3 - Terima Kasih yang Dongkol

7 1 4
                                    

Kami sampai di parkiran. Tuan Ra membawaku masuk ke dalam mobilnya. Dia memberikan tisu kepadaku.
Kami di kursi penumpang sekarang. Di depan situ ada pak sopir.
Tapi sebelum kuterima tisu itu, kumasukkan dulu buah dadaku yang hanya tertutup jas, ke dalam sangkarnya dan kurapikan bajuku.
Kuterima tisu dari tuan Ra, aku kembalikan jas miliknya. Setelah kuhapus air mata dan ingusku lalu kuucapkan....
“Terima kasih, .... Hiks... terima kasih sudah ..... menolongku” kata-kataku agak terputus-putus karena masih sesenggukan.
Tuan Ra mendekatkan ponsel di telinga kirinya dan berkata “Rampok si Jeran, ambil uang 5 jutaku darinya” lalu dia menyodorkan ponselnya padaku. Aku menatapnya heran.
“Kau milikku sekarang, tulis nomor ponsel yang bisa kuhubungi dan namamu di kontak” dia meletakkan hpnya di telapak tanganku.
Meski sedang kalut, otakku masih jalan. Seenaknya dia bilang aku miliknya. Ya gak gitu juga. Nolong sih nolong, tapi aku ini manusia. Bukan kucing jalanan yang kalo ditolongin bisa langsung bisa dimiliki.
“5 juta? Aku akan membayarnya. Lagi pula kau mengambil uang yang tadi dengan cara merampoknya” kukembalikan ponsel padanya.
Ehhh... Sialan dia enggak mau terima.
Kupegang tangannya, kuletakkan ponsel itu tepat di telapak tangannya. Persis seperti yang dia lakukan kepadaku tadi.
Tuan Ra tersenyum tipis dan menatapku tajam. Wajahnya cukup tampan untuk orang Indonesia, tidak... tidak... Ada sedikit wajah timur tengah di sana. Kutebak usianya awal 30 an.
Dia mendekatkan wajahnya padaku. “Apakah kamu melihatku seperti orang yang sedang kekurangan uang?”
Aku tidak menjawab dan sama sekali tidak berani menatapnya. Ya memang sih penampilannya perlente. Khas orang kaya, dan sudah tampak jelas banyak duitnya.
“Aaah...... Baru pertama kali ada gadis memohon-mohon pertolongan kepadaku. Jantungku sampai berdebar kencang” dia menjauh dan kembali bersandar.
“Terima kasih sudah menolongku, tapi....” aku terdiam sejenak bingung mau bilang apa.
“Kenapa si Jeran bisa membawamu ke sana?” Tanyanya tanpa menoleh.
“Tadi aku naik motor, tiba-tiba dibekap dan......” Aku terdiam lagi. Ya Robbi....aku gak sanggup mengingat kejadian di diskotek. Aku sangat berharap ini hanya mimpi, dan terbangun esok hari dengan keadaan semua ini tidak pernah terjadi.
Kemudian tuan Ra meminta sopir untuk jalan dan mengantarku ke tempat di mana motorku tergeletak.
Dia meminta sopir mengendarai motorku. Dan berganti dia yang menyetir mobil ini untuk mengantar aku pulang.
Kali ini dia memintaku untuk pindah ke depan, duduk di sampingnya, di sebelah kursi pengemudi. Aku menurut.
Ting. Bunyi notifikasi, dia pun mengecek HPnya sebentar. “Jadi kamu tidak tahu, kenapa Jeran menjualmu?” tanyanya. Aku pun menggeleng.
“Jeran bilang kamu menggagalkan upayanya untuk membunuh saudara tirinya kemarin”. Ucapnya sembari tetap fokus mengemudi.
“Hah...” Aku sangat terkejut hingga menutup mulut.
“Kamu mau aku membunuh Jeran, atau memasukkannya ke penjara?”
“Apa? ....... gila, itu nyawa orang bukan hewan” jawabku spontan.
“Hahahaha....” Tuan Ra tertawa lepas.
“Hatimu terbuat dari apa? Kau begitu murah hati”. Sambungnya.
“Baiklah anak buahku akan membawanya ke kantor polisi. Tapi akan repot, karena kamu dan temanmu itu harus membuat Laporan, hingga bolak-balik sidang nantinya”
“Temanku? Anda tahu temanku?” Tanyaku heran
“Hei... Anak buahku sudah menginterogasi si Jeran tadi. Kau ini ..... lugu sekali memahami dunia. CK...CK...CK....” Ledeknya sambil berdecap.
Orang kaya ini.... Hhhhh entahlah ... Terlalu banyak uang atau terlalu berkuasa... Aku tak paham.
“Ini” ucapnya pendek, memberikan hpnya padaku. Kuterima hp itu namun langsungku letakkan di dashboard.
“Ehem....” Dia berdehem tapi tidak kuhiraukan.
