Sejujurnya aku sudah nggak punya muka lagi di hadapan Aksa dan ibunya. Demi Tuhan, ibunya sudah melihat aku menangisi cowok sampai disodorin tisu di tempat umum sepulang kantor? Kurang miserable dan hopeless apa lagi coba. Ibunya juga sudah tahu betapa desperate-nya aku yang di usia segini masih single dan bertepuk sebelah tangan pula.
Makanya saat Aksa mengajakku untuk ke bandara bersama karena kami berada di penerbangan yang sama, aku langsung menolak. Aku menggunakan adik sepupu sebagai tameng, mengatakan padanya sudah punya janji dengan adik sepupuku untuk mengantar aku ke bandara dan tidak enak menolak karena kami jarang bertemu. Aksa langsung mengiyakan tanpa bertanya lagi. Entah dia paham aku dan sepupuku butuh waktu berdua atau dia memang tidak seingin itu berangkat ke bandara bersamaku.
Saat memikirkan kemungkinan Aksa mengiyakan dengan alasan kedua memberikan sedikit ngilu di hatiku. Tapi kemudian aku menggeleng. Aku tidak mau membuat masalah di pikiranku sendiri. Bikin capek hati. Walaupun sebenarnya aku sudah capek hati sejak Ryan memutuskan menjalin hubungan dengan si dokter hewan.
Memikirkan Ryan otomatis membuatku teringat Anggun. Aku mendesah berat. Sial. Padahal aku sudah pamer ke Anggun lewat Whatsapp kalau aku ketemu calon gebetan cakep di sini. Ya sudah. Siap-siap deh di kantor nanti aku menghadapi ledekan dari cewek tinggi kurus itu.
Aku sedang menikmati kopi susu yang kubeli di bandara sembari menunggu boarding saat aku mendapati Aksa sudah berdiri di depanku, mengenakan ransel hitam dan tangan kanan yang menggenggam botol air mineral.
"We met again," Aksa mengatakannya sambil tersenyum manis.
Emang manis banget kayak Gulu Gulu pakai normal sugar.
"Hai," balasku berusaha bersikap biasa-biasa saja padahal nervous setengah mati.
Tanpa permisi, Aksa langsung menduduki kursi kosong di sebelahku. Eh, untuk apa dia permisi padaku? Bukan aku yang punya bandara ini. Astaga. Aku sudah mulai ngawur.
"Seat berapa, Ra?" tanya Aksa sembari melepaskan airpods dari telinga dan memasukkan perangkat audio itu ke dalam ransel bagian depannya.
Aku menjawab pertanyaan Aksa dengan menunjukkan boarding pass padanya. Aksa membaca tulisan di sana dengan sedikit menundukkan kepala, memangkas sedikit jarak di antara kami. Menahan napas sejenak, aku memundurkan tubuh hingga tubuh bagian atasku benar-benar menempel pada punggung kursi tunggu yang kududuki.
Ini modus nggak sih? Atau sebenarnya normal cuma karena aku sudah terlalu hopeless saja jadi mudah kegeeran?
Belum sempat pertanyaan dari diriku sendiri kujawab, Aksa sudah menjauhkan kepalanya kemudian dia manggut-manggut. "Gue dua row di belakang lo."
Aku bernapas lega karena kami tidak sebelahan. Setidaknya dalam dua jam penerbangan nanti, aku tidak perlu menjadi manusia batu yang disebabkan tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.
"Pulang naik apa nanti?" tanya Aksa.
"Taksi. Lo?"
"Dijemput. Mau bareng?"
Kepalaku langsung menggeleng. "Thank you atas tawarannya, Sa. Tapi nggak usah. Ngerepotin."
"Oke."
Niat nawarin tumpangan nggak sih?!
"Tiara," panggil Aksa dengan nada...iseng?
Kupasang wajah bete agar dia tahu aku sedang dalam mode tidak dapat diganggu. Kubalas tatapan isengnya. "Apa?"
"Ibu titip salam," ucap Aksa tanpa menutupi tawa geli di wajah. "Ibu juga yang nyuruh gue nawarin tumpangan buat lo pulang. Katanya 'Kasian Tiara, Bang. Udah malem banget mana sendiri ke rumahnya'. Ibu nggak tahu aja kalau lo mandiri dan nggak takut apa pun ya, Ra?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HER BEST GOODBYE
ChickLitPatah hati terbesar Tiara dalam hidupnya adalah saat mendapati Ryan-the eligible bachelor in town yang punya semua yang Tiara inginkan sebagai pasangan-menjalin hubungan serius dengan seorang dokter hewan berwajah cantik dan tubuh mungil. Padahal sa...