"Jika seseorang kehilangan belahan jiwanya, maka dia akan merasakan rasa sakit yang tak akan bisa disembuhkan oleh waktu"
Kalau dipikir-pikir lagi, ucapan itu ada benarnya. Entah ini hukuman atau apa, aku hanya pangeran dari kerajaan yang telah hancur. Aku tak peduli dengan apapun, titah dewa, para bangsawan rakus ataupun tahta bodoh itu. Namun, satu hal yang tak bisa kuabaikan, rasa sakit yang menggerogoti hatiku. Aku ingat persis, kapan hal ini bermula.
Delapan tahun yang lalu....
Saat itu umurku masih sepuluh tahun. Hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa selain dianugerahi kekuatan besar. Orang tuaku melarangku keluar dari rumah, namun saat itu aku memutuskan utnuk menyelinap keluar. Itu adalah pertama kalinya aku melawan omongan orang tuaku, aku senang karena bisa keluar dari penjara yang kusebut rumah itu.
"Akhirnya aku berhasil keluar! Aku berhasil menghirup udara segar!" Begitulah kataku kepada dunia. Berlari kencang tanpa peduli akan jatuh maupun licinnya tanah yang berlumut dan sedikit basah akibat hujan.
Diriku di bawah langit senja kala itu hanyalah bocah ingusan yang mengharapkan kebebasan semata. Tentu, aku masih terlalu naif. Tepat di persimpangan jalan sepi yang hanya mengandalkan penerangan bulan purnama, aku ditarik ke dalam sebuah mobil dan dibungkam.
Saat sadar, aku mendapati diriku terikat dengan rantai besi. Aku tak mampu melihat apapun karena mataku ditutupi kain hitam. Aku hanya bisa mendengar percakapan orang dewasa. Aku yakin saat itu mereka membicarakan tentang uang dan pasar gelap. Aku yakin aku sedang berada di dermaga, karena suara ombak dan bau asin laut terasa begitu jelas.
"Harga kepala anak ini akan mengalahkan harga iblis senja itu!" Ucap salah satu pria bersuara parau. Mendengar hal itu tentu, aku tahu kalau aku akan mati dan dijual ke pasar gelap.
"Tapi bagaimana dengan kekuatan anak itu?"
"Sudahlah dia masih bocah, mana paham dia mengenai kekuatan besar itu? Selagi dia mati tahta itu pasti jatuh ke tanganku!"
"Mengapa kau begitu yakin?"
"Tentu saja, pangeran muda itu tak akan hidup lebih dari 2 minggu, aku dengar bocah inilah yang akan menggantikan posisinya, tentu saja hal itu tak akan terjadi."
Percayalah, kala itu aku gemetar tak karuan dan hampir menangis. Tentu saja, inilah yang akan terjadi jika aku keluar. Ibuku benar, seharusnya aku menurutinya saat itu. Saat itu aku hanya bisa menyesali segalanya. Dasar-
"-bangsawan korup serakah!" Kali ini suara perempuan, asing sekali. "Zaman benar-benar tidak berubah ya, mau abad 18 atau 20 pun sama saja!"
"Si-siapa kau?!" Seru bangsawan serakah itu.
"Aku? Seharusnya kalian sudah tahu bukan? Aku adalah orang yang nilainya kalian bandingkan dengan bocah itu barusan!"
Aku ingat sekali. Rasanya merinding. Aku takut, aura yang tiba-tiba saja muncul itu, benar-benar aura haus darah yang kuat. Setelah itu yang kudengar hanyalah suara hantaman, beton hancur dan teriakan, lalu, bau amis darah. Sesaat setelahnya hanya keheningan dan suara tetesan saja.
"Bocah, diam di tempat". Sesaat setelah dia mengatakan itu, rantai-rantai yang mengikatku dan penutup mataku terbuka. Di depan mataku berdiri seorang perempuan, rambutnya merah wine yang agak basah dan berantakan, menjuntai panjang sampai pinggangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vermillion Dawn : Takdir Tinta Merah
Teen FictionYamamoto Kaze, itulah namaku, golongan darah biru yang sesungguhnya, justru dikenal sebagai pangeran palsu dari kerajaan yang hancur, semata karena kekuatanku ini. Hatiku selalu gundah, sakit rasanya, entah sudah berapa lama kurasakan rasa sakit ini...