Dua
.
"Seperti yang kalian ketahui kita ketambahan anggota baru. Perkenalkan ini Jaka Adi Purnama. Jaka, kamu bisa menyapa rekan-rekan kerjamu!" Bu Naura mempersilahkan Jaka untuk bicara.
"Selamat pagi semuanya. Perkenalkan aku Jaka, fresh graduate. Baru terjun ke dunia kerja. Mohon bimbingannya!"
Sudut bibir Setya bergetar menahan senyum. Ia kesemsem dengan sosok tampan dan manis di depannya. Tanpa sadar menggenggam tangan mungil Livi erat-erat.
"Lo kenapa sih?" bisik Livi risih. Dari sudut matanya ia dapat merasakan senyum cemerlang Jaka pada semua orang.
"Baik, kalau begitu saya tinggal ya. Silahkan kamu duduk di meja yang ada nama Mawardi. Orangnya sudah berhenti bekerja, tapi papan namanya masih di sana. Nanti kamu print sendiri namamu!" pungkas Bu Naura yang diangguki oleh Jaka.
Wanita berusia akhir 40 tahunan itu melenggang pergi. Sementara, Jaka berjalan mendekat dan sedikit bercengkrama dengan beberapa pegawai lainnya. Pemuda itu tampak senang, senyuman tak lepas dari bibirnya.
"Nanti siang kita makan bareng di kantin bawah. Kamu harus cobain ayam geprek sambel ijo Bu Zaitun. Pasti ketagihan," kata Dion, orang yang duduk di samping meja Mawardi.
Livi mencoba abai. Memfokuskan pandangan pada layar komputer. Sedikit canggung, karena tahu kubikel kerja Jaka tepat berhadapannya dengan kubikelnya.
"Dek Livi kerja sini juga?"
Mendongak. Mendapati Jaka telah berada di depannya dengan wajah ramah. Suasana hening sejenak, sepersekian detik berikutnya suara tawa terdengar.
"Kecil-kecil begitu Livi lebih tua dari kamu, Jaka. Muka sama badannya emang kayak bocil," seru Dion seraya meredakan tawa. Livi menatap tajam ke arahnya. Meski begitu Dion tak gentar, hal biasa mendapati wajah judes Livi. Mereka dalam ruangan itu sudah hafal.
"Eh maaf. Aku enggak tahu. Tapi Livi imut banget."
Dion makin tertawa dengan yang lainnya. "Hati-hati! Nanti kamu bisa dilempar pulpen. Livi itu senior kita!" Dion menjelaskan dengan wajah jenaka, membuat Livi memutar bola matanya malas. Dasar junior-junior kurang ajar! Umpatnya.
Jaka tertawa kecil. Lelaki muda itu duduk di kubikel miliknya dan berbicara dengan Dion perkara urusan pekerjaan serta aturan yang berlaku. Tentu sebagai anak baru, Jaka perlu mengenal lingkungan kerja dan membantu pekerjaan-pekerjaan kecil para senior sekaligus belajar.
"Lo mah gak perlu gue ajarin banyak-banyak udah paham betul," ujar Dion setelah tiga puluh menit lebih berinteraksi masalah pekerjaan dengan Jaka.
"Udah beberapa kali magang. Jadi, lumayan paham juga Bang," balas Jaka. Ia tahu usia Dion satu tahun lebih tua darinya setelah banyak mengobrol. Yang lain tak merasa terganggu karena volume suara kedua lelaki itu terbilang kecil, meski masih menembus pendengaran Livi serta Setya.
"Pantesan. IPK lo berapa pas lulus?"
"3,98 Bang, lulus tiga setengah tahun."
Mulut Setya melongo seraya menatap pada Livi yang duduk di sampingnya. Livi pun sama terkejut, akan tetapi tak bereaksi berlebihan seperti rekan kerjanya itu.
"Buset! Gue yang 3,05 diam aja deh. Nyesel gue nanya."
Jaka tampak sungkan. Ia hanya tersenyum menanggapi ocehan Dion, pria berwajah betawi asli. Katanya ada keturunan Cina dikit dari kakeknya. Terbukti dengan kulit putih yang ia miliki.
"Lo udah paham kan? Gue mau urus kerjaan gue juga."
"Siap Bang. Paham kok." Jaka menanggapi dengan tenang. Setelahnya tak banyak obrolan terjadi, mereka sibuk dengan bagian masing-masing.
Jam istirahat tiba. Dion dengan semangat mengajak Jaka untuk pergi ke kantin Bu Zaitun. Setya yang mendengar menawarkan diri untuk ikut, "Barengan aja yuk. Lagi pengen makan ayam gepreknya Bu Zaitun. Livi juga ikut kan?"
Gigi-gigi putih Setya tampak jelas kala tersenyum pada Livi. Dahi Livi berkerut tak senang, padahal kemarin Setya berencana mengajak makan siang di salah satu makanan cepat saji yang baru buka cabang. Letaknya berada tak jauh dari kantor mereka. Livi jelas mengerti maksud tujuan Setya. Perempuan itu ingin mendekati sosok Jaka.
"Tapi kan kit-"
"Ayolah Livi. Gue males bawa motor. Panas banget di luar."
Livi terdiam menatap datar. Salah satu hal yang Livi tak suka ada perubahan rencana yang mendadak. Akan tetapi, karena situasi tidak memungkinkan untuknya memaksa, mau tak mau Livi mengalah. Yang membawa motor si Setya, Livi tak bisa berbuat apa-apa bila sang supir telah membuat keputusan.
"Oke, kita makan di kantin Bu Zaitun."
"Yey. Ayo Jaka!"
Dion dan Livi saling pandang. Agak heran dengan sikap Setya yang satu ini. Tampaknya Jaka yang rupawan, berhasil membangkitkan sisi lain Setya yang baru mereka ketahui.
Livi berjalan berdampingan dengan Dion yang memiliki tinggi 170cm. Terlihat sangat jomblang perbedaan tinggi keduanya. Livi menatap punggung Jaka yang jalan di samping Setya yang terus-terus mendesak agar lebih dekat. Dari yang Livi amati, tinggi Jaka kemungkinan hampir 180cm atau lebih. Ia tak bisa membayangkan betapa ia seperti kurcaci berdekatan dengan sosok itu.
"Si Setya keknya kepincut ama Jaka." Dion berbisik pada Livi. Pandangan menilai pada sikap Setya.
"Kelihatan banget sih."
"Ya kan. Mana terangan-terangan pula." Kepala Dion menggeleng tak percaya. Sebagai seseorang yang mengenal Setya hampir setahun, baru kali ini Dion dibuat kaget dengan perilaku Setya. Memang mereka tak tahu bagaimana sikap Setya di luar kantor, mantan kekasih sebelumnya saja anggota kepolisian. Paling-paling mereka pernah melihat sekali dua kali ketika seorang pria berseragam menjemput Setya pulang kerja.
"Jaka mau pesan apa?" tanya Setya.
Jaka sedang membaca menu pada selembaran kertas dengan serius. Mengabaikan kalimat pertanyaan yang Setya lontarkan, padahal perempuan itu duduk tepat berseberangan dari kursinya. Di samping Setya ada Livi.
"Dek Livi suka menu apa?"
Livi mengalihkan perhatian dari ponsel yang manampilkan kabar wamil idola kesukaannya. Menatap pada Jaka yang juga melakukan hal yang sama.
"Aku suka ayam bakar sambal ijo," balasnya singkat. Sudut mata Livi dapat menangkap sedikit kekesalan yang berasal dari Setya.
"Ayam gepreknya juara lho, Jaka. Gak mau coba yang itu aja?" Setya mencoba menawarkan.
Jaka menggeleng kecil. "Aku mau pesan ayam bakar aja sama es teh. Dek Livi mau pesan itu juga?"
Lagi-lagi Livi dibuat heran dengan pertanyaan Jaka. Sekilas ia melirik pada Setya yang juga melihat padanya. "Aku mau pesan ayam penyet sambal ijo aja. Minumnya es teh."
"Aku samaain kayak Jaka aja," ucap Setia lagi.
Dion juga menyebutkan pesanan yang sudah hafal di luar kepala. Pria itu membawa catatan pesanan pada kasir.
"Kamu kuliah dulu ambil program studi apa, Jaka?"
"Aku ambil program studi Entrepreneurship, Kak."
Kepala Setya mengangguk kecil. "Kamu ada rencana membangun bisnis ya nantinya?"
"Kalau ada peluang, kemungkinan iya. Tapi, buat sekarang agak sulit karena belum ada biaya. Pengen kerja dulu," jelas Jaka.
Selama mengobrol Setya menyadari akan satu hal. Pandangan Jaka sesekali mengarah pada Livi yang sejak tadi enggan ikut bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Tease Me
ChickLitLiviana dibuat tercengang oleh kehadiran sesosok tetangga kost-an baru yang sangat amat tampan, dia sangat ramah bahkan sempat memberi kue padanya sebagai sambutan tetangga baru, padahal hal tersebut tak perlu dilakukan. Namun, tak diduga si tetangg...