5. Who healed the wound?

4.1K 859 217
                                    

Bersikap biasa-biasa saja setelah kejadian semalam ternyata butuh usaha yang sangat ekstra. Aku berusaha menekan gejolak emosi yang muncul setiap Aksa melakukan kontak fisik kecil padaku, entah sekadar memegang tanganku saat kami menyebrang di jalan kecil tempat ramen yang menurut Aksa enak atau saat dia mengelap ujung bibirku dengan tisu karena ada remahan kue yang tertinggal.

Masalahnya, aku ketar-ketir begini tetapi Aksa biasa saja. Dia tidak terlihat terganggu sama sekali dengan apa yang sudah dia lakukan semalam. Entah dia memang menganggap itu hal yang biasa dia lakukan pada temannya, dia amnesia, atau memang dia sejago itu berpura-pura. Aksa masih santai saja di depanku sekarang, menikmati kopi sambil mendengarkan live music dari band indie di kafe tempat kami menghabiskan malam minggu.

Hatiku saja sepertinya yang terlalu sensitif. Apa yang aku harapkan sih? Dari awal kami memang sepakat untuk berteman. Aku tidak pernah memperlakukan Aksa spesial, begitu juga dengannya. Pasti ini efek karena aku sudah terlalu lama sendiri. Membedakan friendly treatment dan special treatment saja tidak bisa.

"Lo lagi banyak pikiran, Ra?" tanya Aksa saat live music berhenti. Ada salah satu penonton yang menawarkan untuk bernyanyi dan sedang berdiskusi dengan pemain musik yang lain. Mungkin membahas mau membawa lagu apa.

"Biasa aja. Kenapa mikir gitu?" tanyaku balik sembari menyeruput fruit punch.

Kening Aksa berkerut samar. "Lo udah beberapa kali melamun. Dari gue jemput tadi."

"Lebih ke bingung aja mau ngomong apa lagi," aku berkilah. "Hampir setiap hari ngobrol sama lo sih. Jadi abis topik deh gue."

Basi banget alasanku. Ya sudah lah.

Senyum kecil tersungging di bibir Aksa. Dia memperbaiki letak baseball cap yang hari dia kenakan. Lagi bad hair day katanya, itu sebabnya dia mengenakan topi malam ini. "Ini salah satu bentuk protes karena hampir tiap malam gue telfon? Sorry not sorry. Gue bakal tetep nelfon lo sih."

"Nggak jelas," aku memutar bola mata.

"Gue basically anaknya suka cerita, Ra."

"I can see it," balasku langsung.

Persiapan acara perpisahan ibunya yang sebentar lagi pensiun saja dia ceritakan padaku.

"Tapi gue pilih-pilih teman cerita. I like sharing with you. You're such a genuine listener. Lulusan psikologi. No wonder," tambah Aksa dengan tawa geli.

"You don't have to be a psychology student to be a good listener. But I'll take it as a compliment. Terima kasih," aku menjawab dengan senyum bangga.

Aksa mengangkat ponsel dan mengarahkannya padaku. "Senyum, Ra. Lighting-nya cakep nih."

Buru-buru aku berpose. Lihat kanan, lihat kiri, menghadap kamera, candid. Selain sebagai teman cerita, Aksa memang sekarang sudah resmi kuangkap sebagai fotografer personalku. Hasil fotonya lumayan.

"Ini cakep, Ra. Kalau mau upload jangan lupa tag gue," kata Aksa sembari menunjukkan satu fotoku yang candid.

"Haus credit banget," aku menjulurkan lidah. "Airdrop, please."

Aksa menggeleng. "Later. Entar lo liatin foto-fotonya terus."

Aku berdecak sebal. "Pelit."

"Emang," Aksa balas menjulurkan lidah. Dia meyendokkan tiramisu ke dalam mulutnya. Wajah Aksa berubah semringah. Dia mengambil sesendok lagi lalu menyuapkannya ke mulutku. "Enak banget, Ra. Cobain deh."

"Enak banget." Aku sampai bertepuk tangan. Ini salah satu tiramisu terbaik yang pernah kucoba.

"Gue take away buat lo di rumah, ya," ucap Aksa lalu segera memanggil waitress tanpa konfirmasi dariku.

HER BEST GOODBYETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang