Prolog

11.2K 1.3K 145
                                    

Walaupun aku pencinta cowok cakep—SIAPA YANG NGGAK SUKA COWOK CAKEP DI DUNIA INI?-tapi selama ini aku tidak pernah mematokkan visual sebagai kriteria utama cowok yang akan menjadi pacarku. Melihat track record-ku berpacaran, rate visual pacarku selama ini ada di range enam sampai tujuh setengah. Aku mungkin tertarik dengan paras yang menawan, tetapi yang membuatku jatuh cinta adalah kepribadian dan kebersamaan yang dibangun selama masa pendekatan.

However, there's always a first time in everything. Hal itu yang terjadi saat aku bertemu dengan Ryan, pria berusia 28 tahun yang bekerja sebagai electrical engineer yang merupakan kakak sepupu dari sahabatku, Anggun. Tidak seperti mantan-mantanku yang visualnya rata-rata, aku bisa memberi nilai sembilan untuk fisik Ryan. Wajahnya menarik dengan hidung yang mancung, kedua mata berbentuk almond yang dilindungi oleh bulu mata yang lentik, alis yang cukup tebal, serta senyum manis yang kuyakin dapat meluluhkan wanita manapun yang menyaksikannya. Tubuh Ryan juga cukup atletis akibat hobi hiking yang kembali ditekuninya sekembalinya dari Jerman setelah menyelesaikan studi S2. Ditambah dengan kepribadian Ryan yang hangat pada orang yang bahkan baru dikenalnya, kurasa tak aneh jika aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Aku semakin berucap syukur saat Anggun menawarkan diri menjadi mak comblang kami. Kata Anggun, kakak sepupunya sedang single and ready to mingle. Dia mengatur kencan untuk kami berdua dengan membelikan dua tiket bioskop menonton Spider-Man: Far From Home. Percakapan kami berlangsung sangat baik sampai kami duduk di studio. Ryan sedikit menceritakan apa yang dia kerjakan sebagai electrical engineer di kantor konsultan milik Om Tyo, Papa Anggun. Dia juga menanyakan pekerjaanku yang kuyakin sebenarnya sudah banyak dia tahu dari Anggun karena aku dan adik sepupunya bekerja di bidang yang sama. Hei, bahkan kubikelku dan Anggun bersebelahan.

Ryan suka bercerita, tetapi dia juga pendengar yang sangat baik. He listens to us with his eyes glued right into ours. Gimana aku nggak salting coba? Apalagi saat mendengarkan ceritaku, senyum tipis hampir tak pernah tanggal dari wajah tampannya. Aku yang sejatinya sweet tooth ini sepertinya akan kesulitan untuk tetap imun dari senyum manisnya.

Saat layar lebar di depan kami masih menampilkan film-film yang masuk kategori Coming Soon, Ryan kembali membuka suara, "terima kasih ya, Ra, sudah mau diajak nonton sama aku. Walaupun tiketnya dibeliin Anggun, sih. Ingetin aku untuk beliin dia Rejuve nanti abis kita nonton, ya."

Wajahku panas mendengar ucapan lembutnya. Untung saja studio ini cukup gelap sehingga bisa menyamarkan merah di wajahku. "Sama-sama, Mas Ryan. Terima kasih juga sudah mau ajak aku nonton."

Sebelum dituduh sok imut, aku cuma mengikuti Anggun yang memanggil Ryan dengan sebutan "Mas Ryan". Dan kalau dipikir-pikir lagi, aku menikmati memanggil pria sopan ini dengan sebutan itu. Enak di lidah dan di hati.

"Sama-sama. I enjoy having a conversation with you," balas Ryan dengan sedikit cengiran di wajah. "Kalau ada film seru yang kamu mau tonton lagi di bioskop, feel free to reach me for a company."

"Ajak Anggun juga nggak?"

Ya Tuhan. Genit banget nggak sih aku? Kulirik Ryan, harap-harap cemas akan wajah ilfil yang mungkin muncul setelah mendengarkan pertanyaan jelekku. Aku langsung bernapas lega saat yang kutemukan di sana hanya wajah tenang tanpa menghakimi.

"Bosen nonton sama Anggun mulu. Lagian dia udah ada Ikram."

"Kan bisa nonton berempat."

"Kayak kerja kelompok aja berempat," sambungnya yang membuat tawa kecil lolos dariku.

Studio gelap itu serasa taman bunga yang penuh warna dengan hanya aku dan Ryan di sana saat aku mendengar lelucon garingnya. Baru nonton sekali saja aku sudah merasa seperti ini, bagaimana di kencan kedua, ketiga, hingga keseratus kami, ya? Mungkin cuma ngopi di warkop belakang kantor serasa ngopi di coffee shop mahal di sudut indah kota Roma.

HER BEST GOODBYETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang