PART 1 | Kita Dulu Lucu, ya?

5 0 0
                                    


              "Aron!" Perempuan itu berjinjit berusaha menggapai untaian rantai dengan liontin yang berayun digenggam tinggi oleh laki-laki di hadapannya.

"Haha, pendek sih!" Lelaki yang dipanggil 'Aron' itu meninggikan lagi tangannya.

"Aroonn! Ish!" Perempuan itu menyerah lantas menyilangkan kedua tangannya di dada. Aron tersenyum lalu menyodorkan kalung berliontin tersebut pada gadis itu.

"Niih," Perempuan itu mengintip kalung di genggaman tangan Aron lalu memalingkan mukanya, "Gajadi, gamau."

"Dih, ngambek." Aron membuka kaitan kalung tersebut lalu mendekat dan mengalungkannya di leher gadis itu. Gadis itu diam, membiarkan Aron memakaikan kalung berliontin itu di lehernya. Nafas Aron yang bertatapan langsung dengan telinganya seolah meniupkan semburat merah yang muncul seirama dengan degup jantungnya.

"Dah," Aron mengembalikan posisinya semula lalu menggenggam kedua bahu perempuan itu. Perempuan itu masih tertunduk sibuk memperhatikan mengamati liontin dari kalung di lehernya itu.

"Suka gak?" Tanya Aron sedikit menundukkan kepalanya melihat wajah perempuan itu.

"Suka!" Girang perempuan itu sambil tersenyum lebar menatap Aron. "Terima kasih, Aron!" Perempuan itu kembali mengusap liontin itu, senyumnya masih terpatri di wajahnya. Aron tersenyum lagi dan mengacak lembut rambut perempuan di hadapannya.

'Ra, kita sama-sama terus ya. Aku gatau gimana nanti kalau aku ga sama kamu hidupku bakal jadi kaya gimana. Fix sih, kayanya aku harus nikah sama kamu Ra, pokoknya.' Aron bermonolog sendiri dalam hati menatap dalam perempuannya yang sekarang tengah bahagia dengan liontin pemberiannya.

'Lihat, cantikku sedang berbahagia. Aku gamau kenikmatan memandangnya seperti ini dirasakan juga oleh lelaki lain, aku gak mau.' Lanjutnya.

"Aron," Nara, perempuan itu membuyarkan lamunan Aron yang masih saja tersenyum melihatnya.

"Hm?"

"Ayo pulang," Nara menarik lengan Aron mengajaknya menuju parkiran sekolah.

"Yuk!" Aron melangkahkan kakinya seraya menggenggam tangan gadisnya menuju parkiran tempat motornya bersinggah.

 Jalanan sore ini lengang. Jam padat para pegawai kantoran sudah selesai digantikan semburat jingga yang mewarnai awan beterbangan. Matahari seakan memberikan salam perpisahan lewat indahnya lukisan langit sore ini. Brung-burung pun tak kalah memberikan salam untuk kepergiannya. Kepakan sayapnya yang indah juga haluan kawanannya kompak menuju satu tuju dimana induk dan anaknya menunggu.

Di atas motor kala itu, dua sejoli dengan hati yang sama-sama bahagia tak mampu untuk sekedar menutupi wajah mereka yang tersenyum penuh arti. Aron bukanlah anak tunggal kaya raya yang mampu membahagiakan wanitanya dengan harta. Namun lewat perlakuan hangatnya, Nara bisa bertahan dipunggungnya dan memeluk tubuhnya dengan sangat erat. 

Pemanasan global bisa melelehkan kutub utara dan selatan namun hanya Nara seorang yang bisa melelehkan Aron Fahar Rashid. Dulu dia orang yang cuek, masa bodoh, dan tidak peduli. Pikirnya bukan wanita maupun cinta yang mampu menyadarkannya sebab di hidupnya sama sekali dia tidak tertarik dengan hal itu dan siapa sangka tak lama setelah dia memakai celana abu-abu itu, penghangatnya datang. Kesadarannya akan cinta perlahan terbuka setelah sekian lama ia buta.

Saking pendiam dan dinginnya Aron, teman-temannya hanya sedikit bahkan bisa dihitung jari. Dia tidak suka bergaul terlalu banyak. Salah satu kawan karibnya yaitu Yudha. Orang bilang Aron dan Yudha itu sebelas dua belas meskipun Yudha tak separah Aron dalam diamnya. Itu juga yang membuat mereka berdua cepat akrab bahkan semenjak masa orientasi. Berbeda dengan Nara yang temannya bejibun dimana-mana meskipun sahabatnya hanya Qila seorang yang sudah menemaninya sejak di bangku SMP. 

Sekian lama terdiam kemudian mereka tiba di depan rumah Nara. Rumahnya tertutup pagar besi yang menjulang tinggi memiliki kesan mewah dan tegas meskipun penghuninya hanya 3 orang saja, Nara, Mama, dan Bi Irma. Papanya bekerja di luar kota dan pulang hanya ketika weekend saja.  

"Aron nanti malem temenin ngerjain tugas,ya!" Nara yang baru turun dari motor Aron segera meminta jawabannya.

"Iya sayang." Jawab Aron lembut sambil membuka pengait helm yang dikenakan nara.

"Aron udah panggil Nara 'sayang' dari setahun yang lalu tapi Nara masih suka kaget." Sekarang tangan Aron sedang merapikan rambutnya Nara yang berantakan.

"Kamu ga usah panggil aku 'sayang' ya Ra, kamu manggil namaku aja hatiku udah bergetar." Ucap Aron diakhiri dengan senyuman khasnya.

"Astaga! Seorang Aron menggombal untuk yang ke-27 kalinya dalam sebulan."

"Kok masih dihitung sih, Ra."

"Kayanya ini rekor dalam sebulan."

"Udah ga usah dihitung lagi, nanti capek. Aku bakal gombalin kamu terus nanti."

"ARON! Udah! Pulang sana!!" Nara berusaha menyembunyikan wajah memerahnya dengan mengusir Aron dari hadapannya.

"Ih, lucu banget mukanya merah." Gemas Aron sambuil mencubit pipi kiri Nara.

"Cukup Aron," Nara mencoba mengembalikan tangan Aron dari pipinya.

"Hehehe, pulang ya babe.... Mama! Nara udah pulang nih, Aron antar dengan selamat." Kata Aron dengan meninggikan akhir kalimatnya.

"Kayanya mama di dapur, nanti Nara sampein."

"Oke deh, byee!!" Aron melambaikan tangannya setelah menutup kaca helmnya dan beranjak pergi dari pelataran rumah Nara.

"Byee!! Hati-hati di jalan! Salam buat bundaa!" Nara tersenyum sebentar melihat kepergian Aron.

"Aron makin hari makin manis, udah ga kaya kutub lagi jadi makin sayang." Nara bermonolog sendiri lalu membuka pintu dan memasuki rumah.


Waktu yang SalahWhere stories live. Discover now