Memaafkan

250 22 8
                                    

“Tidaklah seseorang memaafkan orang lain, kecuali Allah akan menambah kemuliaannya.” (HR. Muslim).

---

Di sisi lain Aqila, Amira, dan Ali sedang merenungkan apa yang Faris katakan tadi. Amira juga sudah menangis di dalam pelukan Ali, dirinya tak menyangka jika orang yang selama ini dia benci adalah anak ustadznya sendiri. Amira takut jika Kahfi mengetahui dan juga ikut membenci dirinya seperti dia membenci putrinya.

"Maaf ... Maaf dulu gak dengerin kamu mas." Amira terisak di dalam pelukan Ali.

Ali hanya bisa membantu menenangkan Amira, dulunya Ali sering kali mengingatkan Amira untuk tidak terlalu membenci seseorang dan lihatlah kini, istrinya sudah mendapatkan karmanya sendiri.

"Tidak apa apa, nanti kita minta maaf lagi sama Aneesha ya?" ujar Ali dengan lembut, dia sedikit merasa kasihan dengan istrinya.

Amira menggeleng, "Bagaimana jika Faris tidak menerima permintaan maafku?" tanya Amira sesenggukan.

Ali tersenyum, "Faris itu memang keras, tapi dengan istrinya dia akan menjadi lembut. Meminta maaflah pada istrinya dan jika Aneesha benar benar sudah memaafkan kamu, Faris juga akan memaafkan kamu," ucap Ali lagi.

Di ujung sudut ruangan itu, Aqila memandangi kedua temannya yang sedang merasa bersalah. Aqila semakin merasa bersalah karena waktu itu tidak menahan Amira untuk tidak membenci Aneesha, dan lihatlah sekarang temannya itu menyesal.

"Seharusnya aku yang meminta maaf pada kalian semua, kesalahan awal ada pada diriku ...." Aqila memalingkan wajahnya, tak kuat menahan rasa sakit ketika melihat temannya yang terluka.

Amira dan Ali memandang ke arah Aqila, mereka dapat melihat raut wajah penyesalan di dalam sana. Amira berdiri dan menghampiri Aqila, memeluk tubuh yang lebih kurus darinya. Amira merasa bahwa di sini Aqila lebih terluka di bandingkan dirinya.

"Aqila ...."

"Aku yang seharusnya minta maaf denganmu," ucap Aqila menyela kalimat Amira sebelum wanita meneruskan ucapannya.

"Tidak apa apa, yang salah di sini adalah aku. Sudah tahu Faris telah menikah, tetapi tetap memaksa untuk terus mencintanya. Kini aku menyadari jika dirinya memanglah bukan jodohku," ucap Aqila melanjutkan ucapannya.

"Tidak, kita semua salah!" Amira menolak perkataan Aqila yang menyalahkan dirinya sendiri.

"Syutt udah ayok kita ke Faris dan minta maaf ke Aneesha langsung." Ali menyela ucapan kedua orang di hadapannya.

---

"Assalamu'alaikum ,Ris." Ali menyapa Faris yang masih memeluk tubuh istrinya.

Faris menoleh, begitu juga dengan Aneesha. Wanita itu segera melepaskan pelukan suaminya, merasa sedikit tak enak dengan Aqila ketika melihat perempuan itu justru menundukkan kepalanya.

"Wa'alaikumsalam," ucap Faris dan Aneesha bersamaan.

Aneesha mengernyitkan alisnya, melihat Amira yang ikut menundukkan kepalanya. Aneesha menatap Ali, sedangkan pria itu justru menggedik bahunya acuh tak acuh.

Ali berdecak, dia menyenggol lengan istrinya pelan, dan membuat wanita itu terkejut. Amira spontan mendongakkan wajahnya, seketika netranya bertemu dengan netra Aneesha. Amira membeku saat melihat Aneesha yang justru tersenyum kepadanya.

Mata itu, mata indah yang terlihat teduh tetapi tidak memancarkan kebencian kepadanya. Amira merasa malu, dirinya yang lebih lama menimba ilmu pondok pesantren. Namun, akhlaknya sama sekali tidak mencerminkan jika dirinya seorang santri.

"Aneesha, aku minta maaf sebesar-besarnya. Aku akui jika aku salah karena telah memusuhimu, sungguh aku sangat menyesali perbuatanku yang satu ini. Aku tahu jika hati kita adalah milik Allah, tak seharusnya aku menolak takdirnya," ucap Amira lirih.

Aneesha melangkah mendekati Amira dan Aqila, memeluknya erat hingga membuat kedua orang yang berada di pelukannya pun menegang.

Aqila dan Amira saling pandang, sedikit heran dengan Aneesha yang memeluk dirinya. Padahal mereka sudah memperlakukan Aneesha dengan buruk, tetapi Aneesha justru memaafkannya dengan cepat. Sungguh jika bisa memutar waktu, maka mereka tidak akan pernah menyakiti wanita itu.

"Aku bahkan telah memaafkan kalian terlebih dahulu sebelum kalian meminta maaf padaku. Kata abi tak baik menyimpan dendam dengan sesama manusia, nanti Allah marah." Aneesha tersenyum manis, membuat hati Aqila dan Amira terenyuh.

Sekarang mereka mengetahui salah satu alasan kenapa Faris sangat mencintai wanita ini, Aneesha memang layak untuk mendapatkan cinta dari Faris. Dia tidak menyandang gelar santri, tetapi akhlaknya terlalu mulia hingga melebihi santri itu sendiri.

Amira membalas pelukan Aneesha, membuat wanita itu sedikit meringis karena merasa perutnya sedikit tertekan. Ali mengerti, dia menarik tangan istrinya untuk menjauh dari Aneesha. Daripada terjadi apa apa dan Faris akan semakin menjauhi mereka semua.

"Perutnya Anes kamu gencet, sayang," bisik Ali, Amira menyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"He he, maaf ya? Oh iya kamu hamil kan ya? Selamat ya Anes ... Sehat terus buat dedek utun." Amira mendekat lagi, dan mengelus perut Aneesha yang sedikit membesar.

Aneesha terkekeh kecil, ujung matanya menangkap raut wajah Aqila yang sepertinya juga ingin mengelus perutnya. Aneesha menarik tangan Aqila dan meletakkannya di perutnya sendiri, Amira melirik Aqila yang juga terkesiap.

"Salam kenal onty!" Aneesha mengubah suaranya menjadi anak kecil.

Semuanya tertawa gemas, pantas saja Faris terlalu bucin dengan istrinya. Ini alasannya?

"Salam kenal juga utun!" balas Amira antusias.

Ali mendekati Faris, "Maafin ana Ris," ucap Ali.

"Jika istriku saja telah memaafkan istrimu, lalu mengapa aku tidak?" Faris tersenyum kecil, tanpa memandang ke arah Ali. Dirinya sibuk menatap Aneesha yang tertawa bersama dengan teman-temannya, sungguh ini pemandangan yang menyejukkan hatinya.

---

Hallo!

Jangan lupa vote dan komen ya 🥲

Living With Mas Santri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang