14.3 Lelah

24 3 0
                                        

Malam itu terasa dingin. Alangkah lebih baik bila ditemani minuman hangat seperti saat ini yang Lily lakukan. Dengan ditemani langit malam yang terpandang dari jendela kosnya.

Mejanya berserakan oleh kertas. Sedari sore ia membuat sketsa robot dengan beragam bentuk. Dan kertas paling atas yang Lily kesankan sebagai hasil yang memuaskan. Berupa struktur robot yang telah disempurnakan dari rupa bentuk Zukee dengan mencantumkan komponen dan media yang dibutuhkan dalam proses pembuatannya.

Setelah ada sketsa yang berhasil dibuatnya. Lily berniat mengistirahatkan kepalanya dengan sejumlah kafein hangat yang dikombinasikan dengan dinginnya malam yang masuk pada jendela terbuka.

Namun, rupanya dengan mendapati langit yang berserakan bintang merupakan cara istirahat yang salah. Karena pada dasarnya, dengan memandangi bintang—sekelebat memori menghantui Lily hingga tanpa sadar berbagai macam pikiran berebutan masuk pada kepalanya. Membuatnya tambah mumet.

Akhirnya lamunan selanjutnya jatuh pada seorang lelaki kecil berkacamata.

"David ...," sebut Lily sambil terkekeh.

Ia membuka laci dekat meja belajarnya. Meraih sesuatu di dalamnya. Jaket merah jambu. Ia tidak mungkin melupakan jaket itu di saat memikirkan David.

Jaket dengan inisial nama yang dirindukannya. Rupanya merupakan obat terbaik bila sedang mumet.

"Gimana, ya?" Lily menarik senyum terindahnya. "Kalau aja ini mah, kalau aja, dia tuh datang ke sini. Dengan rupa wajah yang dewasa, ganteng juga gagah. Waaaah, benar-benar mimpi kalau bisa ketemu ...."

Entahlah. Saat ini Lily tidak ingin cengeng menyalahkan takdirnya yang tidak menemukan seorang David di mana-mana. Ia hanya ingin melepas lelahnya selama ini dengan tertawa memikirkan hal yang tidak mungkin terjadi. Otaknya sudah sumpek telah memikirkan pelajaran yang tertinggal satu hari ini; perkataan papanya yang membuat dirinya uring-uringan minum kopi dingin; tak melupakan ancaman dari pengirim tidak jelas; perancangan robot yang rupanya sulit juga untuk mencapai kesempurnaan. Boleh ’kan dirinya istirahat sebentar?

"Gimana, ya kalau dia udah dewasa?"

Kacamata bulat yang menjadi khas seorang David. Rambut ikalnya yang sedikit pirang karena selalu terpapar sinar matahari. Ditambah peluh keringat dengan pipi semu merah usai bermain bola ketika anak itu mendekatinya sambil meminta air minum.

Senyumannya dengan menipiskan bibir seraya merebut botol minumnya untuk dia tandaskan. Matanya sedikit menyipit ketika tertawa saat dirinya cemberut. Suara tawanya yang belum memiliki jakun sebesar orang dewasa begitu ramah didengar. Kalau marah? Ahh, Lily tidak pernah melihat wajah bocah itu yang cemberut. Ia hanya pernah mendengarnya berteriak girang, tidak pernah membentak kepada orang lain apalagi kepadanya. Hawanya benar-benar positif. Membuat semua orang nyaman bersamanya. Dia telah sempurna sejak dini.

"Ha-ha. Orang seramah dia pasti udah setia sama pacarnya. Gak mungkin juga inget gue," monolognya mulai menghancurkan mood malamnya.

Senyum Lily menyurut, mulutnya terkatup. "Pengen ketemu. Di hari lelah ini," ujarnya pelan.

Saat Lily dilanda perasaan yang tidak jelas. Pintu kos-nya diketuk oleh seseorang. Ketukannya sangat ramah, mustahil dapat didengar oleh Lily yang tengah bergelayut dengan lamunannya.

Seseorang yang ingin bertamu rupanya tidak kehabisan akal. Ia berjalan menyusuri dinding kos milik Lily hendak menyapa empunya melalui jendela yang terbuka lebar di belakang indekosnya.

"HUWAA!!!" Lily sontak terjingkat lalu rubuh bersama kursinya yang tak sanggup menopang. Tidak siap dengan kedatangan seseorang di depan jendela yang menutupi pemandangan langit malam.

Lily Kacamata - [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang