Nara berjalan di lorong sekolah dengan riang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan pagi ini. Meskipun chat Nara semalam belum dibaca oleh Aron. Hari baru harus disambut dengan semangat baru itu adalah prinsipnya. Nara memasuki ruang kelasnya dan duduk disamping Qila.
Suasana kelas masih ramai menunggu guru datang. Beberapa masih banyak yang berhamburan diluar ruang kelas entah bercanda atau merumpi tak sabar dengan berita panas yang kalau diceritakan nanti-nanti keburu dingin. Seperti layaknya sekolah pada umumnya. Nara dan Aron tidak berada dalam kelas yang sama meskipun jurusan mereka sama-sama di IPA sebab nilai Aron sedikit lebih tinggi daripada Nara, jadi Aron berada di 1 kelas diatasnya.
"Qila! Selamat pagii!!" Nara mendudukkan dirinya diatas kursi. Qila adalah sahabatnya sejak awal bersekolah di SMA. Dan dikelas 12 ini mereka bertemu lagi dalam satu kelas yang sama.
"Hey, Na! Dianter siapa?" tanya Qila menyambut kedatangan Nara. Dia sedang asik menggambar di buku sketch book-nya. Waktu luang se-sebentar apapun bakal Qila gunakan untuk melukis ataupun mengggambar. Tak heran, anak itu memang memiliki bakat melukis bahkan coret-coretan yang dia buat asal dihalaman belakang buku tulis nya saja jadi indah bak lukisan. Tangan Qila memang beda. Nara saja iri sebab dia bisa menggambarkan isi hatinya dengan gambaran, Qila beberapa kali melukis sambil menangis seolah mengekspresikan apa yang dia rasa.
"Mama, sekalian berangkat kerja." Jawabnya.
"Aron?" tanya Qila pasalnya Nara jarang diantar mamanya. Dia menoleh dengan tanpa menaruh pena yang digunakannya untuk melukis
"Gatau Qil, dari semalem chat gue balom dibaca. Aron masuk kelas gak ya?"
"Ooohh, it's okay, Na. Mungkin dia lagi ada urusan." Jawabnya menenangkan Nara sambil menepuk dua kali bahu sahabatnya itu. Qila memang tak memiliki kekasih. Kekasihnya itu hanya kuas dan penanya. Namun jika Nara memiliki masalah dengan Aron, dia dengan tanpa ragu menceritakannya pada Qila seolah Qila berpengalaman dan selalu memiliki jalan keluar dari masalahnya.
"Ah, iya mungkin memang ada urusan lain."
_____*****_____
Guru yang mengajar matematika baru saja melangkahkan langkah terakhirnya dan suara bel mengikuti setelahnya.
"Hooaam... matematika emang melelahkan." Qila meregangkan badannya, Nara mengangguk menyetujui.
"Yuk Na! Ke kantin!" Ajak Qila. Dia sudah menutup bukunya bahkan sudah bersiap mengambil uang di dompet.
"Duluan aja Qil, gue mau ke kamar mandi dulu." Nara merapikan bukunya yang berserak diatas meja.
"Oke deh, gue tunggu ya! Gue pesenin jus mangga deh, lo mau kan?" Qila mulai beranjak dari duduknya setelah mendapat jempol dari Nara.
Nara berjalan menuju kamar mandi disamping kelasnya. Tiba-tiba seseorang memeluk dirinya dari belakang. Tangannya melingkar membelenggu lehernya. Nara terkejut, tapi tahu betul siapa pemilik jam tangan itu. Seketika bau wangi semerbak menari memasuki indra penciumannya. Tak perlu tes dna siapa dia.
"Maaf, Ra. Aku harus jawab teleponnya terus pas aku mau baca chatmu, hpnya langsung lowbat sampe mati." Jelasnya tepat disamping telinga Nara. Hari ini rambut Nara diikat kuda jadi pelukan Aron tak menarik rambutnya.
"Gapapa Aron. Nara paham kok," ucap Nara seraya menepuk tangan Aron. Dia selalu tahu bagaimana cara meminta maaf pada Nara. Aronnya kembali. Aron yang manis dan hangat.
"Mau ke kantin?" Nara membalikkan tubuhnya menghadap Aron. Lalu Aron tersenyum sambil mengangguk. Rambut hitamnya yang menjuntai ke bawah bergoyang lembut. Nara mau tak mau membalas senyuman itu.
"Ntar ya, Nara ke kamar mandi dulu." Aron mengacungkan jempolnya lalu menyandarkan tubuhnya di tembok balkon sambil membuka ponselnya.
Vani
|Ron, ini penting.
09.20
Ga peduli|
09.30
Aron mematikan ponselnya lalu menghembuskan nafas dengan kasar. Aron pejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya ke dinding ia biarkan hatinya bersuara.
'Ya Tuhan, bagaimana ini? Kenapa dia harus muncul lagi disaat aku mulai memantapkan hati?' tanya Aron dalam hati.
"Yuk, Ron." Nara baru keluar dari kamar mandi. Aron membuka matanya lalu menggenggam tangan Nara.
"Nanti pulang sama aku ya Ra." Aron mencondongkan wajahnya ke wajah Nara.
"Iyaa." Jawab Nara sambil menyunggingkan senyum.
YOU ARE READING
Waktu yang Salah
Teen FictionMengapa semesta perlu menyaksikan kita yang sama-sama tersakiti oleh keadaan? Sepertinya takdir ingin kita saling melepaskan agar ketika waktunya sudah tepat nanti, bukan ini lagi seperti ini, seperti yang tidak kita harapkan.