Aku pun memilih diam. Dan hanya berani mengumpat dalam hati. Eh....eehh... Saat mobil mulai masuk ke jalan perkampungan, ada polisi tidur, dan...
Jeduk, klotak
Ponsel tuan Ra jatuh. Refleks dia mengerem, mobil berhenti, dan...
Dug “Aoowww” “Aooww” Kepala kami berbenturan karena berusaha mengambil HP itu secara bersamaan.
Sekilas kami saling pandang. Tidak terlalu berdekatan juga sih... Masih ada jarak sejengkal.
Lhhaaa... Dia malah mengelus kepalaku yang sakit. Sompret.... gua terperangah dengan tindakannya.
Waahhh gak bener ini situasi.... manah gua lagi enggak pakai hijab lagi. Kain penutup auratku itu hilang entah ke mana, ketinggalan di rumah setan.
Lekas aku ambil HPnya yang jatuh. Dan kuberikan kepadanya. “Nih...”
“Ehem...” Dia berdehem, menerima HP itu, memasukkan ke kantong kemejanya dan kembali menyetir. Situasi canggung apa ini?
Daripada gugup, kubuang muka melihat keluar kaca jendela.
Sudah disituasi canggung tengah malam, Eehhh malah alam semesta mengajak dolanan.
Ada nenek-nenek berdiri di pinggir jalan depan sana. Awalnya sih aku biasa saja. Kira in itu manusia, saat mobil lewat persis di depannya.....
Elahh dalah.....
Tuh nenek dengan wajah menyeramkan malah langsung nemplok di kaca jendela mobil sebelahku.
Ngajak ci Luk ba.....
Kaget dong.... “Aaaakhhh ....” Spontanku teriak dan menutup mata. Kurasakan tuan Ra mengerem mendadak. Mobil berhenti seketika.
Untungnya ini jalan kampung yang sepi di tengah malam. Kagak ada pengendara lain. Kalo di jalan raya, mungkin kami sudah innalilahi.
Hening.... Senyap..... hanya terdengar suara mesin mobil yang pelan, karena berhenti bergerak.
Kok sepi.... Aku mendongak. Dan... Dapat rezeki. Kulihat pemandangan indah depan mata.
Alisnya yang tegas, mata besar yang indah, hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh,..... nafasnya yang hangat.... bibir penuhnya yang..... aaghrrrg.... Sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Pipinya bersemu merah. Astaga.... baruku sadar, ternyata dari tadi aku memeluknya.
Rupanya dia syok, aku juga syok..... tapi.... Sialan.... dasar cowok. Malah dia balas pelukanku.
Dikecupnya pucuk kepalaku sambil berkata “Hantunya sudah pergi”
“Yaudah.... bisa lepasin gak!?!” protesku.
“Gak” dia jawab enteng.
“Gua tereakkk....!!!” Ancamku, dan....
“Hiksss.....” Sebel banget sama nih air mata keluar mulu.
Mendengarku mulai menangis, dilepaskannya pelukan itu. Segera kuambil tisu, mengelap air asin ini. “Mataku kelilipan” kilahku.
Kulihat sekilas dia tersenyum seakan tak punya dosa. “Maaf, tadi aku enggak sengaja” ucapku.
“Maaf juga, tadi aku sengaja” jawabnya.
“Gak usah diperjelas juga udah jelas!” kutatap dia yang kembali menyetir.
“Hahaha...... Tapi gak perlu gitu juga natapnya, ntar naksir”
“Kalo liat jendela, nanti ada setan lagi” sungutku.
“Kan gampang, tinggal peluk lagi”
“Ngarep! Ya udah, merem aja” kusandarkan kepala ke kursi mobil sambil merem.
“Kalo gitu gak bakalan sampai ini, aku kan tidak tahu rumah kamu? Ya sudah ke rumahku saja”
Aku terbelalak. “Eeh...eeh.... ya gak gitu juga kali! Itu sudah dekat, yang pagar hitam” gila nih cowok... Nyebelin!
Dia mengantarku sampai di depan kos dan aku berpamitan padanya. Juga pada sopirnya yang telah mengantar dan memberikan kunci motor padaku.
Tuan Ra mengkode sambil mengangkat ponselnya, karena aku belum memberikan nomor ponselku padanya.
Tapi aku tidak peduli, dan langsung mengeloyor pergi setelah sedikit membungkukkan badan tanda terima kasih.
“Sialan!” Umpatku dalam hati.

*****
Novel ini telah dikontrak oleh Novel Toon.
Kalian bisa membacanya secara gratis di sana. 💕

Judul : Mata Cantika
Author : Novem Lidiya Isnani

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mata Cantika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang