“Aku ingin tahu, jenis tawa seperti apa yang kamu punya, Ka.”
***
Sabtu malam ini Arka tidak ke mana-mana. Seperti biasa, kegiatan malamnya hanya membaca buku, menyelesaikan tugas kampus, tidur—jika bosan dan tidak ada kerjaan. Hari-hari Arka memang semembosankan itu. Tidak ada nongkrong-nongkrong kece bersama teman. Tidak ada apel-apelan yang penuh kesesatan hingga tengah malam.
Ibu selalu mewanti-wantinya sejak belia untuk tidak berhubungan dengan lawan jenis yang tidak halal. Bahkan, dia sebisa mungkin untuk tidak berduaan dengan sepupunya yang malam ini tengah berkunjung bersama sang suami—Nadira. Meskipun, Nadi sempat tinggal beberapa bulan di rumahnya dua tahun lalu.
“Zaman sekarang ini susah membatasi pergaulan, Nak. Samping kiri kanan, atas bawah, itu semuanya godaan. Jadi, kamu harus pandai-pandai menjaga diri. Jaga diri bukan buat perempuan aja, loh. Laki-laki juga punya kewajiban yang sama.”
Kata-kata Ibu beberapa tahun silam selalu Arka simpan apik di tempat yang tidak boleh diusik oleh tangan-tangan rusuh. Senyum menenangkan dan menyejukkan milik Ibu selalu menjadi pengingatnya.
Usia Arka masih sepuluh tahun kala itu, tetapi Ibu tidak pernah lelah membahas satu-dua hal bersama lelaki itu. Ibu yakin kalau Arka memahami ucapannya. Jika bukan saat itu, mungkin suatu saat nanti.
Sungguh Arka merasa beruntung. Petuah Ibu selalu menjadi benteng kuat yang menghalanginya berbuat yang tidak-tidak. Masih banyak hal yang perlu dia lakukan. Masih ada cita-cita yang perlu dia gapai. Masih ada orang tua yang perlu dia bahagiakan.
Seusai belajar di kamar, Arka tidak lanjut tidur seperti biasanya. Ibu memanggilnya untuk menemani pasutri di ruang keluarga. Siapa lagi kalau bukan Nadi dan Ariq yang semakin lama semakin lengket saja. Meskipun selalu memasang tampang biasa-biasa saja melihat pasangan itu berlagak romantis dan mengeklaim dunia milik berdua, lama-lama Arka merasa keki sendiri. Begini-
begini, dia single fii sabilillah. Jomlo sejak embrio. Sendiri sejak lahir.“Ibu meminta saya menemani kalian mengobrol. Jadi, berhentilah bersikap seakan saya tidak ada.”
Setelah duduk lama, Arka kesal juga. Sebenarnya apa fungsi dia di sini jika mereka hanya bermesraan tidak jelas sejak tadi? Lebih baik dia pergi tidur saja, kan? Kedua orang itu memang sudah seperti lintah, saling menempeli satu sama lain. Perpisahan dua tahun lalu sepertinya membawa perubahan besar bagi mereka.
“Ih, kamu kok gitu, sih, Ar? Kamu enggak senang ya, Kakak datang kemari?”
Satu lagi. Nadi berubah sangat sensitif sejak hamil. Sedangkan suaminya, menjadi lelaki paling protektif sedunia. Apakah orang-orang yang sudah menikah selalu seperti itu? Entahlah, Arka belum pernah
menikah. Jadi, dia tidak tahu. Akan tetapi, bisa dipastikan bila dia tidak akan selebai itu.“Maaf, Kak.” Da memilih mengalah. Wanita hamil lebih mengerikan daripada serigala. Percayalah. “Saya hanya bertanya. Mana tahu kalian hanya ingin berbicara berdua tanpa
kehadiran saya.”“Mas, aku salah lagi, ya? Kok Arka bilang gitu, sih?”
Lihatlah. Bahkan setelah permintaan maaf meluncur dari mulutnya pun, wanita itu tetap berpikir yang tidak-tidak. Ariq di sampingnya, berusaha membujuk wanita kesayangannya itu.
Arka menarik napas bosan. Apakah semua wanita hamil seperti itu? Cukup merepotkan baginya. Semoga istrinya kelak tidak seperti itu. Lagi pula, dia merasa tidak melakukan
kesalahan apa pun. Kata-kata yang dia ucapkan juga masih terbilang wajar. Sebelum hamil, Nadi tidak pernah mempermasalahkan cara bicaranya yang tanpa basa-basi ini. Lagi pula untuk apa pula basa-basi? Nanti malah keburu basi.
YOU ARE READING
KISI: yang (pernah) sekuat karang
Духовные"Yang bermain-main dengan hati itu ... kita. Manusia." _ _ _ _ Arkana dan Kayesa hanya dua orang asing. Tidak pernah berinteraksi, tetapi mendadak harus terikat satu sama lain. Bukan sekadar pertemuan, karena takdir menjadikan pelik keduanya. Si lel...