3. An emotionally exhausting night

4.2K 815 135
                                    

Jumat malamku ditutup dengan menemani sahabatku yang sedang patah hati window shopping—awalnya begitu, tetapi kurasa niatnya berubah karena kulihat Anggun sudah memilih satu lipstick untuk dibeli—di Sephora Plaza Senayan. Multinational retailer asal Perancis itu dipenuhi oleh cewek-cewek wangi—padahal sekarang sudah jam delapan malam—yang sibuk melihat, memilih, dan membeli produk-produk kecantikan yang harganya semua orang tahu tidak affordable sama sekali.

Perihal produk kecantikan, aku bersyukur sekali aku tidak punya interest yang terlalu besar ke sana, selain memang karena wajahku tidak rewel. Bagiku basic skincare, bedak, dan produk bibir saja sudah cukup. Aku tidak begitu nyaman wajahku di-brush dengan beragam produk dan warna. Anggun berulang kali meyakinkanku untuk membeli produk-produk perawatan kulit dan make up mulai dari yang affordable sampai yang harganya bikin kepalaku nyut-nyutan seperti yang sahabatku sedang pilih-pilih saat ini.

"Ra, sekali seumur hidup lo harus cobain powder ini. Harganya memang nggak murah tapi worth it banget apalagi untuk lo yang emang cuma pake bedak dan lipstick."

Kuintip langsung harga yang tertera lalu langsung membentuk huruf X dengan kedua tangan. "Even if I need it someday, gue bisa pakai punya lo. Sorry not sorry."

"Kambing," kata Anggun lalu mendengus sebal. Sahabatku itu kemudian beralih ke bagian parfum, mencoba satu dua jenis lalu menyodorkan tangan yang sebelumnya sudah dia semprot ke hidungku. "Gue suka deh wanginya. How?"

"Seger. Cocok buat liburan. Enak," kata gue sembari mengacungkan jempol.

Tapi tentunya bukan Anggun namanya jika tidak mencoba yang lain. Dengan mata yang masih tertuju ke deretan parfum mahal di etalase, Anggun bertanya, "kok gue belom denger kabar baik lo sama si gebetan baru, ya? DI-PHP in lagi?"

Yang Anggun tahu, Aksa adalah gebetanku. Aku bilang padanya kami sedang PDKT dan kemungkinan besar berhasil. Tujuanku tak lain dan tak bukan adalah agar sahabatku ini tidak merasa bersalah perihal Ryan yang kini sudah resmi pacaran dengan orang lain dan agar Anggun berhenti merecokiku perihal cowok. Bukan aku tak suka sahabatku membantuku mencari pacar, tapi sekarang rasanya aku lebih suka begini-begini saja dulu. Punya perasaan sepihak ternyata menghabiskan energiku yang terkadang malah membuatku berpikir untuk apa aku sengotot itu punya pasangan.

Aku juga belum tahu kondisi hatiku saat ini seperti apa sebenarnya. Apa Ryan benar-benar sudah hilang? Apa aku hanya masih dalam denial tak berkesudahan? Atau bahkan sudah mati rasa dengan siapa pun?

Satu yang pasti. Aku nyaman berteman dengan Aksa. Itu saja saat ini cukup. Banyak berpikir malah membuatku sulit tidur yang berujung pada turunnya performaku di kantor.

Baru kusadari memang aku tidak pernah membagikan hubungan pertemananku dengan Aksa di sosial media saat biasanya aku aktif menggunakan platform tersebut untuk berbagi aktivitasku. Bukan aku sengaja menyembunyikannya, entah kenapa aku tidak sadar saja saat menghabiskan waktu dengan Aksa. Tahu-tahu Aksa sudah mengantarku pulang ke rumah pada pukul sepuluh malam setidaknya setelah kami keluar seharian.

"Tiara, hello," telapak tangan Anggun bergoyang-goyang tepat di wajahku.

"Apa?"

"Gimana lo sama gebetan lo? Love bombing doang?"

Kepalaku menggeleng. Kupasang senyum palsu yang meyakinkan. "We're progressing. Lo tenang aja. Bentar lagi gue punya pacar."

Wajah Anggun tiba-tiba berubah murung. "Semua orang jatuh cinta. Gue doang yang patah hati. Mau nangis."

Semua orang yang Anggun maksud pasti termasuk kakak sepupunya.

"Lo sama Praha pasti bakal baik-baik aja. Kan lo sendiri yang mau ngasih dia space, kan?" ucapku berusaha meyakinkan Anggun bahwa pacarnya tidak akan meninggalkannya.

HER BEST GOODBYETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang