"Halaman 104 udah, tugas geografi, udah." Nara sibuk mengabsen tugas-tugasnya sambil merapikan buku-bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas.
"Sejarah?" suara yang terhubung dari ponselnya menunjukan nama 'Lelehan Kutub'
"Hm, udah sih nanti sisanya tinggal tanya Qila." Jelas Nara.
"Sejarah kita, udah?" Suara itu menghentikan aktifitas tangan Nara. Lantas memajukan wajahnya untuk menjawab pertanyaan dari seseorang di seberangnya barusan.
"Udah Aron sayang, di catatan takdir di bab romansa." Jelasnya disambung kekehan kecil dari sana.
"Tidur, Ra. Matiin lampunya, udah sikat gigi, kan?"
"Udah!" Nara merapikan kasurnya lalu segera mematikan lampu dan berbaring.
Disana Aron juga sedang membaringkan tubuhnya diatas kasur yang berbalut sprei hitam dengan kotak-kotak putih. Aron menghadapkan tubuhnya ke kanan dan meletakkan ponsel di sisi tubunya.
"Aron, udah ngantuk belom?" ponselnya menunjukkan nama 'Narahubung Hati'
"Belom," jawabnya yang terdengar berat.
"Ron, habis SMA ini kita mau ngapain ya?" tanya Nara yang posisinya sudah sama seperti Aron.
"Kamu mau lanjut kuliah?"
"Hhh kayanya cuma itu sih, yang paling waras dipikirin. Secara mama sama papa cuma punya Nara apa Nara banting tulang aja ya open BO."
"Heh, ga boleh gitu ngomongnya sayang." Nara lantas tertawa sampai tubuhnya menghadap langit-langit kamarnya.
"Makanya, Mas Aron kapan mau ngelamar saya?"
"Nanti ya, tunggu papamu pulang. Saya siapkan hantarannya dulu."
"Ditunggu, Mas..." Lalu mereka berdua tertawa.
"Ternyata kita terlalu cepat dewasa, Ra. Aku selalu ditanya sama ayah dan bunda tentang masa depan, aku yang membuka jalan untuk adik-adikku, dan aku yang ditagih kedewasaan."
"Itu memang tugas dan tanggung jawab Aron sebagai harapan pertama ayah dan bunda. Nara di sini cuma bisa mencintai dan menyayangi Aron."
Aron tersenyum memandang ponselnya. Meskipun hanya suaranya saja, namun Aron bisa membayangkan sosok Nara yang ceria dan selalu memberinya semangat dengan tawa bahagianya. Seolah obrolan ini adalah rutinitas mereka berdua tidak ada lagi tabir-tabir yang menghalangi untuk menyampaikan isi kepala masing-masing.
"Terimakasih ya, Ra. Terimakasih karena sudah mencintai aku."
"Nara juga, Aron. Nara ga pernah dicintai seperti ini selain sama papa dan mama."
Tak lama kemudian, hp Aron bergetar menandakan adanya panggilan lain masuk. Betapa terkejutnya dia melihat nama yang terpampang disana. Tangannya bergetar antara akan menerima panggilan itu atau tidak.
"Aron, ada apa?" tanya Nara sebab tak ada lagi jawaban dari Aron.
"Eng, enggak kok, gapapa kayanya salah sambung."
"Ooh, ada panggilan masuk? Yaudah diangkat aja siapa tahu penting."
Aron terduduk merutuki ucapannya tadi pasti membuat Nara jadi tak enak hati.
"Ud...udah mati kok" Aron berusaha tenang menjawab Nara meskipun hatinya berdebar tak karuan. "Jadi kamu mau ngomong apa, Ra?"
"Em...udah gitu aja tadi-"
Drrrttt drrttt
Hp aron kembali bergetar dan kembali memunculkan nama yang sama persis seperti tadi.
"Shit!" Aron lantas menekan tombol hijau dipanggilan tersebut dan menunggu suara diseberang sana berbicara.
"Halo...? Halo? Ini Aron bukan? Aron Fahar kan?" Aron memejamkan matanya mendengar suara itu, iya suara itu kembali ia dengar.
"Iya," Jawab Aron singkat.
"Syukurlah kamu belum ganti nomor, Aron aku kangen."
_____*****_____
'Diit...' layar hp Nara kembali ke roomchat bernama 'Lelehan Kutub'
"Loh, kok mati? Mungkin angkat telepon yang tadi. Tapi siapa malem-malem begini?" Nara memilih tak memikirkan itu lagi dan mulai mengetik kalimat penutupnya kali ini.
Lelehan Kutub
| Aku telpon ya, Yang
22.16
Aron? Lagi telepon kah?|
22.53
Nara menunggu balasannya 20 menit kemudian. Namun karena tak kuasa menahan kantuk ia memutuskan untuk tidur dan menyudahi menunggu Aron.
Lelehan Kutub
Kali ini tidur tanpa denger Aron bilang 'sleep well'|
Tapi gapapa, soalnya Nara udah ngantuk banget |
Besok ketemu lagi ya, byee Aron...|
Nara mematikan ponselnya dan mulai memejamkan mata. Rasa penasaran yang masih menghantui berusaha ia tepis jauh-jauh. Nara hanya ingin tidur tanpa memikirkan apapun.
YOU ARE READING
Waktu yang Salah
Teen FictionMengapa semesta perlu menyaksikan kita yang sama-sama tersakiti oleh keadaan? Sepertinya takdir ingin kita saling melepaskan agar ketika waktunya sudah tepat nanti, bukan ini lagi seperti ini, seperti yang tidak kita harapkan.