya tampak sembab, "Apakah kau sakit? Wajahmu tampak kusut." Lanjutnya, teringat ucapan ayahnya yang mengatakan bahwa sohyun tidak suka ada orang yang melihatnya menangis.

Dengan pelan sohyun mengangguk, "Hm, aku merasa sedikit tidak enak badan. Sejak tadi aku terus bersin." Ucapnya berbohong.

"Pantas saja hidungmu memerah. Dan jika kau sakit, kenapa malah berada di luar? Udara malam yang dingin bisa membuatmu semakin sakit. Pergilah ke kamar, dan istirahat. Besok pagi kau harus sehat karena ada kelas denganku."

"Dasar cerewet." Gumam Sohyun, namun masih bisa didengar oleh Taehyung yang kini mendengus.

"Aku khawatir, bukan cerewet."

"Sama saja. Kau ini sangat cerewet, selalu marah-marah, banyak mengatur, aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib wanita yang akan menjadi istrimu suatu hari nanti. Harus menghadapi suami seperti dirimu yang menyebalkan." Ucap Sohyun dengan tatapan sinisnya.

"Poin utamanya adalah aku memiliki wajah yang tampan." Timpal Taehyung langsung.

"Tidak salah sih," Sohyun mengamati wajah Taehyung, "Wajahmu adalah bagian terbaik dalam dirimu." Setelah mengatakan itu dengan nada mengejek sohyun masuk ke rumah.

Taehyung tersenyum menghela, "Dia bersikap seakan dia baik-baik saja." Monolognya, mendadak kini ia merasa bersalah karena selama lima bulan sohyun tinggal bersamanya, ia sering sekali memarahi dan membentak gadis yang menurutnya menjengkelkan itu, tanpa mengetahui apa yang membuatnya bertingkah seperti itu.

To be continued

Heartbeat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang